ditulis oleh: Kang Daden Robi Rahman
Pendahuluan
Kemajuan
teknologi dan informasi mengindikasikan perjalanan zaman yang mengalami
puncak kesuksesan duniawi dan sekaligus keberakhiran dunia yang semakin
dekat. Kemajuan ini pun diiringi dengan persoalan manusia yang semakin
kompleks dan menuntutnya untuk selalu eksis dan aktif menjadi problem solver. Maka konsep tajdīd (pembaharuan) menjadi keniscayaan wujudnya dalam menjawab tantangan zaman tersebut. Dalam hal ini, Islam sebagai agama kāmil mutakāmil, syāmil mutasyāmil (sempurna dan paripurna), menjadi pijakan dasar dalam mempelopori setiap jengkal langkah zaman yang menantang pembaharuan.
Keyakinan umat Islam terhadap kesempurnaan Islam dalam menjawab problem dan challenge masa yang kian bergulir, ditanggapi secara beragam dalam aplikasi memahami konsep tajdīd.
Diantaranya dapat ditemukan gerakan pembaruan yang mengusung
keniscayaan pembaruan dengan meninggalkan ajaran dan doktrin Islam di
masa silam (baca: zaman nabi Muhammad saw.) yang dipandang secara
subjektif tidak lagi cocok dengan tuntutan zaman modern. Dalam peta
pemikiran nasional, Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan representasi
kelompok ini. Mereka menilai plagiatisasi ajaran nabi saw. dulu
merupakan kemandekan, bersifat puritan, dan anti terhadap reformasi
keagamaan.[1]
Mereka sangat membanggakan para pemikir liberal yang mereka golongkan
berada pada kelompok gerakan ini, seperti Mohammad Arkoun, Fatimah
Mernissi, Muhammad Abid al-Jabiri, Aziz Azmeh, Nasr Hamid Abu Zayd, dan
Abdullahi Ahmed An-Naim.[2] Di lain pihak ditemukan pula gerakan yang menginginkan tajdīd dengan kembali kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah sesuai tuntunan nabi Muhammad saw.
Meminjam hasil penelitian John L. Esposito dalam karyanya, Islam: The Straight Path, menjelaskan kategori dan klasifikasi pergerakan pembaruan kedalam empat aliran. Pertama, kaum sekuler yang mendukung agama hanya untuk urusan pribadi dan pengucilannya dari kehidupan publik. Kedua, konservatif
yang bergerak untuk kembali kepada al-Qur'an dan al-sunnah dengan
penekanan mengaplikasikan hukum tradisional, bukan reinterpretasi yang
membuka peluang perubahan dalam hukum. Mereka memandang tidak begitu
penting merujuk langsung kepada al-Qur'an dan al-sunnah untuk memperoleh
jawaban-jawaban baru. Ketiga, neotradisionalis, yang dominan
sama dengan konservatif. Tetapi kaum ini disatu sisi menghormati
rumusan-rumusan hukum klasik, tetapi tidak terikat dengan
rumusan-rumusan tersebut. Mereka merujuk langsung kepada sumber-sumber
Islam utama, guna berijtihad dan menerapkan kembali sumber-sumber
dimaksud pada kebutuhan-kebutuhan dan kondisi-kondisi kontemporer. Keempat, neomodernis
yang membedakan secara tajam antara substansi dan bentuk, antara kaidah
dan nilai-nilai wahyu dengan lembaga dan praktik yang terkondisikan
oleh sejarah dan kemasyarakatan yang dapat dan harus diubah untuk
memenuhi kondisi-kondisi kontemporer.[3]
Keempat gerakan tersebut, mempunyai banyak perbedaan, dan satu persamaan, yakni urgensitas tajīd diperlukan
hari ini. Dimana saat ini kaum muslimin seakan gagap dan inferior di
bawah hegemoni Barat. Maka tidak aneh kiranya, gerakan neomodernisme
–dalam istilah John L. Esposito- seakan mengusung superioritas Barat dan
inferioritas Islam, mem-Barat-kan Islam, bukan meng-Islam-kan Barat. Akibatnya,
banyak nilai-nilai Islam, bahkan yang bersifat prinsipil dinafikan
karena dianggap mengganggu kemajuan peradaban modern dan harus dibuang.
