Jejak Sophist Pada Pemikiran Islam Liberal Indonesia

Senin, 21 November 2011

Jejak Sophist Pada Pemikiran Islam Liberal Indonesia
Oleh: Kang Daden Robi Rahman

1. Sebagai penyihir kata-kata
Bagi Sophist kata-kata adalah alat bagaimana mereka bisa memenangkan argument dari lawan debatnya. Kegemaran akan perdebatan semacam itu melahirkan banyak istilah yang digunakan untuk mempengaruhi lawan debatnya, karena itulah Sophist dikenal dengan penyihir atau pesulap kata. Hal itu Nampak juga pada kegemaran kelompok Islam Liberal di Indonesia yang menggunakan jargon-jargon indah untuk memenangkan wacana debat, misalnya; “bedakan antara agama dan keberagamaan”, “jangan mensucikan pemikiran keagamaan”, “agama adalah mutlak, sedangkan pemikiran keagamaan adalah relatif”, “manusia adalah relatif, karena itu semua pemikiran produk akal manusia adalah relatif juga”, “tafsir adalah produk akal manusia, sehingga tidak bisa mutlak semutlak seperti wahyu itu sendiri”, “selama manusia masih berstatus manusia maka hasil pemikirannya tetap parsial, kontekstual, dan bisa saja keliru”, dan sebagainya.

Sepintas, kata-kata itu terasa logis, dan tampak indah. Jika tidak berhati-hati dan kurang ilmu, maka bukan tidak mungkin seseorang akan terpengaruh. Apalagi, jika yang mengatakannya adalah seorang doktor atau profesor di bidang studi agama. Sihir-sihir kata itu telah dilakukan oleh Sophist ribuan tahun ketika Yunani masih diliputi oleh banyak paham mitologi, Sihir-sihir itu nampak dalam pernyataan orang-orang Islam Liberal di Indonesia. Seperti apa yang dikatakan oleh Daud Rosyid, seorang pakar hadis di Indonesia, saat mengomentari tulisan-tulisan Nurcholis Madjid; “Sihir-sihir” Nurcholish lebih canggih dan lebih memukau daripada Harun, karena dikemas dengan gaya ilmiah yang menarik”.

2. Argument bukan untuk mencari kebenaran
Diantaranya argument Sophistic yang mereka gunakan adalah menuduh bahwa ulama’ ulama’ menjual figh untuk mendapatkan uang. Alasannya karena memang zaman sekarang adalah zamannya kapitalis.

“Bagi masyarakat Kapitalis modern, menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti fiqih, merupakan cara untuk mengembangkan kapital, sebagaimana tercermin dalam maraknya bank-bank yang menggunakan simbol keagamaan… jadi fiqh merupakan khazanah yang diperebutkan, karena di dalamnya tersimpan semangat teosentrisme. Lalu apa yang terjadi bila fiqih bercorak teosentris? .. kita akan masuk dalam jebakan otoritarianisme”


Yang mereka maksud dengan figh yang tidak bercorak teosentris adalah figh yang bercorak antroposentris, dimana kepentingan manusialah yang harus dijadikan pertimbangan utama . jika istinbath hukum tidak memihak manusia maka harus ditinggalkan. Dengan kata lain, jika seluruh manusia sepakat dengan homoseks, maka ayat-ayat yang mengharamkan homoseksual itu harus ditafsir ulang, agar sesuai dengan kebuTuhan manusia saat itu. baru yang demikian disebut dengan figh yang antroposentris. Alasan mereka bahwa figh yang dihasilkan oleh Ulama’-ulama’ dahulu sarat dengan kepentingan penguasa. Mereka melupakan sejarah betapa banyak dari fuqohÉ’ dipenjara dan disiksa akibat tidak mau mengambil istinbath hukum yang sesuai dengan selara pemerintahan saat itu. Padahal tanpa otoritas, kesetabilan masyarakat tidak akan tercapai. Mereka-pun kalau sakit pergi ke dokter, artinya mereka percaya bahwa dokterlah pemegang otoritas untuk mengatakan seseorang sakit apa tidak, mereka masih percaya otoritas itu, lalu bagaimana mereka - yang pintar itu - bisa menolak otoritas ulama’ yang telah terjaga kredibilitasnya, kalau bukan demi kepentingan tertentu?

3. Menggunakan segala cara tanpa mempertimbangkan moral
Salah satu sifat Sophist yang lain adalah; bahwa argument-argument yang mereka gunakan tidak untuk membela agama atau moral masyarakat tertentu, tidak pula ditujukan untuk menemukan kebenaran, melainkan hanya sekedar kepuasaan mengalahkan argument lawan dengan segenap cara. Perdebatan Adnin Armas dalam sebuah milist, yang ditulis dalam bukunya Pengaruh Kristen Orientalis, terhadap Islam Liberal, bisa dijadikan bukti. Saat itu Adnin Armas mengkritisi Foucoult (tokoh yang dijadikan panutan dalam argument mereka), lebih lengkapnya saya kutip saja kata kata Adnin Armas:

“Saya benar-benar membantah pendapat A.K. Jaelani yang menggunakan diagnosis Foucoult (seorang homoseks yang juga menerima kebenaran homoseksualisme dan lesbianism serta bentuk-bentuk penyikasaan fisik sebelum hubungan seks antar pasangan. Ia juga orang yang mau menerima pendapat orang gila!) untuk mendekonstruksi Al-Qur’an. Saya sendiri heran dengan anda bagimana “gilanya” Foucault dan “gilanya” diagnosis yang digunakannya untuk mendekonstruksi Al-Qur’an”
Inilah argument bantahan mereka:

