KONSEP IJTIHAD DALAM ISLAM
Oleh: Kang Daden Robi Rahman
Pendahuluan
Perkembangan zaman dengan berbagai macam kemajuannya,
meniscayakan konsekuensi tantangan dan persoalan baru. Solusi dan jalan keluar
dalam bidang hukum untuk menangani, menjaga, dan melindungi kerusakan iman dan
moral menjadi tumpuan harapan meangaplikasikan amanah Ilahi yang diemban
manusia sebagai khalīfah fī al-ardh. Kesempurnaan wahyu Al-Qur’an dan
al-Sunnah menjadi prinsip dasar terjaminnya standar kebenaran dalam
merefleksikan amanat penghambaan tersebut. Potensi manusia dengan pengalaman,
intuisi, dan akalnya, menuntutnya untuk selalu bergerak dalam berkreasi dan
berinisiatif memberikan kontribusi positif dalam memberdayakan dan
mengembangkan solusi terhadap problematika kehidupan.
Kemurnian aqidah (kepercayaan), keshahihan
ibadah (penghambaan), dan terbebasnya dari kejumudan berpikir merupakan hal
prinsip yang niscaya dijalankan seorang muslim. Demi menjaga aqidahnya,
maksimalisasi ibadah yang shahihah dijalankan tanpa harus mengungkung
potensi akal. Di dalam Islam akal ditempatkan secara proporsional dengan kesadaran
muslim yang meyakini keterbatasan akal dalam menentukan baik itu berpahala dan
yang berpahala itu baik. Keseimbangan proporsionalitas aqidah, ibadah, dan
kebebasan akal terjaga di bawah naungan wahyu yang mutlak kebenarannya.
Begitulah gambaran Islam yang sempurna.
Islam sebagai agama yang universal mempunyai konsep
hukum yang universal pula, yang biasa disebut dengan syari’at. Keuniversalan
hukum Islam menuntut integritas penganutnya dalam mengaplikasikan syari’at
secara kaffah. Begitu pula dengan kesempurnaan syari’at menuntut adanya
jawaban dan solusi terhadap permasalahan baru yang belum tentu jawabannya
tersurat dengan jelas di dalam Al-Qur’an ataupun al-Sunnah sebagai sumber hukum
Islam. Oleh karena itu, Islam menggariskan ijtihad sebagai alat untuk
memproduksi hukum dibawah naungan kebenaran wahyu, Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Maka integritas muslim terhadap Islam dibuktikan dengan eksistensinya dalam
memobilisasi akal untuk selalu berijtihad merespons permasalahan baru yang
tidak ditemukan jawaban konkret tersurat dan qath’i di dalam Al-Qur’an
ataupun al-Sunnah dengan ijtihad yang berpijak pada kedua sumber hukum
tersebut.
Tetapi pada aplikasinya, tidak sedikit orang yang
mengaburkan konsep ijtihad. Ijtihad yang lahir dari rahim para ‘Ulama Islam
yang mu’tabar dengan shibghah (celupan) dan worldview Islam jelas
mempunyai karakter tersendiri dalam memproduksi dan menderivasi hukum dari
Al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka bisa dikatakan, bahwa ijtihad merupakan
metodologi atau perangkat teoritik dalam menderivasi hukum dengan worldview Islam
yang khas. Oleh karena itu, bagaimana konsep ijtihad sebenarnya di dalam Islam.
Apakah kebebasan akal yang membebaskannya dari wahyu? Ataupun sebaliknya?
Semuanya akan dibahas secara ringan dalam tulisan sederhana ini.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad
secara etimologi diambil dari kata al-jahd atau al-juhd yang
artinya al-masyaqqah (kesulitan dan kesusahan) dan al-thāqah (kesanggupan
dan kemampuan),[1] atau al-wus’u
(kesanggupan dan kemampuan).[2] Di dalam
al-Qur’ān al-Karīm, kata jahd dapat ditemukan pada lima tempat, [3] yaitu Qs.
al-Māidah: 53,[4] Al-An’ām: 109,[5] al-Nahl: 38,[6] al-Nūr: 53,[7] dan Fāthir:
42.[8] Sedangkan kata
al-juhd disebutkan sebanyak satu kali,[9] yakni dalam
Qs. Al-Taubah: 79.[10]
Semuanya menunjukan kepada arti pencurahan dan pengerahan kemampuan dan bekerja
keras. Salah satu diantara firman Allah dalam lima tempat tersebut adalah
sebagai berikut:
“Dan
mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa jika datang
suatu mukjizat kepada mereka, pastilah mereka akan beriman kepada-Nya.”
Ibn
Katsīr (w. 774 H) dalam tafsirnya menjelaskan ayat diatas bahwa Allah memberi
kabar mengenai orang-orang musyrik, dimana mereka bersumpah kepada Allah dengan
sumpah yang muakkadah (kuat dan berat).[12]
Begitu juga dengan penafsiran al-Rāzī (544-604 H),[13]
al-Maraghi,[14]
al-Qurthubi (w. 671 H),[15]
yang menyebutkan arti al-jahd disana dengan al-ta’kīd (penguatan)
atau asyadd (sangat kuat). Jadi pada dasarnya kata jahd atau juhd
hanya digunakan dalam menyatakan persoalan-persoalan yang bersifat berat,
sulit, dan membutuhkan kemampuan yang mumpuni.[16]
Begitu pula dengan kata ijtihād yang fi’il mādhī dan mudhāri’-nya ijtahada
yajtahidu, hanya digunakan dalam hal-hal yang dilaksanakan lebih dari biasa
dan sulit untuk dilakukan untuk mencapai tujuannya. Hal ini dapat dirujuk
kepada hadits Rasulullah SAW., baik sabda-sabdanya ataupun pekerjaannya.
Diantara riwayat-riwayat yang menggunakan kata tersebut adalah:
حدثنا مسدد حدثنا سفيان عن
سليمان بن سحيم عن إبراهيم بن عبد الله بن معبد عن أبيه عن ابن عباس: أن النبي صلى
الله عليه وسلم كشف الستارة و الناس صفوف خلف ابن بكر فقال: ياأيها الناس إنه لم
يبق من مبشرات النبوة إلا الرأيا الصالحة يراها المسلم أو ترى له, وإني نهيت أن أقرأ راكعا أو ساجدا.
فأما الركوع فعظموا الرب فيه, وأما السجود فاجتهدوا في الدعاء. فقمن أن
يستجاب لكم.[17]
“...Pada
waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a.”
حدثنا قتيبة بن سعيد وأبو كامل
الجحدري, كلاهما عن عبد الواحد بن زياد. قال قتيبة: حدثنا عبد الواحد عن الحسن بن
عبد الله قال: سمعت إبراهيم يقول: سمعت الأسود بن يزيد يقول: قالت عائشة رضي الله
عنها: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجتهد في العشر الأواخر ما لا يجتهد في
غيره.[18]
“Keadaan
Rasulullah SAW. bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir
(bulan Ramadhan) yang berbeda dengan hari yang lainnya.”
Maka
dari penjelasan diatas, Ijtihād dapat didefinisikan dengan mencurahkan
segala kemampuan dalam mencari sesuatu masalah, yakni bekerja keras dalam
kesungguhan dan kesulitan.[19]
Ahli bahasa lainnya, Al-Sa’d al-Taftazānī menyatakan bahwa Ijtihād menurut
bahasa diambil dari kata al-jahd yang berarti kesulitan dalam suatu urusan.
