Oleh:
Kang Daden Robi Rahman
1.
Sebagai penyihir kata-kata
Bagi Sophist kata-kata adalah alat bagaimana mereka bisa memenangkan argument dari lawan debatnya. Kegemaran akan perdebatan semacam itu melahirkan banyak istilah yang digunakan untuk mempengaruhi lawan debatnya, karena itulah Sophist dikenal dengan penyihir atau pesulap kata. Hal itu Nampak juga pada kegemaran kelompok Islam Liberal di Indonesia yang menggunakan jargon-jargon indah untuk memenangkan wacana debat, misalnya; “bedakan antara agama dan keberagamaan”, “jangan mensucikan pemikiran keagamaan”, “agama adalah mutlak, sedangkan pemikiran keagamaan adalah relatif”, “manusia adalah relatif, karena itu semua pemikiran produk akal manusia adalah relatif juga”, “tafsir adalah produk akal manusia, sehingga tidak bisa mutlak semutlak seperti wahyu itu sendiri”, “selama manusia masih berstatus manusia maka hasil pemikirannya tetap parsial, kontekstual, dan bisa saja keliru”, dan sebagainya.
Sepintas, kata-kata itu terasa logis, dan tampak indah. Jika tidak berhati-hati dan kurang ilmu, maka bukan tidak mungkin seseorang akan terpengaruh. Apalagi, jika yang mengatakannya adalah seorang doktor atau profesor di bidang studi agama. Sihir-sihir kata itu telah dilakukan oleh Sophist ribuan tahun ketika Yunani masih diliputi oleh banyak paham mitologi, Sihir-sihir itu nampak dalam pernyataan orang-orang Islam Liberal di Indonesia. Seperti apa yang dikatakan oleh Daud Rosyid, seorang pakar hadis di Indonesia, saat mengomentari tulisan-tulisan Nurcholis Madjid; “Sihir-sihir” Nurcholish lebih canggih dan lebih memukau daripada Harun, karena dikemas dengan gaya ilmiah yang menarik”.
2. Argument bukan untuk mencari kebenaran
Diantaranya argument Sophistic yang mereka gunakan adalah menuduh bahwa ulama’ ulama’ menjual figh untuk mendapatkan uang. Alasannya karena memang zaman sekarang adalah zamannya kapitalis.
“Bagi masyarakat Kapitalis modern, menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti fiqih, merupakan cara untuk mengembangkan kapital, sebagaimana tercermin dalam maraknya bank-bank yang menggunakan simbol keagamaan… jadi fiqh merupakan khazanah yang diperebutkan, karena di dalamnya tersimpan semangat teosentrisme. Lalu apa yang terjadi bila fiqih bercorak teosentris? .. kita akan masuk dalam jebakan otoritarianisme”
Bagi Sophist kata-kata adalah alat bagaimana mereka bisa memenangkan argument dari lawan debatnya. Kegemaran akan perdebatan semacam itu melahirkan banyak istilah yang digunakan untuk mempengaruhi lawan debatnya, karena itulah Sophist dikenal dengan penyihir atau pesulap kata. Hal itu Nampak juga pada kegemaran kelompok Islam Liberal di Indonesia yang menggunakan jargon-jargon indah untuk memenangkan wacana debat, misalnya; “bedakan antara agama dan keberagamaan”, “jangan mensucikan pemikiran keagamaan”, “agama adalah mutlak, sedangkan pemikiran keagamaan adalah relatif”, “manusia adalah relatif, karena itu semua pemikiran produk akal manusia adalah relatif juga”, “tafsir adalah produk akal manusia, sehingga tidak bisa mutlak semutlak seperti wahyu itu sendiri”, “selama manusia masih berstatus manusia maka hasil pemikirannya tetap parsial, kontekstual, dan bisa saja keliru”, dan sebagainya.
Sepintas, kata-kata itu terasa logis, dan tampak indah. Jika tidak berhati-hati dan kurang ilmu, maka bukan tidak mungkin seseorang akan terpengaruh. Apalagi, jika yang mengatakannya adalah seorang doktor atau profesor di bidang studi agama. Sihir-sihir kata itu telah dilakukan oleh Sophist ribuan tahun ketika Yunani masih diliputi oleh banyak paham mitologi, Sihir-sihir itu nampak dalam pernyataan orang-orang Islam Liberal di Indonesia. Seperti apa yang dikatakan oleh Daud Rosyid, seorang pakar hadis di Indonesia, saat mengomentari tulisan-tulisan Nurcholis Madjid; “Sihir-sihir” Nurcholish lebih canggih dan lebih memukau daripada Harun, karena dikemas dengan gaya ilmiah yang menarik”.
2. Argument bukan untuk mencari kebenaran
Diantaranya argument Sophistic yang mereka gunakan adalah menuduh bahwa ulama’ ulama’ menjual figh untuk mendapatkan uang. Alasannya karena memang zaman sekarang adalah zamannya kapitalis.
“Bagi masyarakat Kapitalis modern, menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti fiqih, merupakan cara untuk mengembangkan kapital, sebagaimana tercermin dalam maraknya bank-bank yang menggunakan simbol keagamaan… jadi fiqh merupakan khazanah yang diperebutkan, karena di dalamnya tersimpan semangat teosentrisme. Lalu apa yang terjadi bila fiqih bercorak teosentris? .. kita akan masuk dalam jebakan otoritarianisme”