“Betapa hebatnya, hanya karena orientasi seksual, atau hal-hal lain seperti agama, suku, jenis kelamin, dan pandangan politik, seorang ditolak kesaksiannya, atau seorang tidak masuk surge? Disini pula saya teringat kata bijak dari Ali. R.a., “Undhur ma qaala wala tandhur man qaala.” Terjemahan kasarnya kira-kira, “jangan lihat siapa yang ngomong. Lihatlah apa yang diomongkan. Bermutu apa tidak?”
Adnin menyebut mereka (kelompok liberal) sebagai loss of adab. Disebut demikian karena mereka (kelompok Islam Liberal), dalam mengambil data guna menguatkan argumentnya dari tokoh-tokoh yang moralnya rusak, sehingga moral menjadi bukan hal yang harus dipertimbangkan ketika melakukan perdebatan untuk menemukan kebenaran. Dengan demikian, kelompok liberal meyakini bahwa Ilmu itu bebas nilai (value free), dari siapapun ilmu itu, jika mengandung argumentasi yang kuat tetap saja harus diambil, tanpa perduli lagi tentang baik buruk, jujur dan palsu. Berbeda dengan konsep Islam, bahwa ilmu tidak bebas nilai. Karena tujuan dari pencapaian ilmu adalah peningkatan ketakwaan kepada Allah, maka untuk mendapatkan ilmu yang benar, yang dengannya seseorang semakin dekat kepada Tuhannya adalah dengan mempertimbangankan dari mana ilmu tersebut diambil. Sehingga moral pemilik ilmu lebih dipertimbangkan dari ilmu itu sendiri. Sebab mereka yang tidak mempertimbangkan moral, ketika mengambil ilmu, sama saja dengan tidak menganggap penting moral tersebut, dan yang tidak menganggap penting nilai sebuah moral, apa lagi sebutan yang cocok baginya selain loss of adab itu.

4. Argument culas menipu dengan lembut untuk menyusupkan keraguan pada argument lawan sebagaimana difinisi Sophist
Beberapa tokoh liberal menyebutkan tentang Islam umum-IslÉm Khusus (al-IslÉm al-‛Ómm-al-IslÉm al-KhÉÎ) Argumentasi meraka adalah sebagai berikut:
“Dalam contoh Islam juga sering dikemukakan misalnya istilah dari seorang filusuf Muslim abad XIV, Ibn Taymiyah yang – seperti Karl Rahner di atas - membedakan antara orang-orang dan agama Islam umum (uang non Muslim par excellance), dan orang-orang dengan Agama Islam Khusus (Muslim per excellence) kata Islam sendiri disini diartikan sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan” mengutip Ibn TaymÊyah”
Seakan memang Ibnu Taimiyyah mendifinisakan Islam seperti apa yang mereka katakan itu. Padahal ada kecurangan dalam pengambilan data. Mereka hanya mengambil data yang sesuai dengan ide yang mereka usung. Sebab jika mereka membaca dengan seksama, akan ditemukan dalam bukunya al-JawÉb al-ØaÍÊh, Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan kekufuran kaum NaÎrani. Kekufuran itu disebabkan karena mereka mendustakan Nabi Muhammad, sebagaimana kekufuran yang dilakukan oleh Yahudi karena tidak mengakui al-MasÊÍ (Kristus). Keterangan Ibnu Taimiyyah ini tidak mereka sertakan dalam argument. Lebih-lebih Bila kita merujuk dalam berbagai buku Ibnu Taimiyyah, kita akan mendapatkan penjelasan Ibnu Taimiyyah mengenai al-islÉm sebagai agama yang satu. Ibnu Taymiyyah senantiasa menyatakan bahwa dÊn al-anbiyÉÒ wÉÍid: huwa al-islÉm. Dan tidak ada penjelasan bahwa al-islÉm itu agama kepasrahan total, atau ketundukan total. Karena memang sejak awal agama Allah adalah al-IslÉm. al-islÉm yang dibawah oleh seluruh nabi-nabi-Nya disempurnakan oleh Nabi MuÍammad s.a.w.
Benar, bahwa seluruh agama para nabi adalah al-IslÉm, namun bukan al-IslÉm al-KÉmil (Islam Sempurna). Maka, oleh Allah nikmat agama itu disempurkan dengan agama-Nya, al-IslÉm, yang dibawah oleh Nabi MuÍammad s.a.w. Maka, keliru jika makna al-IslÉm al-‛Ómm-al-KhÉÎ yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah disejajarkan dengan The Anonymous Christian yang dicetuskan oleh Karl Rahner, seperti yang dijelaskan oleh Budhy Munawar-Rachman dalam Islam Pluralis-nya. Karena semua agama para rasul memiliki nama yang jelas yaitu; al-IslÉm, Jadi bukan Islam tanpa nama. Seperti itulah Ibnu Taimiyyah menjelaskan makna IslÉm; sebagai agama umat terdahulu yang mengajarkan kepada umatnya untuk beribadah kepada Allah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Dan tanda bahwa seseorang mengabdi (beribadah) adalah ia mentaati dan mempercayai seluruh rasul-Nya. Karna itulah agama-agama yang ada sekarang ini tidak bisa disebut sebagai al-IslÉm al-‛Ómm, karena mereka tidak menjalankan lima pilar yang disebut rukun Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah ketika ditanya tentang “mÉ huwa islÉm” dalam sebuah hadistnya.