Ide-ide seperti sekulerisme, liberalisme dan pluralisme yang marak
belakangan ini tidak lebih merupakan bukti atas hal itu.
Oleh karena itu, perlu kiranya ada penjelasan konkret dan pemahaman proporsional mengenai hakikat tajdīd
dalam Islam sebagai solusi atas respon zaman yang terus bergulir. Hal
ini didasari atas kenyataan merebaknya kepentingan suatu peradaban
(baca: Barat) menghancurkan peradaban Islam,[4] atau meminjam istilah Huntington yang disebut dengan Clash of Civilization (benturan peradaban).
Pengertian Tajdīd
Penjelasan tajdīd Busthami Muhammad Sa’id dalam bukunya Mafhūm Tajdīd al-Dīn bisa dikatakan representasi penjelasan yang kredibel dan proporsional. Ia mengantarkan sebuah pembahasan sistematis tentang tajdīd dan
berbagai hal yang berkait erat dengannya, seperti mujaddid, modernisme,
dan lain sebagainya. Dalam pemaparannya, ia mengawali dengan pembahasan
tentang pengertian tajdīd yang benar dan proporsional. Kedua, bahasan tentang pengertian tajdīd yang salah, dan ketiga, kritikan terhadap pengertian tajdīd yang salah tersebut.
Kata tajdīd merupakan bentuk masdar dari fiil jaddada-yujaddidu yang berarti mengembalikan dan pembaharuan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya.[5] Dalam bahasa Arab, jadīd artinya baru dan dikatakan jadīd jika
bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Hal ini senada
dengan nash dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Diantaranya Allah berfirman, “Dan
mereka berkata, Apakah apabila kita sudah jadi tulang dan barang yang
rapuh, maka kita akan dibangkitkan sebagai sesuatu kejadian yang
baru?..”.[6]
Begitu pula dengan sabda Rasul saw., “Sesungguhnya Allah mengutus untuk
umat ini pada setiap abad, orang yang memperbaharui agamanya.”[7] Dengan kata lain, sesuai dengan pengertian yang berdasarkan Al-Qur’an dan al-Sunnah, maka tajdīd bisa diartikan sebagai penghidupan dan pembentukan kembali.[8]
Oleh karena itu tajdīd bisa mengandung tiga arti yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pertama, bahwa sesuatu yang diperbaharui tersebut telah ada permulaannya dan dikenal banyak orang. Kedua, bahwa sesuatu itu telah berlalu beberapa waktu, kemudian usang dan rusak. Ketiga, sesuatu itu telah dikembalikan kepada keadaan semula sebelum usang dan rusak.[9] Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali sebagimana keadaannya pada masa salaf pertama (i'ādah al-dīn ilā mā kāna 'alaihi ‘ahd al-salaf al-shalih).[10] Dengan kata lain, hakikat tajdīd yang
dimaksud adalah menyebarluaskan ilmu pengetahuan salaf dari generasi ke
generasi yang bersih dari perubahan dan selamat dari pemalsuan[11] atau menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf al-awwal.
Pengertian
diatas dikuatkan oleh penjelasan Thahir ibn ‘Asyur yang mengatakan
bahwa pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi
kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan
upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana
mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi
amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.[12]
Dikarenakan
perjalanan masa terus bergulir dan meniscayakan perubahan zaman dengan
corak kehidupan yang berubah-ubah dan berkembang, maka
persoalan-persoalan baru pun muncul. Perkara-perkara baru tersebut
kadang tidak dapat ditemukan kejelasan hukumnya di dalam nash, baik
Al-Qur’an maupun al-Sunnah. Oleh karena itu tajdīd meniscayakan
adanya ijtihad sebagai respon untuk menjawab persoalan-persoalan baru
yang tidak ditemukan jawaban pasti tersurat dalam Al-Qur’an dan
al-Sunnah, tanpa harus melepaskan seutuhnya dari peran wahyu keduanya.