Dikatakan: اجتهد في حمل
حجر البزارة (dia
bersusah payah dalam membawa batu yang besar), tidak dikatakan اجتهد في حمل خردلة (dia bersusah payah dalam membawa biji).[20]
Oleh karena itu, penggunaan kata ijtihad meniscayakan adanya kesulitan yang
ditempuh untuk mengeluarkan atau menyimpulkan hukum-hukum yang penting dalam
masalah syara’.[21]
Bahkan al-Mardāwī (w. 885 H) dalam al-Tahbīr Syarh al-Tahrīr mendefinisikan
ijtihad secara etimologi dengan mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan suatu
urusan yang sulit.[22]
Dari
sini bisa dikatakan bahwa seseorang berijtihad dalam suatu urusan, berarti ia
mencurahkan kemampuannya dalam mencari dan menuntutnya sehingga sampai kepada
tujuan pencariannya. Urusan ini bisa dalam berbagai urusan, baik yang sifatnya
materi, jasmani, atau fisik, seperti berjalan dan bekerja. Atau juga bisa dalam
urusan maknawi atau non fisik, seperti menyimpulkan hukum atau teori logika,
syar’iah, atau bahasa. Maka bisa dikatakan bahwa ijtihad itu adalah mencurahkan
kemampuan dalam mencari kebenaran suatu urusan dari urusan-urusan yang
meniscayakan kesulitan dan kesusahan saja. Dan sebaliknya, tidak dibenarkan
apabila dikatakan seseorang berijtihad dalam membawa pulpen atau kitab yang
tidak mengandung kesulitan dan kepayahan.[23]
Pengertian ijtihad secara terminologi banyak ditemui
dalam karya beberapa ‘Ulama. Tentunya pengertian ijtihad secara terminologi
tidak berbeda jauh, bahkan sangat erat relevansinya dengan pengertian menurut
etimologi. Inti dari keduanya adalah kesanggupan dan kemampuan dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan yang berat. Diantara ‘Ulama yang
mendefinisikan ijtihad adalah sebagai berikut:
Imam
al-Ghazali (450-505 H) dalam al-Mustashfā[24]
menyatakan bahwa ijtihad adalah pengerahan kemampuan oleh seorang faqih
(mujtahid) dalam rangka menghasilkan hukum syara’, dengan pengerahan yang
maksimal sehingga ia merasa tidak mampu lagi untuk menambah usahanya.[25]
Al-Ghazali menyanggah anggapan sebagian fuqaha yang menyatakan bahwa
iijtihad sama dengan Qiyas. Ia berargumen bahwa ijtihad lebih umum ketimbang
Qiyas, karena ijtihad kadang memperhatikan penelitian usahanya dalam
masalah-masalah umum, kedalaman lafazh-lafazh, dan jalan-jalan mencari dalil
lain selain Qiyas.[26]
Sedangkan Al-Amidi dalam al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām[27]
menjelaskan bahwa yang dimaksud ijtihad hampir sama dengan al-Ghazali,
yakni mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni,
sampai merasa tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.[28]
Al-Amidi menjelaskan bahwa makna dari “mencurahkan semua kemampuan” seperti
kemampuan dalam makna yang bersifat bahasa (lughawi) dan dasar-dasar (ushuli)
dan sebaliknya dari kekhususan yang khas dari ijtihad dalam makna yang bersifat
ushuli. Dan yang dimaksud dengan “yang bersifat zhanni” artinya
menunjukan kepada peringatan bahwa ijtihad ini bukan pada hukum-hukum yang qath’i
(tetap kejelasan hukumnya). [29]
Sedangkan yang dimaksud dengan “hukum syara’” berarti dalam hal ini ijtihad
bukan pada persoalan yang bersifat ma’qūlāt (logika), muhissāt (perasaan
indera) dan lainnya. Kemudian yang disebut dengan “sampai merasa tidak mampu
untuk mencari tambahan kemampuannya itu”, maksudnya bahwa dalam ijtihad tidak dimaksudkan
dalam masalah yang ringan-ringan.[30]
Selanjutnya
imam al-Syaukānī dalam Irsyād al-Fuhūl, Ahmad Ibrahim Biek dalam ‘Ilm
Ushūl Fiqh wa Yalih Tārīkh al-Tasyrī’ al-Islāmī, dan imam al-Zarkasyī
(745-794 H) dalam al-Bahr al-Muhīth yang mendefinisikan ijtihad sebagai
pengerahan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional
(praktis) dengan menggunakan metode istinbat.[31]
Al-Zarkasyī menjelaskan makna dari “mencurahkan kemampuan” berarti
mengecualikan hukum-hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan. Sedangkan
pencurahan kemampuan tersebut berarti juga sampai dirinya merasa tidak mampu
lagi menambah usahanya. Kemudian “hukum syara’” berarti mengecualikan hukum
bahasa, akal, dan hukum indera. Oleh karena itu, orang yang mencurahkan
kemampuannya dalam bidang hukum (bahasa, akal, dan indera) tadi tidak disebut
mujtahid menurut ushul fiqih. Begitupun pencurahan kemampuan untuk mendapatkan
hukum ilmiah tidak disebut ijtihad menurut fuqaha, meskipun menurut
mutakallimun dinamakan ijtihad. Selanjutnya maksud dari “jalan istinbat” adalah
mengecualikan pengambilan hukum dari nash yang zhahir, menghapal
masalah-masalah atau menanyakan kepada mufti atau dengan cara menyingkap
masalahnya dari buku-buku ilmu. Karena hal tersebut, meskipun benar mencurahkan
kemampuan menurut bahasa, tapi tidak menurut istilah. Bahkan ada sebagian ahli
ushul (seperti Al-Ghazali dan Muhammad Abu Zahrah- pen) yang mendefinisikan
ijtihad dengan pengerahan kemampuan seorang faqih.[32]
Kemudian
‘Abdul Wahhāb Khalaf mengartikannya sebagai pengerahan daya upaya untuk sampai
kepada hukum syara’ dari dalil yang terinci dengan bersumber dari dalil-dalil
syara’.[33]
Sebagaimana yang lain, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikannya dengan daya upaya
ahli hukum Islam (faqīh) semaksimal mungkin dalam mengistinbatkan hukum
praktis dari dalil-dalil yang terperinci.[34]
Sedangkan imam al-Syāthibi dalam al-Muwāfaqāt menjelaskannya dengan
pengerahan kesungguhan dengan usaha yang optimal dalam menggali hukum syara’.[35]
Definisi yang dijelaskan al-Syāthibī menunjukan adanya keharusan usaha seorang
mujtahid yang maksimal dan optimal. Tetapi tidak berarti seorang mujtahid harus
menanggung beban psikologis dengan perasaan lemahnya kemampuan yang dimiliki.
Karena pada dasarnya, setiap manusia mempunyai keterbatasan dalam kemampuan
mengerjakan suatu persoalan ataupun pekerjaan. Hal ini senada dengan firman
Allah:
“
Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya.”[36]
“Maka
bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sekemampuan kalian..”[37]
Dari berbagai definisi yang dijelaskan para ‘Ulama
diatas bisa disimpulkan bahwa ijtihad secara terminologi dapat diartikan
sebagai pengerahan kemampuan optimal seorang faqih (mujtahid) dalam
menggali hukum-hukum syara’ yang bersifat zhanni (bukan pada masalah
hukum yang sudah qath’i dan tetap) yang telah termaktub secara eksplisit
di dalam al-Qur’an al-Sunnah. Hal ini berpijak pada landasan naqli yang
mengisyaratkan adanya ketertiban dalam menggunakan sumber hukum dalam
menyimpulkan hukum sebuah persoalan, berdasarkan hadits dibawah ini
حدثنا حفص بن عمر بن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو
بن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل: أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال: كيف تقضي إذا عرض لك
قضاء؟ قال: أقضي بكتاب الله. قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله
صلى الله عليه وسلم. قال: فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في
كتاب الله؟ قال: أجتهد برأيي ولا آلو. فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره.
فقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضى رسول الله.[38]
“...Bahwa
Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman bertanya: “ Dengan cara
apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu suatu perkara? Mu’ādz
menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi
bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah?
Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak menemukan dalam
Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan menggunakan
ijtihād dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai
Rasūlullāh.”
Landasan dan Hukum Ijtihad
Ijtihad sebagai salah satu sumber hukum dari
sumber-sumber hukum syari’ah merupakan sebuah pernyataan yang didasarkan pada
dalil-dalil yang menunjukan kevalidannya, baik dalil yang bersifat isyarat
ataupun jelas eksplisit. Diantara dalil-dalil yang menunjukan hal tersebut,
didasarkan pada dalil naqli al-Qur’an, diantaranya Allah berfirman, “Apabila
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah
orsng-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya (secara
resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri).”[39]
Kemudian firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” [40] Ayat ini menjustifikasi eksistensi ijtihad dengan cara
qiyas.[41]
Kemudian firman-Nya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” [42]dan “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal.” [43] Juga “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memperhatikan tanda-tanda.” [44]Istilah berpikir dan berakal adalah sebuah aktifitas
yang menggunakan logika dengan penekanan yang ditunjukan ayat ini, yakni
berpikir tanpa mendahului al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kemudian
firman Ta’ala, “Maka ambillah pelajaran oleh kalian wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan. [45]Menurut al-Amidi, ayat ini pun menjadi landasan hukum
adanya ijtihad, dimana ayat ini menyatakan perintah untuk mengambil pelajaran
atas hal yang bersifat umum bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan.[46]
Selanjutnya firman Allah,“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu” [47]Dimana ayat ini menjelaskan bahwa adanya musyawarah
berarti menunjukan penghukuman atas dasar ijtihad, bukan atas dasar penghukuman
wahyu.[48]
Hal ini dilakukan jika tidak didapatkan kejelasan ayat tersurat yang qath’i dalam
suatu permasalahan. Kemudian ayat yang menyatakan, “Maka Kami memberikan
pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat).” Dan kepada
masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu.” [49]Menurut riwayat Ibn ‘Abbas, ada sekelompok kambing
telah merusak tanaman pada waktu malam. Pemilik tanaman mengadukan hal ini
kepada nabi Dawud as. Ia memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan
kepada pemilik tanaman sebagai ganti tanaman yang rusak. Tetapi nabi Sulaiman
memutuskan agar kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada pemilik tanaman
untuk diambil manfaatnya. Dan pemilik kambing diharuskan mengganti tanaman itu
dengan tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil
hasilnya, pemilik kambing itu boleh mengambil kembali kambingnya . Keputusan nabi
Sulaiman inilah keputusan yang lebih tepat.[50]
Kebijakan nabi Sulaiman ini merupakan ijtihad beliau dalam memutuskan sebuah
hukum. Imam al-Syāfi’ī (150-204 H) dalam al-Risālah mengatakan bahwa
landasan dari ijtihad ini adalah Qs. Al-Baqarah: 150, yang berbunyi, “Dan
dari manapun engkau (Muhammad) keluar,maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil
haram. Dan dimana saja engkau berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu.”[51]
Beliau menjelaskan bahwa ilmu yang menyatakan bahwa orang yang menghadapkan
arahnya ke Masjidil haram dari orang yang meninggalkan rumahnya, menunjukan
kebenaran adanya ijtihad untuk menghadapkan arah shalat ke Baitullah dengan
petunjuk-petunjuknya, karena orang yang mukallaf waktu itu pada dasarnya tidak
tahu apakah ia benar menghadap ke Masjidil Haram ataukah salah?.[52]
Diantaranya pula yang berdasarkan hadits Rasulullah
SAW. yang
diriwayatkan dari Amr ibn al-‘Āsh,
حدثني يحيى بن يحيى التميمي.