Begitulah argument kelompok liberal lembut dan cerdas dalam keculasannya, bagi mereka yang mengenal sosok Ibnu Taimiyyah sebagai seorang ulama’ yang memiliki kridibilitas dalam membawa pemahaman mengenai Islam, akan terkejut dan bisa jadi akan ikut dengan argument mereka. yang jika dikaji lebih dalam mengandung tipuan-tipuan ala Sophist.

5. Relativisme Sophist dalam pemikiran Islam Liberal
Sophisme telah merasuk jauh keberbagai sector kehidupan modern, terutama di Barat, dan mengarahkan manusia pada konsep relativitas moral serta sikap hidup yang pesimis dan melemahkan sendi-sendi moral, baik pada dataran pengalaman individu, masyarakat, maupaun politik. Joseph Runzo menulis “We live in an age of Relativism”, “Relativisme has be come a dominant element in twentieth century Theology”. Satu diantara contoh yang paling kentara akibat relaitvisme dan kehidupan moral yang tidak menentu ini adalah sikap netral PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) dalam kasus Bosnia-Herzegovina yang mengakibatkan terjadinya, pemerkosaan, dan penyiksaan, yang dalam sejarah modern merupakan tragedy paling dahsyat sejak Perang Dunia Kedua. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan menurut konsepsi Islam tidak sama dengan sikap netral, sebab keadilan itu adalah berpihak pada kebenaran. Masalahnya adalah bagaimana seseorang itu dapat berpihak kepada kebenaran jika kewujudan kebenaran itu sendiri masih diragukan?

Post-modernisme dan teori kesatuan transenden semua Agama, yang didasarkan pada keberbagian kebenaran yang diyakini memiliki tingkat kesahihan yang sama adalah bentuk lain dari sophisme ‘Indiyyah’. Post-modernisme lebih cendrung pada sikap antiagama atau relativisme dan nihilism yang tidak beragama sedangkan para transendentalis, jika istilah ini tepat untuk mereka yang mempercayai teori kesatuan seluruh agama, lebih menjurus pada relativisme dalam memahami aspek luar yang terdapat pada semua agama. Seorang transendentalis biasanya mempropagandakan pandangan yang mengatakan bahwa pada lapangan transenden semua agama adalah sama. Perbedaan ajaran dan amalan praktik ritual hanya terjadi pada tingkat yang paling rendah dari pengalaman kita, dan karenanya, tidak begitu penting jika dibandingkan dengan persamaan yang terdapat pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat transenden.

Relativisme Sophist yang menyusup dalam paham transenden religion sebagaimana yang disebarkan oleh Frithjof Schoun telah mendapatkan pengikutnya di Indonesia, banyak tokoh yang terpengaruh dengan kaum transendentalis tersebut, hal itu dapat kita cermati dari pikiran-pikiran kelompok liberal Islam di Indonesia, diantaranya adalah pemikiran di bawah ini:

“ Hanya saja kita harus ingat, bahwa mereka yang ada dipihak lawan agama kita juga berpendapat persis sama, hanya saja dengan nilai yang terbalik: benar menjadi palsu, dan palsu menjadi benar, seperti bayangan kita dalam cermin. Kemudian kita juga harus ingat bahwa mereka yang berada dipihak ketiga, yang tidak beragama seperti agama kita atau agama lawan kita, akan memandang perang kita sebagai usaha saling menghancurkan antara kedua kepalsuan! Dan inilah “dilemma Wilson” tersebut: yaitu dilema bahwa agama mengajak kepada kebaikan, dan semakin orang yakin kepada agamanya, adalah semakin baik; tapi justru “orang baik” itu semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kepada orang lain, bahkan merasa berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Ia justru menjadi sumber keonaran sendiri.
Bandingkan dengan apa yang dikatakan oleh Frithjof Schoun, dalam karyanya yang berjudul Gnosis-Devine Wisdom (1959) berikut ini:

“Kita melihat bahwasanya kewujudan di dunia ini terdiri dari berbagai ras. Ketika perbedaan yang terdapat di dalamnya dianggap sebagai sesuatu yang “sah”, tidak ada ras yang ‘salah’ sebagai lawan ras yang ‘betul’… adanya bahasa yang beragam dan tidak seorang pun yang menentang keabsahan bahasa-bahasa itu; semuanya sama sama beragapan bahwa sains dan seni adalah baik. Adalah suatu hal yang aneh jika keragaman ini tidak terjadi dalam agama. Dengan kata lain, jika keragaman penerimaan manusia tidak meliputi keragaman kandungan spiritual, dari segi bentuknya dan bukan intinya… setiap agama adalah “agama” berdasarkan kedudukan masing-masing, dengan tidak membandingkan antara satu dengan yang lain, atau tidak memberinya konotasi relative yang sebenarnya tidak bermakna sama sekali; untuk mengatakan “agama” pada hakikatnya adalah mengatakan “agama yang unik”, secara eksplisit mempraktikan suatu agama berarti secara implicit mempraktikan semua agama”.