Oleh karena itu, upaya tajdīd bukan berijtihad pada hal-hal yang sudah jelas kedudukan hukumnya (qath’ī), tetapi pada hal-hal yang samar (zhannī) atau tidak ada kejelasan hukumnya. Maka dalam hal ini ijtihad diartikan sebagai pengerahan kemampuan optimal seorang faqih (mujtahid) dalam menggali hukum-hukum syara’ yang bersifat zhanni, bukan pada masalah hukum yang sudah qath’i dan tetap yang telah termaktub secara eksplisit di dalam al-Qur’an al-Sunnah. Hal ini berpijak pada landasan naqli yang
mengisyaratkan adanya ketertiban dalam menggunakan sumber hukum dalam
menyimpulkan hukum sebuah persoalan, berdasarkan hadits dibawah ini
“...Bahwa
Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman bertanya: “
Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu
suatu perkara? Mu’ādz menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab
Allah (Al-Qur’ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan
hukumnya dalam Kitab Allah? Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW.
Bila engkau tidak menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab
Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan menggunakan ijtihād dengan nalar
(ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai
Rasūlullāh.” [13]
Modernisme dan Pengusungnya
Modern merupakan sebuah hirarki zaman yang dialami Barat. Dimana Barat mengenal zaman pertengahan dengan sebutan dark ages (zaman
kegelapan), dimana agama (gereja) mendominasi ilmu pengetahuan atau
akal di subordinasikan di bawah Bible. Kemudian mereka menamakan sejarah
peradaban Erofa pada abad ke-15 dan 16 sebagai zaman renaissance (kelahiran kembali) karena akal terbebas dari Bible. Mereka juga menyebut abad ke-18 samapai 19 sebagai zaman european enlightenment (pencerahan Eropa) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari renaissance.[14] Kemudian abad 19, semangat dan pandangan hidup Barat modern yang kadang dikenal juga dengan scientific worldview,[15] dan hari ini Barat sudah mencapai zaman postmodern,[16] yang hakikatnya juga merupakan lanjutan dari Barat modern.
Hubungannya
modern dengan pahamnya modernisme sangat erat kaitannya dengan agama.
Dimana modernisme agama (baca: pengalaman Barat) adalah setiap pemikiran
agama yang berangkat dari keyakinan bahwa kemajuan-kemajuan sains dan
kebudayaan modern menuntut adanya reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran
agama klasik sesuai pemikiran filsafat dan ilmiah yang berlaku.[17] Modernisme agama ini dimotori gerakan liberalisasi agama, yang dalam konteks Barat, meliputi agama Yahudi dan Kristen.
Dalam
agama Yahudi gerakan liberalisasi ini pertama kali dilakukan oleh Moses
Mende Isshon (1729-1786) yang menyebarkan sains modern di kalangan
Yahudi dan memindahkan mereka dari kehidupan terpencil dan cerai berai
yang telah mereka jalani selama berabad-abad menuju alur peradaban Barat
modern. Ia mempunyai semboyan, “memberikan respons terhadap
tradisi-tradisi masyarakat modern serta memelihara dan menerima agama
nenek moyang.” Tetapi hal ini tidak disadarinya, bahwa sebenarnya ia
telah meletakkan dan mengadakan pertentangan antara tradisi-tradisi
Yahudi dan kebudayaan modern.[18]
Kemudian ada Stenheim (1790-1866 M) yang terpengaruh dengan filsafat Kant. Pendapatnya menyatakan bahwa tidak perlu mengambil teks-teks Taurat secara letterlek, tetapi cukup memilih diantara teks-teks itu.