أخبرنا عبد العزيز بن محمد عن يزيد ابن عبد الله بن أسامة بن الهاد عن محمد بن
إبراهيم عن بسر بن سعيد عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص, عن عمرو بن العاص: أنه سمع
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران و : إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر.[53]
“...Jika
seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan
jika ia salah, ia mendapatkan satu pahala.”
Kemudian hadits yang menjelaskan mengenai pengutusan
Muadz ibn Jabal ke Yaman untuk menjadi hakim oleh Rasulullah SAW.,
حدثنا حفص بن عمر بن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو
بن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل: أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال: كيف تقضي إذا عرض لك
قضاء؟ قال: أقضي بكتاب الله. قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله
صلى الله عليه وسلم. قال: فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في
كتاب الله؟ قال: أجتهد برأيي ولا آلو. فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره.
فقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضى رسول الله.[54]
“...Bahwa
Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman bertanya: “ Dengan cara
apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu suatu perkara? Mu’ādz
menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi
bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah?
Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak menemukan dalam
Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan menggunakan
ijtihād dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai
Rasūlullāh.”
Landasan
berijtihad juga dapat ditemukan dalam riwayat yang menceritakan dua sahabat
yang telah berijtihad ketika keduanya mengadakan perjalanan, dimana ketika itu waktu
shalat sudah datang, namun keduanya tidak menemukam air. Kemudian keduanya
shalat (dengan bertayamum), tidak lama kemudian setelah keduanya selesai
melakukan shalat, keduanya menemukan air. Maka salah seorang mengulangi
shalatnya. Sedang yang satu lagi tidak mengulanginya. Ketika hal itu diadukan
kepada Rasulullah, beliau membenarkan keduanya, seraya beliau berkata kepada
orang yang tidak mengulangi shalatnya: “Engkau sesuai dengan sunnah, dan
shalatmu mendapat pahala.” Sedangkan kepada yang mengulangi shalatnya, ia
berkata: “Bagimu dua pahala.”[55]
Kemudian
ada taqrīr (sikap diam tanda setuju) Rasulullah SAW. kepada ‘Amr ibn
‘Ash ketika ia shalat dalam salah satu sariyyah[56]
beserta sahabatnya. Dikatakan bahwa ‘Amr junub, tetapi ia tidak mandi,
bahkan cuma tayammum saja karena malam itu sangat dingin. Maka hal itu diadukan
kepada Rasulullah SAW., dan ‘Amr berargumen bahwa ia tidak mandi, tapi hanya
tayammum karena ia teringat firman Allah Ta’ala, “Janganlah kalian membunuh
diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang atas kalian.”[57]
Cara berijtihad ini diikuti pula oleh para sahabat dan
generasi selanjutnya setelah wafatnya Rasulullah SAW., sebagai ciri khas yang
selaras dalam menyimpulkan suatu hukum syar’i yang ditetapkan di dalam Islam.
Mereka senantiasa menggunakan ijtihad, jika tidak ditemukan suatu kejelasan
hukum suatu masalah di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini sudah menjadi
ijma’ para sahabat yang diikuti oleh segenap ‘Ulama Islam dalam berbagai
madzhab.[58]
Umat Islam dengan berbagai madzhabnya telah sepakat
(ijma’) atas adanya syari’at ijtihad dan mengaplikasikannya. Dan hasilnya
terjadinya perkembangan dalam bidang fikih. Begitupun akal mewajibkan adanya
ijtihad, karena kebanyakan dalil-dalil hukum syara’ dalam bentuk aplikatif
praktis (amal) bersifat zhannī yang memungkinkan dipahami dengan
beberapa pemahaman. Oleh karena itu diperlukan ijtihad untuk menentukan
pendapat yang terkuat. Begitu juga permasalahan yang tidak ada kejelasan nash
tersurat, memerlukan ijtihad untuk menjelaskan hukum syari’at dalam masalah
tersebut. Oleh karena ijtihad itu disyari’atkan, maka kedudukan ijtihad ini
pula sangat penting untuk diperhatikan. Syeikh Yusuf al-Qaradhawi menghukumi
ijtihad dengan fardhu kifayah.[59]
Ia beralasan bahwa ijtihad itu untuk kepentingan agama dan dunia, sebagaimana
ilmu hisab, kedokteran, dan lainnya, yang hukumnya fardhu kifayah. Beliau juga
mengutip al-Syaukani dan al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal yang
menyatakan bahwa hukum ijtihad adalah fardhu kifayah.[60]
Pembagian Ijtihad
Perbedaan pendapat mengenai makna ijtihad yang
diserupakan dengan qiyas, ra’yu (logika) yag termasuk di dalamnya istihsān atau
mashālih mursalah, menjadi pembahasan yang terus bergulir. Al-Syafi’i
misalnya yang menyatakan bahwa ijtihad sama dengan qiyas,[61]
dibantah oleh Al-Ghazali dengan argumentasi bahwa ijtihad lebih umum ketimbang
Qiyas, karena ijtihad kadang memperhatikan penelitian usahanya dalam
masalah-masalah umum, kedalaman lafazh-lafazh, dan jalan-jalan mencari dalil
lain selain Qiyas.[62]
Bahkan dikatakan bahwa ijtihad mencakup ra’yu (logika), qiyas, dan akal.
Sebagaimana ra’yu diartikan oleh mereka yang berpendapat demikian diklaim
sebagaimana para sahabat memahaminya, yaitu sebagai amal yang yang dipandang
oleh mujtahid sebagai suatu kemaslahatan dan lebih dekat kepada semangat
syari’at Islam tanpa penelitian kepada apakah hal itu ada dasar tertentu untuk
kejadian tersebut atau tidak.[63]
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan al-Syairazī dalam al-Luma’ fī Ushūl
al-Fiqh, seperti dikutip Wahbah Zuhaili, bahwa yang benar adalah bahwa
ijtihad itu lebih umum dari qiyas, karena ijtihad merupakan pengerahan
kemampuan seorang mujtahid dalam mencari hukum, yang di dalamnya mencakup
pengetahuan tentang mutlaq atas muqayyad, penertiban yang ‘Ām atas
yang Khāsh, dan seluruh bahasan-bahasan yang menuntut pencarian hukum.
Dan dari bahasan-bahasan itu, hanya sebagian yang termasuk qiyas.[64]
Pembagian ijtihad, sebagaimana yang dijelaskan
al-Syāthibi,[65]
terbagi kepada tiga bagian dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman. Yang
pertama, Ijtihad bayānī, yaitu ijtihad untuk menjelaskan
hukum-hukum syara’ dari nash-nash syāri’ (Al-Qur’an dan al-sunnah).
Ijtihad ini untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya zhanni,
baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihad
bayani ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah
satu diantara beberapa pemahaman yang berbeda.. Kedua, ijtihad Qiyāsī,
yang artinya ijtihad yang dilakukan untuk menggali dan menemukan hukum terhadap
permasalahan atau suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat
dalam nash –baik qath'i ataupun zhanni- juga tidak ada ijma' yang
telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk menetapkan hukum suatu
kejadian dengan merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara
dua peristiwa itu ada kesamaan dalam 'illat hukumnya, atau biasa disebut Qiyas.
Ketiga, ijtihad Istishlāhī, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk
menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syar'i dengan cara menetapkan kaidah kulli
untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash –baik qath'i
maupun zhanni-, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash
yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma'. Dasar pegangan dalam ijtihad macam
ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara' yang bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat ataupun menghindarkan
madharat.