Kedua pendapat diatas sama-sama mengajak untuk bisa menerima sudut pandang yang berbeda, dan tidak mengklaim kebenarannya sendiri. Pemikiran liberal yang seperti diungkapkan Nurcholish Madjid diatas “bahwa mereka yang ada dipihak lawan agama kita juga berpendapat persis sama, hanya saja dengan nilai yang terbalik: benar menjadi palsu, dan palsu menjadi benar” hal ini menunjukan bahwa tidak ada ‘agama yang salah’ sebagai lawan dari ‘agama yang betul’ dalam bahasa Schoun ‘tidak ras yang salah sebagai lawan ras yang betul. bagi Kristen Islam adalah agama yang salah, bagi Islam kristenlah agama yang salah, sehingga kebenaran menjadi rilatif. Schoun menyebut hal yang begini sebagai keragaman cara mengungkapkan kebenaran karena perbedaan bahasa ungkap saja. Kedua-duanya sama sama mengajak untuk merelativkan kebenaran yang ada dalam agamanya, dan menggiring untuk membenarkan agama orang lain. Muslim dituntut untuk meyakini bahwa jika orang Kristen taat dengan ajarannya, mereka secara tidak langsung telah menjalankan Islam, demikian juga orang Kristen harus meyakini bahwa orang Islam yang taat dengan ajaran agamanya dengan sendirinya telah menjalankan agama Kristen. Karena itulah, sesama orang orang yang beragama dengan ragam eksprisinya, hendaknya setiap pemeluk agama itu bersikap tolerant terhadap pemeluk agama yang lainnya.

Pandangan mengenai keberbagian kebenaran Agama tersebut bisa jadi adalah pengaruh sains modern, dimana barat dengan worldview yang telah terbentuk dari cara pandang relativenya Sophist sebagai unsur bangunan peradaban Barat yang mengagungkan rasio, yang akhirnya melahirkan banyak penemuan baru dalam bidang sains mengakibatkan cara pandang mereka terhadap Agama sama dengan cara pandang mereka terhadap sains, sebagaimana diterangkan al-Attas Berikut;

“Pandangan tentang adanya keberbagian kebenaran yang sama-sama absah dalam keberbagian dan keragaman agama mungkin berkaitan dengan pernyataan dan kesimpulan filsafat dan sains modern. Filsafat dan sains moder tersebut timbul sejak ditemukannya keberbagiaan dan keragaman hukum yang mengatur alam, yang di dalamnya setiap hukum memiliki tingkat kebenaran yang sama dalam setiap system kosmologi. Adanya tren untuk menyamakan penemuan sains tentang system yang terdapat dalam alam dengan pernyataan yang diaplikasikan kepada masyarakat, budaya, dan norma-norma adalah satu diantara ciri utama kehidupan modern.”

Dengan demikian apa yang menjadi konsen kelompok liberal di Indonesia dalam memperjuangkan Islam Inklusif, Islam Pluralis atau Islam tolerant, secara sadar atau tidak telah tersusupi unsur - unsur Sophist.

Bentuk lain dari penyusupan unsur Shopist dalam pemikiran Islam Liberal yang cukup besar pengaruhnya adalah anggapan bahwa agama dan hukum-hukum agama sebagai produk dari identitas kebudayaan dan sosio-ekonomi tertentu. Mereka kemudian mempengaruhi ummat Islam dengan pendapat; bahwa hukum hudËd hanya mencerminkan kedudukan sosio-ekonomi negeri Arab abad ke-7 yang ketika itu masih berada pada tingkat rendah dalam perkembangan peradaban manusia. Berangkat dari anggapan bahwa peradaban modern jauh lebih beradab daripada peradaban yang ada pada zaman Nabi SAW dan para Sahabat r.a. mereka menganjurkan umat Islam sekarang untuk kembali memahami agama Islam dan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an agar dapat disesuaikan dengan perubahan sekarang. Mereka mengingatkan bahwa apa yang terjadi zaman Rasul sudah tidak layak lagi untuk diterapkan pada zaman kita sekarang, karena hal itu terjadi pada masa peradaban manusia masih pada tingkatan permitif dan kini kita berada pada peradaban yang lebih maju. Pendapat demikian ini agaknya terpengaruh dengan apa yang dikatakan oleh sosiolog barat terkenal Auguste Comte yang membagi fase manusia menjadi tiga seperti yang dijelaskan diatas makalah ini. disamping itu keyakinan kelompok liberal kepada prinsip dialektika hegel mengenai kebenaran yang menyatakan kebenaran adalah on going procces , dimana kebenaran yang dulu akan tidak disebut kebenaran ketika konteks zamannya berubah, pandangan yang demikian ini Nampak jelas jejaknya pada komentar seorang aktivis Islam liberal berikut;

“al-Qur’an disampaikan, dan sekaligus terbentuk dalam ruang dan waktu. Dalam konteks ini teks al-Qur’an dapat dikatakan produk budaya, dalam pengertian bahwa ia terbentuk dengan melibatkan aspek-aspek budaya dimana ia diturunkan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila bahasa dan situasi makna yang terkandung dalam al-Qur’an senantiasa berubah-ubah sesuai dengan siapa yang menjadi penerimanya dalam konteks komunikasinya. Dalam bingkai ini tidaklah mengejutkan apabila al-Qur’an sebagai sebuah proses komunikasi pada dasarnya bersifat spesifik bagi bangsa Arab.. diluar ruang dan waktu tersebut teks kehilangan diri sendiri secara otomatis. Sebab teks yang sama tidak akan pernah muncul dalam situasi yang berbeda. Kalaupun terjadi makna pasti akan berubah dengan sendirinya.”

Terlihat juga tulisan aktifis Islam Liberal saata menjelaskan perbedaan Agama dengan pemahaman keagamaan berikut ini:

“Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersifat relatif, dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relatif”

Dalam bukunya yang lain, ia menulis, bahwa kebenaran agama memiliki dua pengertian, (1) kebenaran tekstual atau wahyu, yakni kebenaran-kebenaran yang ada dalam kitab-kitab suci, (2) kebenaran empirik, yakni keyakinan manusia beragama berdasarkan penyikapan, pemahaman, dan interpretasi kebenaran tekstual wahyu. Kebenaran pertama bernilai mutlak, sedangkan kebenaran kedua bernilai relatif. dari penjelasan penulis buku ini, bahwa kebenaran akal bersifat relatif, sehingga manusia tentu saja tidak akan pernah sampai pada kebenaran mutlak. Bandingkan dengan relatifnya al-‘indiyah Sophist dan pendapat dibawah ini;

“Dengan sangat intensif hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih dalam level manusia, pastila ‘terbatas’ ‘parsial kontekstual pemahamannya’ serta ‘bisa saja keliru’, … yang menentang hermeneutika hanyalah mereka yang kolot dan gemar mengklaim kebenaran.”

6. Agnosticisme dalam Pemikiran Islam Liberal
Terdapat kelompok Sophist modern jenis lÉ adriyyah, baik di kalangan pendidik muslim kontemporer yang secular, maupun dalam komunitas lain. Mereka cenderung menyempitkan ruang lingkup agama (dÊn) pada permasalahan iman saja, tanpa amal. Mereka percaya bahwa iman adalah masalah hati, dan karenanya bersifat pribadi. Artinya, tidak seorangpun yang dapat mengatakan kepada orang lain bahwa imannya salah atau benar. Sedangkan, para sarjana muslim, rata-rata berpendapat bahwa agama (dÊn) adalah gabungan antara iman dengan Islam dan menerima bahwa ilmu pengetahuan dan amal saleh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari iman.

Pernyataan kelompok liberal yang terpengaruh model agnosticismnya Sophist diantaranya adalah, pernyataan berikut:

Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata untuk merujuk kepada “Hukum Tuhan” (sekali lagi; saya tidak percaya adanya “hukum Tuhan”; kami hanya percaya pada nilai-nilai keTuhanan yang universal), tetapi harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukum-hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri dan seterusnya. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan… apa pun penafsiran yang kita butuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri

Pernyataan tersebut dengan sangat jelas mengingkari akan adanya hukum Tuhan, sebagaimana agnosticism (‘alÉ-adriyah) Sophist. Dengan pemikiran yang sama, Sophist juga menghujat dan menafikan adanya Tuhan yang transenden dan yang mengatur kehidupan masyarakat. Kelompok Sophist membawa permasalahan dunia kepada manusia, manusialah ukuran dari hukum bagi kehidupan mereka, sebagaimana prinsip Protagoras “Human is measure all things”, sehingga baik buruk adalah sangat relative. Pandangan yang demikian kemudian terbawa ke pemikiran filsafat humanist-positivis pada zaman Modern, yang rupanya juga telah diadopsi oleh para pemikir Islam Liberal di Indonesia yang tampak dari pernyataan di atas. Jika pernyataan diatas menafikan adanya hukum Tuhan, dengan begitu menafikan Tuhan sebagai Al-×Ékim, sebagai pemegang satu-satunya otoritas untuk menentukan hukum. Pernyataan mereka yang lain misalnya:
Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama… pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting, karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman tanpa batas itu.
Pernyataan ini sudah mengindikasikan bukan hanya syari’ah saja yang tidak penting dan tidak ada, agama dan ajaran-ajarannya sekalipun dianggap tidak diperlukan lagi. Hal demikian juga yang diajarkan oleh kelompok Sophist kepada remaja-remaja yunani pada pertengahan abad ke-5 SM. Dimana para Sophist menanamkan satu pola pendidikan yang menentang aturan-aturan yang berbau langit (mitos), manusia bisa mencapai kemulyaan (virtue) dengan mengikuti disiplin ketat dalam memperoleh pengetahuan, memberontak terhadap keyakinan umum masyarakat saat itu, bahwa virtue adalah chance yang diberikan dewa-dewa kepada orang yang dipilih, dan hal itu (virtue) tidak bisa didapatkan melainkan dengan cara diwarisi. Kelompok Sophist dengan agnosticismnya menghilangkan apa saja yang tidak mungkin diketahui oleh akal, termasuk menghilangkan ajaran-ajaran yang mereka sebut bersumber pada mitologi. Jadi jelaslah bahwa pernyataan diatas mengisyaratkan keinginan kelompok Islam Liberal untuk membebaskan manusia, agama dan aturan-aturan keagamaan. Orang liberal nampaknya mempercayai kemampuan manusia untuk mengatur dirinya sendiri tanpa petunjuk Tuhan. Malahan agama berubah menjadi semacam aliran kepercayaan yang diciptakan oleh manusia sendiri untuk menuju sesuatu yang transenden. Hal tersebut bisa dicermati dari pernyataan dibawah ini:

Berbeda dengan kalangan fundamentalis dan konservatif yang mempercayai (tepatnya meyakini) agama sebagai ‘produk Tuhan’, kaum liberal berpendapat agama bukanlah produk Tuhan 100% tetapi ada intervensi sejarah, dan wahyu bukan turun di ruang hampa kebudayaan tetapi berkalindan dengan historisitas manusia… Bahkan jika ada ‘ayat-ayat Tuhan’ yang bertabrakan dengan kemaslahatan masyarakat, harus diunggulkan kemaslahatan dan keadilan social.