Mengenai pembagian ijtihad diatas, Taqiy al-Dīn
al-Hakīm dalam al-Ushūl al-‘Āmmah li al-Fiqh al-Muqārin, mengomentari
bahwa ijtihad bayani tidak mencakup syarat-syarat pembagian yang mantiqi,
karena tidak memenuhi kapasitas pembagian. Dimana ijtihad ini tidak mencakup
ijtihad istihsani dan lainnya dari dalil-dalil istinbat yang menjadi pegangan
para fuqaha. Kemudian mengenai ijtihad qiyāsī, ia berkomentar bahwa qiyas bukan
satu bagian ijtihad bayani dari keseluruhan bagian-bagian qiyas. Tetapi pada
sebagiannya qiyas menjadi bagian dari ijtihad, seperti qiyas yang didasarkan
pada nash yang tersurat dengan menggunakan ‘illat atau yang mengambil keumuman
hukum dari keumuman atau kemutlakan illatnya untuk semua yang berkaitan
dengannya. Sedangkan ijtihad istishlāhī merupakan nama lain dari ijtihad
bayani, karena sama-sama menyimpulkan hukum dari dalil-dalil yang umum, seperti
“ Lā Dharara wa lā dhirāra” (jangan membahayakan diri dan orang lain).
Oleh karena itu, menurut al-Hakīm, ijtihad itu terbagi kepada dua bagian saja. Pertama,
ijtihad ‘Aqlī, yaitu ijtihad yang argumentasinya atas dasar akal dan
logika yang tidak bisa diterima menjadi hukum syara’, seperti kebebasan akal
dan kaidah-kaidah yang menolak bahaya yang diperselisihkan atau jeleknya sanksi
hukum tanpa adanya penjelasan dan lainnya. Kedua, ijtihad Syar’ī, yaitu
argumentasi yang didasarkan atas argumentasi-argumentasi syar’i. Yang termasuk
ijtihad ini adalah ijma’, qiyas, istohsan, istishlah, ‘urf, istishhab, dan
lainnya.[66]
Sedangkan melihat bentuk ijtihad dari sisi mungkin
atau tidak mungkin terhenti kegiatannya, al-Syatibi membaginya menjadi dua
macam. Pertama, ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad
dalam bentuk ini adalah yang disebut dengan tahqīq al-manāth atau
ijtihad dalam menjelaskan hukum. Kedua, ijtihad yang mungkin terhenti
kegiatannya. Pada bentuk kedua ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) tanqīh
al-manāth yang artinya upaya mujtahid untuk memilih berbagai ‘illat yang
ditemukan untuk ditetapkan sebagai ide hukum suatu ayat, dan (2) takhrīj
al-manāth yang artinya upaya mujtahid untuk menggali berbagai ‘illat dari
suatu hukum.[67]
Kemudian ijtihad dilihat dari sisi hasil yang dicapai
terbagi kepada dua bentuk. Pertama, ijtihad mu’tabar, yaitu
ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai penemuan hukum, yakni ijtihad
yang dihasilkan oleh pakar yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad
berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan. Kedua, ijtihad ghair
mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum tidak dapat dipandang sebagai
cara dalam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk ini adalah ijtihad yang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad
berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan.[68]
Syarat-syarat Ijtihad
Al-Ghazali
menjelaskan syarat mujtahid hanya pada dua syarat saja. Pertama, menguasai
pengetahuan-pengetahuan ilmu syara’ (agama), yang memungkinkan seorang mujtahid
bertindak proporsional dalam meneliti suatu persoalan, yaitu ia bisa
mendahulukan apa yang mesti didahulukan, dan mengakhirkan apa yang mesti
diakhirkan. Kedua, seorang mujtahid mestilah seorang yang adil dan
menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan yang tercela. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa
syarat yang kedua (adil) adalah merupakan syarat diterimanya fatwa, bukan
syarat sahnya ijtihad. Oleh karena itu, jika seseorang mendalam ilmunya, tetapi
ia tidak menggambarkan keadilan dirinya, maka ia berijtihad untuk dirinya saja,
tidak untuk yang lainnya dalam wujud fatwa.[69]
Begitupun dengan al-Syathibi yang mensyaratkan dua persyaratan dalam
berijtihad, tetapi beda isi dengan al-Ghazali. Pertama, memahami secara
sempurna maqāshid al-syarī’ah. Kedua, mempunyai kapasitas dalam
mengistinbat hukum sebagai gambaran dari pemahamannya.[70]
Tetapi
uraian secara terperinci dalam menentukan syarat-syarat ijtihad, para ‘Ulama
membaginya ke dalam tiga klasifikasi, yaitu al-syurūth al-‘Āmmah (syarat-syarat
umum), al-syurūth al-khāshshah atau al-syurūth al-tahlīliyyah (syarat-syarat
khusus atau terperinci), dan al-syurūth al-takmīliyyah (syarat-syarat
penyempurna). Penjelasan dari ketiganya adalah sebagai berikut.
1. Al-syurūth
al-‘Āmmah (syarat-syarat umum)
Yang termasuk persyaratan yang pertama, yaitu (1)
seorang mujtahid mesti seorang muslim bertauhid, yakni mengetahui dan meyakini
keberadaan Allah, sifat-sifat-Nya, kesempurnaan-Nya. Kemudian jua membenarkan
Rasul SAW., dan apa yang dibawa berupa syari’at, sehingga seorang mujtahid
menjadikan hal itu menjadi rujukan utamanya.[71]
Kemudian (2) sorang mujtahid adalah seorang yang baligh, karena jika masih
kecil tidak memenuhi syarat ilmu dalam mengetahui fiqih dari berbagai aspeknya.
Yang (3) seorang mujtahid adalah orang yang berakal, karena tanpa akal tidak
akan mendapat ilmu, pemahaman, dan lainnya. Sedang yang ke (4) adalah mujtahid
mesti seorang yang faqīh al-nafs, yaitu orang yang mempunyai kemampuan
dalam menyimpulkan hukum-hukum fiqih dari dalil-dalilnya.[72]
2. Al-syurūth
al-khāshshah atau al-syurūth al-tahlīliyyah (syarat-syarat
khusus atau terperinci)
Syarat ini adalah syarat yang dilihat dari keahlian,
sebagaimana yang dijelaskan Yusuf al-Qarādhawī, bahwa syarat- tersebut adalah
sebagai berikut. (1) mengetahui dan menguasai arti ayat-ayat al-Qur’an,
khususnya tentang ayat-ayat hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah. (2) mengetahui
dan menguasai hadits-hadits nabi SAW., khususnya hadits-hadits yang berkaitan
dengan hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah. (3) mengetahui bahasa
arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai
problematikanya. (4) mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan
melalui ijma’ ‘Ulama, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’. (5)
mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. (6)
mengetahui maqāshid al-syarī’ah secara umum.. (7) mengetahui kondisi
masyarakat dan kehidupan atau lingkungan. (8) mempunyai jiwa adil dan taqwa.[73]
3. al-syurūth
al-takmīliyyah (syarat-syarat penyempurna)
Diantara syarat penyempurna ini adalah sebagai
berikut: (1) mengetahui peniadaan yang mendasar, yaitu seorang mujtahid
mengetahui bahwa yang mendasar itu adalah meniadakan bahwa ia tidak berhukum
kecuali apa yang telah digariskan oleh syara’, tidak ada kewajiban
kecuali apa yang diwajibkan oleh syara’, tidak ada yang dilarang kecuali
apa yang dilarang oleh dalil. Imam al-Ghazali mengibaratkannya kepada dalil
akal,[74]
karena akal yang benar tidak akan menolak dalil, tapi justru menguatkannya. (2)
Memahami maqāshid al-syarī’ah (tujuan-tujuan syari’at). Dimana
al-Syathibi dan al-Qaradhawi memasukannya sebagai salah satu syarat utama.
Al-Syātiby dalam al-muwāfaqāt menyebutkan bahwa maslahah
atau maqāshid al-syari'ah terbagi kepada al-mashālih
al-dharuriyyah, al-hājiyyah, dan al-tahsiniyyah. Al-mashālih
al-dharuriyyah. Menurutnya, sesuatu yang harus ada dalam usaha menegakkan
dan menjaga urusan agama serta dunia, yang melingkupi penjagaan agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Al-Māshalih al-Hājiyyah ialah
segala yang diperlukan manusia agar penghidupan ini menjadi mudah dan lapang,
hilanglah kesempitan dan kesukaran, tetapi tidak mengarah kepada kerusakan dan
kebinasaan. Sedangkan al-mashālih al-tahsiniyyah adalah segala
yang berhubungan dengan keindahan dalam kehidupan, baik bagi individu maupun
masyarakat. Jika hal ini tidak ada hanya dipandang kurang baik saja.[75]
(3) Mengetahui kaidah-kaidah kulliyyah. Dalam hal ini Imam Ibn al-Subkī
memasukannya sebagai salah satu syarat dalam memahami maksud sya’ri’ (Allah
swt). Dan yang dimaksud dengan kaidah kulliyyah adalah kaidah-kaidah al-kulliyyah
al-fiqhiyyah, seperti “al-dhararu yuzālu” (bahaya itu akan hilang)
atau al-yaqīn lā yazūlu bi al-Syak (keyakinan tidak akan hilang dengan
keraguan). (4) mengetahui tempat-tempat perselisihan. Mengutip perkataan
Qatadah, ia berkata: “barang siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf (perbedaan),
maka hidungnya tidak mencium pemahaman.” Hisyam ibn ‘Ubaid Allah al-Razi berkata:
“barang siapa tidaka mengetahui perbedaan qira’ah, maka ia bukan qāri’. Dan
barang siapa yang tidak mengetahui perbedaan para fuqaha, maka ia bukan faqih.”[76]
(5) Mengetahui ‘urf (adat kebiasaan) yang berjalan di suatu negeri.
Dengan pengetahuan ini, dapat mengambil kebijakan hukum secara proporsional.[77]
Dalam hal ini al-Qurāfī mengatakan bahwa pengetahuan terhadap ‘urf adalah
urusan yang wajib yang tidak ada perselisihan ‘ulama tentang hal itu.
Sesungguhnya jika ada dua adat dalam dua negeri, maka kedua adat itu tidak
sama. Begitu pula hukum kedua negeri itu pun tidak sama.[78]
(6) Mengetahui mantiq (logika), sebagaimana yang dikemukakan al-Ghazali bahwa
seorang mujtahid mesti mengetahui pembagian dalil-dalil (akal, syari’at,
wadh’iyyah /ibarat-ibarat bahasa), kesulitan-kesulitannya, dan
syarat-syaratnya.[79]
(7) keadilan dan keshalihan mujtahid. (8) Mempunyai sejarah dan pengalaman yang
baik (tidak cacat). (9) mempunyai sifat wara’ (taqwa) dan ‘iffah
(karisma) dari setiap hal yang akan merusak kemuliaannya. (10) Mempunyai
ketenangan dalam berpikir, kebijaksaan dalam menjelaskan dan hati-hati dalam
berfatwa. (11) Perasaan rendah diri di hadapan Allah dengan selalu berdo’a
kepada-Nya untuk meminta petunjuk kebenaran. (12) Ketsiqahan dirinya dalam
keahliannya dan pengakuan masyarakat terhadapnya. Malik ibn Anas pernah
berkata: “Tidak pantas seorang ‘alim berfatwa sehingga dirinya dan masyarakat
melihatnya sebagai orang yang ahli dan pantas untuk berfatwa, dan begitu pula
ia diakui oleh ‘ulama dalam kepantasannya tersebut.“[80]
Dalam perkataannya yang lain, “aku tidak akan berfatwa sehingga ada 70 orang
yang bersaksi bahwa aku ahli dalam hal itu.” (13) Kesesuaian amal seorang
mujtahid dengan ucapannya dan ilmunya. Allah berfirman, “Dan diantara orang
mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada
Allah.”[81]
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak
kamu kerjakan. (itu) sangatlah dibenci disisi Allah jika kamu mengatakan apa
yang tidak kamu kerjakan.”[82]
Ranah Ijtihad
Imam al-Ghazali telah membatasi mengenai ranah yang
bisa dimasuki ijtihad hanya pada setiap hukum syara’ yang tidak ditemukan
kejelasan dalilnya (baik dari al-Qur’an ataupun al-Sunnah) secara qath’ī.
[83]
Maka tidak menjadi lahan dan ranah ijtihad setiap apa yang telah termaktub
secara eksplisit dan qath’ī, seperti wajibnya shalat lima waktu, zakat,
dan lainnya. Maka dari sini, dapat diketahui bahwa hukum-hukum syari’at jika
dinisbatkan kepada ijtihad ada dua macam, yaitu apa yang diperbolehkan
ijtihad padanya dan apa yang tidak diperbolehkan.
Adapun
yang termasuk ranah yang dilarang ijtihad padanya adalah hukum-hukum yang sudah
diketahui keberadaannya secara pasti atau yang telah ditetapkan dengan dalil
yang qath’ī al-tsubūt,[84]
seperti wajibnya shalat, shaum, zakat, haji, dua kalimat syahadat, haramnya
zina, mencuri, minum khamar, membunuh, dan sanksi-sanksi hukumnya, dimana semua
hal tersebut sudah dinyatakan di dalam al-Qur’an dan al-hadits, baik perkataan
nabi ataupun pekerjaannya.[85]
Sedangkan
yang termasuk ranah ijtihad adalah hukum-hukum yang ada nash atau dalilnya,
tetapi bersifat zhannī al-tsubūt zhannī al-dilālah, qath’ī al-tsubūt
zhannī al-dilālah, qath’ī al-dilālah zhannī al-tsubūt, hukum-hukum yang
yang sama sekali tidak eksplisit dalam nash dan dalil, dan hukum yang belum ada
ijma’ mengenainya.[86]
Jika
keadaan nash hadits zhannī al-tsubūt, maka ini menjadi ranah ijtihad
yang mesti diijtihadi dengan penelitian pada sanadnya dan jalan sampainya
periwayatannya kepada kita dan derajat para perowinya, baik sisi ‘adālah (keshalehan)-nya
maupun dhabth (intelektual)-nya. Kemudian jika keadaan nash
hadits zhannī al-dilālah, maka yang mesti diijtihadi adalah penelitian
dalam pengetahuan makna termaksud suatu nash dan kekuatan dilālah (petunjuk)nya
atas makna. Kadang-kadang makna itu bersifat ām (umum) atau bersifat
mutlak. Kadang-kadang dimaksudkan dengan bentuk amr (perintah) atau
bentuk nahy (larangan). Kadang-kadang juga menunjukan makna dengan
bentuk ‘ibārat (perumpamaan), isyarat, ataupun yang lainnya.[87]
Kemudian
jika suatu kejadian atau masalah, tidak ditemukan kejelasan nash ataupun ijma’
sama sekali, maka ranah ijtihad dalam hal ini adalah dengan penelitian tentang
hukumnya dengan dalil-dalil ‘aqliyyah (menggunakan akal), seperti qiyās,
istihsan, mashālih mursalah, ‘urf, istishhāb, dan lainnya.[88]
Tingkatan-tingkatan Mujtahid
Abu Zuhrah dalam karyanya Ushūl al-Fiqh
menjelaskan tingkatan-tingkatan mujtahid ke dalam 6 tingkatan:[89]
1. Mujtahid
dalam hukum syara’ atau Mutlaq Mustaqil
Mujtahid pada tingkat pertama ini menggali, menemukan,
dan mengeluarkan hukum langsung dari sumbernya. Ia menelaah hukum dari
Al-Qur’an dan menyimpulkan hukum dari hadits nabi. Ia menggunakan qiyas dalam
menetapkan hukum atas sesuatu yang dilahatnya ada kesamaan ‘illat antara
hukum yang sudah ada nashnya dengan yang tidak ada nashnya, atau menggunakan istihsān
karena dilihatnya qiyas tidak menyelesaikan maslah, dan menyelesaikan hukum
atas dasar maslahah mursalah, istishab dan dalil lain bila tidak menemukan
nash yang memberi petunjuk. Ia juga termasuk yang dijelaskan al-Qaradhawi
dengan istilah mujtahid mutlaq mustaqil, yaitu mujtahid yang mempunyai
tiga ciri khas, (1) merintis sendiri dengan menggunakan kaidah dan ilmu ushul
yang disusunnya sendiri, (2) mendasarkan pada al-Qur’an dan al-sunnah dengan
mengetahui hukum-hukum yang telah ada jawabannya, memilih dalil-dalil yang
bertentangan, menjelaskan yang rajih dari yang ada perselisihan, dan
memperingatkan untuk senantiasa menyimpulkan hukum langsung merujuk kepada
dalil-dalil tersebut. Dan (3) berbicara dalam hal-hal yang belum ada kejelasan
hukum sebelumnya dengan merujuk kepada dalil-dalil.[90]
Yang termasuk mujtahid muntasib diantaranya, dari kalangan tabi’in, Sa’id ibn
Musyyab, Ibrahim al-Nakh’i, Ja’far al-Shadiq, Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i,
Ahmad ibn Hambal, al-Auza’i, al-Laits ibn Sa’ad, Sufyan al-Tsauri, dan
lain-lainnya.
2. Mujtahid
Muntasib
Mujtahid yang dihubungkan kepada mujtahid yang lain.