Juga pada pernyataan dibawah ini

Di ruang public, agama hanya berbicara tentang moralitas dan etika, tidak lebih dari itu. Tentu saja moralitas yang dimaksud adalah moralitas yang telah ‘terobjektivikasi’ dimana semua orang, tanpa melihat agama secara abjektif dapat melihat sesuatu sebagai “baik” atau “buruk” dengan demikian, di ruang public klaim Universalitas agama tidak lagi bersifat absolute, tetapi relative. Karena, bisa jadi masing-masing agama mempunyai klaim berbeda.

Statement dua diatas adalah bentuk ajakan agar masalah agama menjadi urusan pribadi (private), agnostisisme Sophist yang mempangaruhi pola pikir muslim memang akan mengakibatkan penolakan atas campur tangan agama dalam wilayah public, agama hanya bermakna keimanan, dan syari’at dipinggirkan, sebab aturan-aturan yang diterapkan dengan dalih agama tidak bebas dari objetivikasi yang dibuat untuk kepentingan elit penguasa, sehingga agama harus dibebaskan dari campur tangan dalam mengurusi persoalan negara, dalam wilayah public agama hanya sekedar salah satu penyumbang moralitas dan etika. Lebih dari itu, sebenarnya tanpa agama-pun seseorang bisa mengenal baik dan buruk, dengan demikian sesungguhnya Agama tidak dibutuhkan lagi.
Benarkah agama hanya mengurusi persoalan moral saja, seperti apa yang dikatakan mereka? Adian husaini menjawab persoalan ini dengan mengatakan; bahwa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, Nabi tidak menggunakan hukum adat, hukum Persia, atau hukum Romawi untuk memutuskan perkara (mengadili) di antara rakyatnya. Nabi Muhammad saw. Menerapkan hukum cambuk dan rajam bagi pezina. Juga menerapkan hukum baikot sosial terhadap sejumlah warga Negara yang enggan berperang. Beliau saw. Mengirim duta-dutanya ke negara-negara sekitar, dan mengajak mereka masuk Islam. Juga menarik zakat dan pajak dari rakyatnya. jika mereka membandel, maka akan ditetapkan hukum dengan paksa. Menjadi jelas bagi kita bahwa agnostic yang akut akan menjadikan agama tidak dibutuhkan lagi, pelan-pelan disingkirkan, sebab agnostic Sophist itu adalah menolak kebenaran meskipun data-data dan bukti-bukti akan kebenaran itu telah didatangkan. Orang-orang yang terjangkit pengaruh agnostic Sophist ini akan meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan, sesungguhnya yang mereka cari bukan kebenaran melainkan pembenaran. Dan hal tersebut telah terjadi pada peradaban Barat dimana paham agnostic Sophist ini menyebar untuk pertama sekali seperti apa yang dijelaskan Muhammad Asad; “Peradaban Barat modern tidak mengakui perlunya manusia kepada apapun kecuali tuntunan dan tuntutan ekonomi-sosial dan kebangsaan..”

7. Skeptisisme Dalam Pemikiran Islam Liberal
Jenis ketiga dari sophisme adalah ‘in-Édiyyah, terdiri dari dua kelompok di atas, yang tidak mau menerima alasan dan bukti yang masuk akal. oleh sebab itu, jenis sophisme terakhir yang memiliki ciri-ciri sophisme kedua dan berada dalam urutan yang paling bawah ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya bagi agama, pembangunan ilmu pengetahuan, dan akhlak masyarakat. Skeptisisme ini hanya mempersoalkan suatu asumsi atau kesimpulan, sampai bisa diteliti secara mantap. Penekanan pada bahwa semua pengetahuan adalah manusiawi, (humanism) dan bahwa kemampuan manusia adalah lemah dan terbatas dan bahwa indra dan akal keduanya tidak dapat di andalkan. Mereka mengingatkan kepada kita bahwa yang namanya orang-orang ahli dalam segala bidang pun mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda secara jauh. Dengan begitu mengingatkan kita perlunya hati-hati, dan bahaya dogmatism (benih anti otoritas). Ia akan berkata “jangan terlalu yakin”. “jangan menjadi dogmatis”. “anda boleh jadi salah”. “Jadilah Orang yang tolerant dan berfikiran terbuka”

Sikap meragukan kebenaran sering nampak dalam cara orang-orang liberal menyatakan pendapat dan opininya. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan cendrung untuk menyebarkan paham keragu-raguan ke dalam benak umat Islam. Pertama sekali yang mereka serang adalah agar umat Islam tidak lagi mempercayai otoritas Ulama, pernyataan di bawah ini bisa dijadikan sebagai bukti betapa telah terjadi penyebaran paham skeptic (al-inÉdiyyah)-nya Sophist, dimana mereka sering kali menggunakan argument-argument untuk membawa lawan-lawannya agar meragukan epistimologi yang selama ini diyakininya, dan kemudian terbawa kepada paham yang diinginkannya:
“… Karena itu jenis keagamaan yang jelas sekali dikehendaki dan tidak dapat diterima ialah agama yang membuat seseorang tunduk patuh dan pasrah total kepada sesama manusia, dan yang membuatnya terasing dari dirinya sendiri, meskipun semuanya itu ia lakukan dalam kedok menyembah Tuhan. Sebab Tuhan dapat bermakna macam-macam.”

Pernyataan yang meragukan otoritas ulama. Dimana masyarakat Islam selama ini tunduk dan patuh. Kemampuan mereka dalam memahami Islam jelas lebih baik dibanding dengan pemahaman kita, pertama karena mereka telah melewati syarat-syarat yang sangat ketat untuk menjadi seorang yang memiliki kridibilitas sebagai ulama’ mujtahid dalam masalah masalah agama. Tidak hanya syarat penguasaan ke ilmuan saja yang diperlukan, melainkan juga moral yang baik dengan syarat-syarat yang ketat pula. Sering kali orang-orang liberal begitu kritis terhadap pendapat para mufasir, ulama, bahkan sahabat, namun ketika mereka mengadopsi pemikiran barat; mereka menerima apa yang dikatakan tokoh-tokoh idola mereka (semacam Derrida, Foucault Hebermas, Gadamer dan lain sebagainya) hampir tanpak kritik sama sekali.

Kelompok liberal ini tak ubahnya adalah Sophist jaman ini, ia akan menolak apa saja yang ingin mereka tolak tanpa mempertimbangkan baik-buruk, benar salah. Penolakan hanya didasarkan atas seponsor dibelakangnya, sebagaimana dulu Sophist merusak keilmuan filosof yang jujur zaman yunani, karena pikiran mereka terjual dengan harga sejumlah uang, sehingga kebenaran bisa diarahkan, kesalahan juga bisa ditimpakan kepada kebenaran. Dalam bahasa Dr. Syamsudin Arief, “Meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan” Keragu-raguan itu sesungguhnya adalah penyakit yang telah menjangkiti barat begitu rupa dan sekarang menular ke dalam tubuh pemikiran umat Islam di Indonesia. banyak kalangan Islam Liberal meragukan otensitas syari’at, contoh berikut bisa jadi bukti bahwa sikap skeptic Sophist dalam menolak kebenaran itu telah menjangkiti mereka:

“… Maaf untuk sekarang ini saya lebih percaya dengan buku-buku semacam itu (karangan barat red). Sudah bosan saya baca buku yang “biasa-biasa” saja. Tidak ada kemajuan. sejak kecil juga sudah tahu kalau sholat jum’at itu dua rakaat, shalat harus menghadap kiblat, Tuhan satu, nabi itu orang Arab, rukun Islam ada lima, berbohong masuk neraka, puasa wajib, mau shalat wudhu dulu … semua agama sesat, kecuali Islam. semua orientalis jahat, maka jauhilah. Semua pemikiran baru berbahaya dan bid’ah enyahkanlah. Babi haram, riba juga haram, pemikiran Barat dapat menggagu iman kita, pemikiran sekuler rancu, pemikiran Barat jelek, yang betul al-Ghazali bukan Denny, yang benar al-Bukhari bukan Marnissi, yang harus diikuti syafi’I bukan Laroui. Nah, jika anda ingin mendiskusikan referensi itu disini, saya persilahkan. Atau anda punya refrensi bagus yang dapat meyakinkan saya bahwa syari’at Islam memang betul-betul ada dan unik?”

Pemikiran yang demikian terlihat jelas pengaruh skeptisime Sophistnya, meragukan segala sesuatu yang selama ini dianggap benar dan baik oleh ajaran Islam. Hal tersebut menunjukan adanya kemiripan dengan apa yang dikatakan al-Raniri sebagai mu‘ÉnidËn (mereka yang keras kepala) secara intelektual, spiritual, dan etika memiliki kemiripan dengan mereka yang fanatic buta (muta‘assibÊn) dan keduanya termasuk orang yang bodoh-sombong (sufahÉ). Kata safah dalam al-Qur‘an dan lisÉn al-Arab, tidak ditujukan kepada mereka yang bodoh dalam konteks biasa, tetapi juga kepada mereka yang dengan sengaja menolak sesuatu yang nyata, betul (right), dan benar (true). Menarik untuk diketahui bahwa para muta‘sibÊn adalah orang ekstrem atau fanatik buta, yang secara membabi buta bersama-sama menentang setiap usaha yang bertujuan membetulkan kepercayaan atau amalan mereka yang salah. Mereka juga termasuk orang yang zindiq yang dengan keji berusaha menegakkan sesuatu yang salah.

Ciri-ciri lain dari orang yang keras kepala (mu‘ÉnidËn) adalah suka mendebat orang lain, sedangkan mereka tidak memiliki pengetahuan. Hobi berdebat dan sikap keras kepala adalah faktor-faktor yang merusak logika dan retorika yang dalam aplikasi seterusnya, bahkan dapat mengaburkan hikmah sehingga akhirnya menyesatkan banyak orang.