Ia berijtihad meilih dan mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah
ditetapkan oleh mujtahid terdahulu, namun ia tidak mesti terkaitt kepada
mujtahid sebelumnya dalam menetapkan hukum furu’, meskipun hasil
penemuan yang ditetapkannya ada yang kebetulan sama dengan apa yang telah
ditetapkan oleh mujtahid sebelumnya yang dirujuknya. Keterikatan mujtahid ini,
karena sebelumnya ia berguru kepadanya dan mengambil cara-cara yang
dipergunakan oleh gurunya dalam berijtihad.[91]
Yang termasuk mujtahid muntasib diantaranya, Abu Yusuf Muhammad, Muhammad ibn
Hasan al-Syaibani, yang berguru kepada Abu Hanifah, al-Muzani yang berguru
kepada al-Syafi’i, Abd al-Rahman ibn Qasim yang berguru kepada imam Malik.
3. Mujtahid
Madzhab
Mujtahid ini adalah mujtahid yang mengikuti imam
madzhab tempat ia bernaung, baik dalam lmu ushul maupun furu’. Ia mengikuti
temuan yang dicapai imam madzhab dan tidak menyalahi ketetapan yang telah
digariskan imamnya.[92]
4. Mujtahid
Murajjih
Mujtahid murajjih adalah mujtahid yang berusaha
menggali dan mngenal hukum furu’, namun ia tidak sampai mengistinbatkan sendiri
hukum dari syar’i maupun dari nash imamnya. Pengerahan kemampuannya hanya
menemukan pendapat-pendapat yang pernah diriwayatkan dalam madzhab dan
mentarjihnya diantara pendapat-pendapat tersebut bagi pengamalannya. Dalam
istilah yang lain, penamaaan mujtahid ini, menurut al-Qaradhawi disebut sebagai
mujtahid fatwā.[93]
5. Golongan
Huffazh
Golongan ini tidak melakukan ijtihad dalam pengertian
terminologi, tetapi mempunyai kemampuan untuk menghapal dan mengingat
hukum-hukum dan periwayatannya yang telah ditetapkan imam mujtahid terdahulu
secara langsung dari nash atau apa yang telah ditemukan oleh mujtahid madzhab
dengan mentakhrijkannya dari pendapat imam madzhab. Dari sisi ijtihad, golongan
ini tidak punya kekuatan, tetapi sebaliknya dalam penghapalannya.
6. Golongan
Muqallid
Yaitu kalangan umat yang tidak mempunyai kemampuan
dalam melakukan ijtihad dalam pengertian terminologi, juga tidak mempunyai
kemampuan untuk mentakhrijkan pendapat imam, bahkan ia juga tidak memahami
dalil-dalil.
Kesinambungan Ijtihad
Kewajiban ijtihad tidak berhenti pada masa ‘ulama
terdahulu saja, tetapi sebaliknya kesinambungan kewajiban ijtihad mesti terus
terjadi di stiap masa ataupun tempat. Hal ini mengingat berkembang dan
kompleksitas problematika umat dari masa ke masa yang terus berkelanjutan. Oleh
karena itu, ijtihad merupakan solusi dalam memberikan keseimbangan hidup dengan
sinaran wahyu yang terurut. Ketika persoalan yang muncul merupakan persoalan
baru yang tidak eksplisit (qath’ī) dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, maka
ijtihad adalah jawabannya, yang sudah barang tentu mesti dilakukan menurut
konsep yang sebenarnya di dalam Islam. Mengenai urgensitas kesinambungan
ijtihad, sebagaimana dikutif Yusuf al-Qaradhawi, imam al-Syaukani berkata:
“Tidak tersembunyi atas kalian (jelas nampak-pent) bahwa kedudukan ijtihad
adalah fardhu yang niscaya keberadaannya sepanjang rentangan zaman,
tanpa harus kosong dari seorang mujtahid. Hal ini dibenarkan oleh Rasulullah
SAW. dalam sabdanya: “Akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang
berada dalam kebenaran dengan jelas sampai terjadinya hari kiamat.”[94]
Hanabilah (pengikut Ahmad ibn Hanbal) mengatakan bahwa
tidak boleh suatu masa kosong dari seorang mujtahid. Dalam hal ini al-ustadz
Abu Ishaq berkata: “Dan dibawah pendapat ‘ulama, Allah tidak akan mengosongkan
suatu zaman dari orang yang menegakkan hujjah dan argumentasi mengenai urusan
yang besar, seakan-akan Allah mengilhamkan hal tersebut. Artinya: Jika Allah
mengosongkan suatu zaman dari penegak hujjah (mujtahid), maka akan terlepaslah
beban kewajiban (taklif). Begitupun dengan imam al-Zubairi yang menyatakan
bahwa bumi ini tidak akan kosong dari penegak hujjah (mujtahid) di setiap
waktu, masa, dan zaman. Tetapi tentunya, jumlah mujtahid itu sedikit dari yang
banyak. Oleh karena itu, jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada mujtahid saat
ini (suatu zaman), hal itu adalah salah, karena jika tidak ada fuqahā, maka
kewajiban-kewajiban seluruhnya tidak akan ada. Jika tidak ada kewajiban, maka
makhluk akan dihancurkan, sebagaimana sabda rasul, “tidak akan terjadi
kiamat kecuali atas seburuk-buruknya manusia.” Dan kita berlindung kepada
Allah untuk diakhirkan beserta orang-orang yang buruk.”[95]
Kondisi real suatu zaman meniscayakan adanya
mujtahid yang mengemban amanah menegakkan hujjah Islam dimuka bumi, demi terjaganya
kemaslahatan umat Islam di dunia dan di akhirat. Menjawab semua permalahan baru
dalam dunia yang selalu baru, tetapi bukan mengada-ada hukum baru dari hukum
yang sudah baku. Keniscayaan zaman yang akan terus mendatangkan penghuni dunia
pengisi zaman yang terus menemui kenistaan dan jauh dari pancaran wahyu di
bawah worldview Islam. Hal ini sesuai dengan riwayat yang diterima dari
Anas ibn Malik bahwa Rasul SAW. bersabda: “Bersabarlah kalian, karena tidak
akan datang suatu zaman, kecuali zaman tersebut akan lebih jelek dan buruk dari
zaman sebelumnya sehingga kalian menemui Tuhan kalian.”[96] Mengomentari
hadits ini, Abdullah ibn Mas’ud menjelaskan bahwa yang dimaksud zaman pada
hadits diatas, bukanlah suatu tahun lebih baik dari tahun yang lain tau seorang
amir lebih baik dari amir yang lain, tetapi ketika para ‘ulama dan
fuqaha diantara kalian wafat, tetapi tidak ada pengganti mereka. Kemudian
datang suatu kaum yang berfatwa dengan akal mereka (tanpa mengindahkan
wahyu-pent). Maka mereka menurunkan kewibawaan Islam, bahkan menghancurkannya.[97]
Penutup
Urgensitas ijtihad adalah sebuah aksioma yang tidak
terbantahkan dalam memecahkan berbagai persoalan dalam ranah hukum syari’at.
Kedudukannya pun terlegalisasi dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dan tidak
asal-asalan. Oleh karena itu, otoritas ijtihad tidak dimiliki oleh setiap
orang, melainkan orang-orang tertentu saja yang memiliki dan memenuhi
kualifikasi. Ijtihad merupakan sebuah ekspresi maksimalisasi potensi akal
proporsional dan rasionalisasi hukum dengan naungan wahyu yang terrefleksikan dalam
worldview Islam. Kegiatan ijtihad adalah kegiatan yang niscaya
keberlangsungannya dalam memfasilitasi terwujudnya hukum yang sesuai dengan
pancaran wahyu, Al-Qur’an dan al-Sunnah, karena ia juga sebagai metodologi dan
perangkat teoritik fiqih dalam menderivasi hukum dari sumber primer hukum,
Al-Qur’an dan al-Sunnah. Wallāhu a’lam.
Daftar Pustaka
× Al-Afrīqī,
Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Mandzūr, Lisān al-‘Arab, jilid 3,
Beirut: Dār al-Shadr, 1994
× Al-Zarkasyī,
Badr al-Dīn Muhammad ibn Bahādir ibn ‘Abd Allah al-Syāfi’ī, al-Bahr
al-Muhīth fī Ushūl al-Fiqh, al-Thab’ah al-Tsāniyah, 1992
× Al-Dīn.