Berikut ini pemikiran kelompok Islam Liberal yang paling radikal, yang diucapkan oleh tokoh besarnya, dimana pernyataan tersebut menunjukan bukti betapa kerasnya mereka menolak kebenaran; tokoh ini mengatakan bahwa kebebasan beragama berarti kebebasan untuk berpindah agama, berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Dan berpindah agama tidak kafir. Istilah kafir bukan berarti beragama lain, tetapi karena menentang perintah Tuhan. Lebih jauh ia menyatakan;

“Apalagi sampai dianggap murtad sebagai hukuman yang mengandung konsekuensi. Misalnya harus bercerai dari istri atau suami, sebagaimana pernah dialami Nasr Hamid Abu Zayd dan Novelis perempuan Nawal El Sadawi di Mesir, yang mengakibatkan Abu Zayd harus berpindah ke belanda yang sekuler dan menjamin kebebasan beragama,”

Seorang tokoh liberal dalam buku catatannya tanggal 15 Juli 1969 menulis:

“saya malah berpendapat bahwa andaikata Nabi Muhammad datang lagi di dunia sekarang, menyaksikan bagian-bagian yang modern dan yang belum, serta melihat pikiran-pikiran manusia yang ada, saya berkepastian bahwa banyak di antara Hadits-hadits Nabi sekarang ini umumnya dipahami secara telanjang oleh pengikut-pengikutnya, akan dicabut oleh Nabi dari peredaran dan diganti dengan hadits-hadits yang lain”
Tanggal 22 agustus 1969, ia menulis sebagai berikut;

“Terus terang, aku kepingin sekali bertemu dengan Nabi Muhammad dan ingin mengajaknya untuk hidup di abad 20 ini dan memberikan jawaban-jawabannya. Aku kurang percaya pada orang-orang yang disebut “pewaris-pewarisnya”

Sikap skeptiknya ini terus berlanjut, karena bagi mereka yang terpengaruh model pemikiran Sophist semacam ini, agak terlalu sulit untuk melepaskan diri sifat meragukan segala hal. Keraguan lebih dicintai dari pada kebenaran, karena untuk mengetahui kebenaran bagi mereka harus dimulai dengan meragukan apapun, masalahnya adalah mereka sepanjang hidupnya tetap bermain dalam keraguan itu, kita lihat catatan harian tokoh ini yang ia tulis pada tanggal 28 maret 1969 menggambarkan rasa ragunya itu berikut ini;

“Aku belum tahu apakah Islam itu sebenarnya, aku baru tahu Islam menurut Hamka, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam menurut Subki, Islam menurut yang lain-lain. Dan terus terang aku tidak puas, yang ku cari belum ketemu, belum terdapat, yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya. Bagaimana? Langsung studi dari al-Qur‘an dan sunnah? Akan ku coba. Tapi orang-orang lain pun akan beranggapan bahwa yang ku dapat itu adalah Islam menurut aku sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu!”

Kata-kata tokoh ini “Aku harus yakin” menyiratkan kronisnya skeptic Sophist itu mempengaruhi pikirannya. Rupanya keraguan tokoh ini tidak menjangkiti dirinya sendiri, terbukti banyak kalangan Islam Liberal memiliki keraguan yang sama tentang keberagamaannya selama ini, merasa apa yang disampaikan oleh ‘UlamÉ‘-ulamÉ‘ salaf dulu dalam menerangkan dan menjelaskan makna Al-Qur’an terjebak kepada pemahaman yang bias kepentingan, terutama kepentingan penguasa. Bahkan lebih jauh dari itu mereka menuduh Utsman-lah yang menjadikan pesan Allah menjadi salah dimengerti, secara sembunyi-sembunyi mereka menuduh Ustman telah dengan sengaja menghilangkan beberapa ayat dan merubah ayat-ayat demi kepentingan Quraisy. Hal itu dapat kita lihat dari kata-kata mereka berikut ini;

“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegomoni budaya arab, kini saatnya kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam musÍaf Ustmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif”

Bisakah kita membayangkan jika mereka yang tidak memiliki kredibilitas memahami Islam dengan keilmuannya sendiri, yang akan terjadi adalah timbulnya beragam agama-agama baru dengan model dan selera yang berbeda dan tidak ada otoritas yang diakui sebagai pemilik pemahaman yang paling mendekati kebenaran seperti apa yang dimaksudkan oleh ajaran-NYA. Islam yang diturunkan Allah melalui Rasulullah Muhammad saw dan memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menjelaskan inti ajaran-NYa, adalah bukti bahwa Nabi Muhammad saw dipercaya untuk mengemban amanat itu, sebab setiap kali terjadi pemahaman yang salah atas agama yang diinginkan Allah SWT langsung akan ditegur. Ajaran itu kemudian disampaikan kepada para sahabatnya, tidak satupun mereka para sahabat itu yang secara prinsip memiliki perbedaan yang mencolok dalam memahami ajaran Rasulullah, sahabat yang satu kadang belajar kepada sahabat yang lain tentang ajaran Rasulullah yang tidak mereka dengar. Begitupun dengan tÉbi‘ tÉbi‘u t-tÉbi‘ ada syarat-syarat khusus agar pendapat mereka diakui, syarat-syarat itu mencakup syarat moral dan syarat intelektual, mereka yang bodoh tidak diterima keterangannya, juga mereka yang secara moral rusak lebih tidak diterima lagi. Dari situlah terjadi ilmu rijal yang tidak dimiliki barat, sehingga keterangan intelektual itu bisa dipertanggung jawabkan keilmiahannya. Jika otoritas UlamÉ’ di ragukan, kepada siapa lagi kita mengambil ajaran Islam. haruskah kita belajar Islam dari Foucault sang pemabuk dan orang gila yang memiliki kelainan seks, yang matinya karena Aids itu? Ataukah kita belajar Islam dari Derrida orang yang tidak perduli etika dan tidak pernah percaya bahkan kepada dirinya sendiri?

Copyright @ 2013 elfaakir 23. Designed by Templateism | MyBloggerLab