Muhammad Mahdī Syams, al-Ijtihād wa al-Tajdīd fī al-Fiqh al-Islāmī, Beirut:
al-Dauliyyah al-Muassasah, al-Thab’ah al-Ūlā, 1999
× Al-Amidi,
Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad, al-Ihkām fī Ushūl
al-Ahkām,’Allaqa ‘alaih al-‘Allāmah al-Syeik ‘Abd al-Razzāq ‘Afīfī, jilid
4, Riyādh: Dār al-Shamī’ī, 2003Muhammad Fuād ‘Abd al-Bāqī, Al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm, Kairo: Dār al-Hadīts, 1996
× Al-Dimasyqī,
‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’ Ismā’il ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, al-Thab’ah
al-Ūlā, Tahqīq Mushthafā al-Sayyid Muhammad, Muhammad Fadl al-‘Ajmārī, Muhammad
al-Sayyid Rasyād, ‘Alī Ahmad ‘Abd al-Bāqī, Hasan ‘Abbās Quthb, Muassasah
Qurthubah, 2000
× ‘Umar,
Muhammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn ibn al-‘Allāmah Dhiya’ al-Dīn, Tafsīr al-Fakhr
al-Rāzī al-Musytahid bi al-Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-Ghaib, Beirut: Dār
al-Fikr, al-Thab’ah al-Ūlā, 1981, jilid 13
× Al-Maraghi,
Ahmad Mushthafa, Tafsīr al-Marāghī, Syarikah Maktabah wa Math’amah
Mushthafa al-Bābī al-Halabī wa Aulādih bi Mishra, al-Thab’ah al-Ūlā, 1946, hal.
215
× Al-Qurthubi,
Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr, al-Jāmi’ al-Ahkām al-Qur’ān,
Tahqīq ‘Abd Allah ibn ‘Abdan al-Muhsin al-Turkī, Muassasah al-Risālah,
al-Thab’ah al-Ūlā, 2006
× Hazm,
Abū Muhammad ‘Alī ibn Ahmad ibn Sa’īd ibn, Al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām, Tahqīq
Ahmad Muhammad Syākir, Beirut: Dār Āfāq al-Jadīdah, jilid 8, t.th.
× Al-Sijistānī,
Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy’ats, Sunan Abī Dāwud, jilid 1, Beirut: Dār
al-Fikr, 1994
× Al-Naisāburī,
Abu Husain Muslim ibn Hajjāj al-Qusyairī, Shahīh Muslim, jilid 1,
Beirut: Dār al-Fikr, 1992
× Al-‘Umrī,
Nādiyah Syarīf, Al-Ijtihād Fī al-Islām Ushūluh Ahkāmuh Āfāquh, Muassasah
al-Risālah, al-Thab’ah al-Tsālitsah, 1986
× Al-Taftazānī,
Sa’d al-Dīn, Hāsyiyah al-Sa’d al-Taftazānī ‘Alā Mukhtashar Ibn al-Hājib, jilid
2
× ‘Ala’
al-Dīn Abī al-Hasan ‘Alī ibn Sulaimān al-Mardāwī al-Hambalī, Al-Tahbīr Syarh
al-Tahrīr fī Ushūl al-Fiqh, Dirāsah wa Tahqīq ‘Abd al-Rahmān ibn Abd Allah
al-Jibrīn, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, jilid 1, t.th.
× Al-Ghazālī,
Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad, al-Mustashfā min ‘ilm al-Ushūl, jilid
2, Dār al-Fikr, t.th.
× Zuhaili,
Wahbah, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, Dār al-Fikr, al-Thab’ah al-Ūlā, 1986
× Al-Syaukānī,
Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad, Irsyād al-Fuhūl ilā Tahqīq al-Haqq min ‘Ilm
al-Ushūl, Surabaya: Idārah Thabā’ah al-Munīrah, t.th.
× Bik,
Ahmad Ibrahim, ‘Ilm Ushūl Fiqh wa Yalih Tārīkh al-Tasyrī’ al-Islāmī, Kairo:
Dār al-Anshār, 1939
× Khalaf,
‘Abdul Wahhāb, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, Kairo: Dār al-Qalam, 1978
× Zahrah,
Muhammad Abu, Ushūl al-Fiqh, Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, t.th.
× Al-Syāthibī,
Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī, al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Ahkām, jilid
4, Dār al-Fikr, t.th.
× Al-Qurthūbī,
Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān,
Tahqīq ‘Abd Allah ibn ‘Abdan al-Muhsin al-Turkī, Jilid 14, al-Thab’ah al-Ūlā,
Muassasah al-Risālah, 2006
× Al-Syāfi’ī,
Muhammad ibn Idris, Al-Risālah, Tahqīq Ahmad Muhammad Syākir, Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th
× Al-Jauziyyah,
Ibn al-Qayyim, I’lām al-Muwāqi’īn ‘an Rabb al-Ālamīn, terjemah
Kamaluddin Sa’diyatul Haramain, Panduan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Azzam,
2000
× Al-Qarādhāwī,
Yusuf, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt Tahlīliyyah fī
al-Ijtihād al-Mu’āshir, Kuwait: Dār al-Qalam, al-Thab’ah al-Ūlā, 1996
× __________________,
al-Mubasysyarāt bi al-Intishār al-Islām, Kairo: MaktabahWahbah, 2004
× Salmān
Abu ‘Abīrah Masyhū ibn Hasan Ali, I’lām al-Muwāqi’īn ‘An Rabb al-‘Ālamīn, jilid
1, Riyadh: Maktabah Ibn al-Jauzī, al-Thab’ah al-Ūlā, 1423, hal 66
[1] Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Mandzūr al-Afrīqī,
Lisān al-‘Arab, jilid 3, Beirut: Dār al-Shadr, 1994, hal. 133. Badr
al-Dīn Muhammad ibn Bahādir ibn ‘Abd Allah al-Syāfi’ī Al-Zarkasyī, al-Bahr
al-Muhīth fī Ushūl al-Fiqh, al-Thab’ah al-Tsāniyah, 1992, hal. 197.
Selanjutnya diringkas al-Bahr al-Muhīth. Muhammad Mahdī Syams al-Dīn, al-Ijtihād
wa al-Tajdīd fī al-Fiqh al-Islāmī, Beirut: al-Dauliyyah al-Muassasah,
al-Thab’ah al-Ūlā, 1999, hal. 39
[2] Lihat pengertian ijtihad menurut al-Amidi dalam
Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkām fī Ushūl
al-Ahkām,’Allaqa ‘alaih al-‘Allāmah al-Syeik ‘Abd al-Razzāq ‘Afīfī, jilid
4, Riyādh: Dār al-Shamī’ī, 2003, hal. 197. Selanjutnya diringkas al-Ihkām.
[3] Muhammad Fuād ‘Abd al-Bāqī, Al-Mu’jam al-Mufahras
li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm, Kairo: Dār al-Hadīts, 1996, hal. 224. Selanjutnya
diringkas Al-Mu’jam al-Mufahras.
[4] وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُواْ أَهَـؤُلاء الَّذِينَ أَقْسَمُواْ بِاللّهِ
جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُو
[5] وَأَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِن جَاءتْهُمْ آيَةٌ
لَّيُؤْمِنُنَّ بِهَا قُلْ إِنَّمَا الآيَاتُ عِندَ اللّهِ وَمَا يُشْعِرُكُمْ
أَنَّهَا إِذَا جَاءتْ لاَ يُؤْمِنُونَ
[6] وَأَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لاَ يَبْعَثُ اللّهُ مَن يَمُوتُ
بَلَى وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً وَلـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
[7] وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ أَمَرْتَهُمْ
لَيَخْرُجُنَّ قُل لَّا تُقْسِمُوا طَاعَةٌ مَّعْرُوفَةٌ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ
بِمَا تَعْمَلُونَ
[8] وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِن جَاءهُمْ نَذِيرٌ
لَّيَكُونُنَّ أَهْدَى مِنْ إِحْدَى الْأُمَمِ فَلَمَّا جَاءهُمْ نَذِيرٌ مَّا
زَادَهُمْ إِلَّا نُفُوراً
[10] الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ
وَالَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ
اللّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
[12] ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’ Ismā’il ibn Katsīr
al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, al-Thab’ah al-Ūlā, Tahqīq
Mushthafā al-Sayyid Muhammad, Muhammad Fadl al-‘Ajmārī, Muhammad al-Sayyid
Rasyād, ‘Alī Ahmad ‘Abd al-Bāqī, Hasan ‘Abbās Quthb, Muassasah Qurthubah, 2000,
hal, 134
[13] Muhammad al-Rāzī Fakhr al-Dīn ibn al-‘Allāmah Dhiya’
al-Dīn ‘Umar, Tafsīr al-Fakhr al-Rāzī al-Musytahid bi al-Tafsīr al-Kabīr wa
Mafātih al-Ghaib, Beirut: Dār al-Fikr, al-Thab’ah al-Ūlā, 1981, jilid 13,
hal. 150
[14] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsīr al-Marāghī, Syarikah
Maktabah wa Math’amah Mushthafa al-Bābī al-Halabī wa Aulādih bi Mishra,
al-Thab’ah al-Ūlā, 1946, hal. 215
[15] Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr
al-Qurthubi, al-Jāmi’ al-Ahkām al-Qur’ān, Tahqīq ‘Abd Allah ibn ‘Abdan
al-Muhsin al-Turkī, Muassasah al-Risālah, al-Thab’ah al-Ūlā, 2006, hal. 493
[16] Abū Muhammad ‘Alī ibn Ahmad ibn Sa’īd ibn Hazm, Al-Ihkām
fī Ushūl al-Ahkām, Tahqīq Ahmad Muhammad Syākir, Beirut: Dār Āfāq
al-Jadīdah, jilid 8, t.th., hal. 133
[17] Al-Hāfizh Abū Dāwud Sulaimān ibn al-Asy’ats
al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud, jilid 1, Beirut: Dār al-Fikr, 1994, hal.
212
[18] Abu Husain Muslim ibn Hajjāj al-Qusyairī
al-Naisāburī, Shahīh Muslim, jilid 1, Beirut: Dār al-Fikr, 1992, hal 528
[19] Nādiyah Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām
Ushūluh Ahkāmuh Āfāquh, Muassasah al-Risālah, al-Thab’ah al-Tsālitsah,
1986, hal. 18. Selanjutnya diringkas Al-Ijtihād Fī al-Islām.
[20] Saifuddin Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ibn Muhammad
al-Amidi, al-Ihkām, hal. 197. Sa’d al-Dīn al-Taftazānī, Hāsyiyah
al-Sa’d al-Taftazānī ‘Alā Mukhtashar Ibn al-Hājib, jilid 2, hal. 289. Lihat
juga Nādiyah Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī al-Islām, hal. 19
[21] Badr al-Dīn Muhammad ibn Bahādir ibn ‘Abd Allah
al-Syāfi’ī Al-Zarkasyī, al-Bahr al-Muhīth, hal. 197
[22] ‘Ala’ al-Dīn Abī al-Hasan ‘Alī ibn Sulaimān
al-Mardāwī al-Hambalī, Al-Tahbīr Syarh al-Tahrīr fī Ushūl al-Fiqh,
Dirāsah wa Tahqīq ‘Abd al-Rahmān ibn Abd Allah al-Jibrīn, Riyadh: Maktabah
al-Rusyd, jilid 1, t.th., hal. 3865. Selanjutnya diringkas Al-Tahbīr Syarh
al-Tahrīr.
[24] Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā
min ‘ilm al-Ushūl, jilid 2, Dār al-Fikr, t.th., hal. 362. Selanjutnya
diringkas al-Mustashfā.
[26] Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā,
hal. 54 dalam Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, Dār al-Fikr,
al-Thab’ah al-Ūlā, 1986, hal . 1038. Selanjutnya diringkas Ushūl al-Fiqh
al-Islāmī.
[29] Dalil Qath’ī artinya dalil atau nash yang
tidak mengandung makna ganda atau makna lain selain makna yang zhahir tersurat
dan mudah untuk dipahami. Lihat Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, Dār
al-Fikr, al-Thab’ah al-Ūlā, 1986, hal . 1038
[31] Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukānī, Irsyād
al-Fuhūl ilā Tahqīq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushūl, Surabaya: Idārah Thabā’ah
al-Munīrah, t.th., hal. 220. Selanjutnya diringkas Irsyād al-Fuhūl.
Ahmad Ibrahim Bik, ‘Ilm Ushūl Fiqh wa Yalih Tārīkh al-Tasyrī’ al-Islāmī, Kairo:
Dār al-Anshār, 1939, hal. 106. Badr al-Dīn Muhammad ibn Bahādir ibn ‘Abd Allah
al-Syāfi’ī Al-Zarkasyī, al-Bahr al-Muhīth, hal. 197
[32] Badr al-Dīn Muhammad ibn Bahādir ibn ‘Abd Allah
al-Syāfi’ī Al-Zarkasyī, al-Bahr al-Muhīth, hal. 197
[35] Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt
fī Ushūl al-Ahkām, jilid 4, Dār al-Fikr, t.th., hal. 47-90. Selanjutnya
diringkas al-Muwāfaqāt.
[39] Qs. Al-Nisā: 83 (وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ
لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ)
[40] Qs. Al-Nisā: 105 (إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ وَلاَ تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ
خَصِيماً)
[50] Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr
al-Qurthūbī, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, Tahqīq ‘Abd Allah ibn ‘Abdan
al-Muhsin al-Turkī, Jilid 14, al-Thab’ah al-Ūlā, Muassasah al-Risālah, 2006,
hal. 234
[51] وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
[52] Muhammad ibn Idris al-Syāfi’ī, Al-Risālah, Tahqīq
Ahmad Muhammad Syākir, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th, hal. 488.
Selanjutnya diringkas Al-Risālah.
[53] Abu Husain Muslim ibn al-Hajjāj al-Qusyairī
al-Naisābūrī, Shahih Muslim, jilid 2, hal. 123. Lihat Wahbah Zuhaili, Ushūl
al-Fiqh al-Islāmī, hal . 1039
[55] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwāqi’īn ‘an
Rabb al-Ālamīn, terjemah Kamaluddin Sa’diyatul Haramain, Panduan Hukum
Islam, Jakarta: Pustaka Azzam, 2000, hal. 165
[56] Sariyyah adalah perang yang tidak diikuti oleh
Rasulullah SAW. Sebaliknya perang yang diikutii Rasulullah SAW. disebut dengan Ghazwah
[59] Fardhu kifayah artinya kewajiban apabila telah ada
yang melakukannya, maka kedudukan wajibnya gugur tau kewajiban yang hanya
dibebankan kepada sebagian orang saja, bukan muslim seluruhnya.
[60] Yusuf al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah
al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’āshir, Kuwait:
Dār al-Qalam, al-Thab’ah al-Ūlā, 1996, hal. 78-79. Selanjutnya diringkas al-Ijtihād
fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah.
[61] Muhammad ibn Idris al-Syāfi’ī, Al-Risālah,
hal. 477. Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, hal . 1040
[62] Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā,
hal. 54 dalam Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, hal . 1038
[63] Abu ‘Abīrah Masyhū ibn Hasan Ali Salmān, I’lām
al-Muwāqi’īn ‘An Rabb al-‘Ālamīn, jilid 1, Riyadh: Maktabah Ibn
al-Jauzī, al-Thab’ah al-Ūlā, 1423, hal 66
[65] Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā al-Gharnatī al-Syāthibī, al-Muwāfaqāt,
hal. 96. Wahbah Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, hal . 1040
[78] Al-Qarāfī, al-Ahkām fī Tamyīz al-Fatāwā ‘an
al-Ahkām, hal. 249, dalam Nādiyah Syarīf al-‘Umrī, Al-Ijtihād Fī
al-Islām, hal. 105
[84] Qath’ī al-Tsubūt artinya nash (teks) yang
dipastikan sumbernya dari Allah SWT. Teks al-Qur’an yang kita baca sekarang
sama dengan nash yang diturunkan kepada rasul-Nya SAW., tanpa mengalami
perubahan sedikit pun karena diwariskan secara mutawatir (terjamin) dari satu
generasi ke generasi selanjutnya. Dari segi indikasinya terhadap hukum, ayat
Al-Qur’an dibagi atas dua klasifikasi. Pertama, Qath’ī al-Dilālah, yaitu
teks yang berindikasi hanya satu pengertian, tidak mungkin diberi interpretasi
lain dari makna harfiahnya. Contohnya ayat-ayat yang menerangkan hukum waris
yang menjelaskan bahwa bagian suami yang tidak punya anak adalah separo dari
warisan, bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan, hukum hudūd,
dan yang lainnya. Kedua, Zhannī al- Dilālah, yaitu nash yang menunjukan
satu makna, tapi mungkin ditakwil untuk makna yang lainnya. Contohnya kata quru’
dalam Al-Qur’an, dalam bahasa arab berarti haid atau bersih. Sebagian
‘ulama memaknai haid, yang lainnya memaknai bersih. Meskipun maknanya bisa
lebih dari satu, tapi maksud dan tujuannya sama. Lihat penjelasan Daud Rasyid
dalam Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Bandung: Syamil,
2006, hal. 103-104. Sedangkan dalam hadits, ada yang Qath’i al-Tsubut, yaitu
yang mutawatir (banyak periwayat dalam setiap thabaqat), ada juga yang zhanni
al-tsubut, yaitu yang ahad.
[94] Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukānī, Irsyād
al-Fuhūl, dalam Yusuf al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah,
hal. 85
[96]HR. Bukhari dengan lafazh روى البخاري بسنده إلى الزبير
بن عدى, قال: أتينا أنس بن مالك فشكونا إليه ما نلقي من الحجاج, فقال: إصبروا فإنه
لا يأتي عليكم زمان إلا الذي بعده شر منه حتى تلقوا ربكم, سمعته من نبيكم صلى الله
عليه وسلم. Lihat Yusuf al-Qaradhawi, al-Mubasysyarāt
bi al-Intishār al-Islām, Kairo: MaktabahWahbah, 2004, hal. 124-128.
Selanjutnya diringkas al-Mubasysyarāt.
[97]Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani menytakan bahwa pendapat
Abdullah ibn Mas’ud ini adalah pendapat yang kuat dan pantas untuk diikuti.
Lihat Yusuf al-Qaradhawi, al-Mubasysyarāt, hal. 124-128