Adapun bagaimana caranya memilih, dia tidak mengajukan kaidah yang
pasti, tetapi cukup mengikuti bisikan-bisikan iman, yakni disesuaikan
dengan situasi dan kondisi suatu masa. Dengan demikian, ia meletakkan
dasar pemikiran untuk mengadakan perubahan dan revisi-revisi ajaran
Yahudi.[19]
Dilanjtkan
oleh Holdeim (1806-1860 M) yang menyatakan bahwa syari’at Tuhan itu
sekalipun wahyu Allah, tetapi bersifat temporer sesuai dengan waktu
turunnya dan tidak bersifat abadi. Diantara ucapannya, ia mengatakan
bahwa “Talmud itu berbicara dan dipengaruhi oleh pemikiran pada zamannya
dan itu benar pada waktu itu. Sedangkan saya berbicara beranjak dari
pemikiran modern pada masa kini. Jadi untuk masa kini, sayalah yang
benar.” Dengan prinsip tersebut Holdeim telah menggeser posisi Talmud
dari keberadaannya sebagai sumber hukum yang dikenal di kalangan Yahudi.[20]
Abraham
Gieger (1810-1874 M), seorang tokoh Yahudi liberal Jerman yang
menyatakan bahwa wahyu Tuhan yang murni pada hakikatnya adalah gabungan
ajaran Tuhan dan manusia. Ia berpandangan bahwa agama Yahudi adalah
agama yang selalu berkembang atau mengalami proses revolusi terus
menerus (judaism is on going revolutionary proces) yang beranjak
dari ajaran-ajaran para nabi Ibrani yang dikembangkan oleh ahli agama di
masa Talmud. Mereka tidak menganggap bahwa syari’at para nabi itu valid
dan abadi, tetapi dengan berbagai inovasi telah mereka sesuaikan
dengankebutuhan-kebutuhan pada zamannya.[21]
Liberalisasi
agama pun terjadi pada Kristen. Dimana faktor penting yang
melatarbelakangi timbulnya gerakan ini adalah penggunaan metode kritis
historis dalam mengkritik Bible. Bible ini tunduk di bawah
standar-standar pembahasan yang dipakai untuk kitab-kitab dan
manuskrip-manuskrip sejarah kuno, yang dinamakan dengan hermeneutika.
Paus Paulus X dalam dua selebaran yang terbit tahun 1907 memberi nama
gerakan ini dengan modernisme. Ia menuduhnya sebagai kekafiran yang merupakan sarana baru bagi masuknya unsur inovasi dan kepercayaan kuno.[22]
Bahkan Paus menilai, “seandainya seseorang berusaha menghimpun semua
kesalahan yang sengaja dicari-cari untuk menghujat keimanan, niscaya ia
takkan bisa melakukannya lebih dari apa yang dilakukan kaum modernis.”[23]
Inti
dari gerakan modernisme dalam agama Kristen adalah keharusan adanya
penafsiram kembali terhadap pemahaman Kristen ortodoks sesuai dengan
sains. Menurut Busthami, kunci dasar yang digunakan untuk menafsirkan
kembali ajaran-ajaran Nasrani adalah aliran-aliran hulul (manunggal)
yaitu manunggalnya Tuhan dengan manusia. Bertolak dari pemikiran kaum
modernis ini meniscayakan penafsiran setiap doktrin dan hal yang ghaib
yang dianggap bertentangan dengan perasaan, pengalaman, dan pengetahuan
modern.
Dilanjutkan
gerakan modernisme Protestan yang menggugat absolutisme Gereja dalam
menafsirkan teks yang dimotori oleh Martin Luther. Dalam pergerakan
selanjutnya sebagaimana yang dijelaskan Busthami, tokoh modernisme
Protestan, August Spetch (1830-1901 M) mengkritik secara tajam apa yang
dinamakan agama absolut dan perlunya pembaharuan agama. Ia menyatakan
bahwa pembaharuan agama artinya bahwa pengetahuan agama harus mengikuti
perubahan kehidupan dan pemikiran manusia.[24]
Pengalaman
suram agama-agama di Barat tersebut ternyata melahirkan intelektual
muslim liberal. Bahkan liberalisasi dalam dunia Islam kian bersemangat
seiring hegemoni Barat atas dunia secara umum dalam berbagai bidang,
khususnya teknologi, sains, dan militer. Seakan superioritas Barat
dipaksakan dan mendudukan Islam sebagai inferior. Diantara intelektual
muslim yang terpengaruh worldview Barat, sebagaimana yang dijelaskan
Busthami M. Said, diataranya Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) yang mengatakan,
“dalam lingkup kondisi baru dan perkembangan pengetahuan manusia tidak
mungkin kita bersandar pada tafsir-tafsir klasik saja dalam memahami
Al-Qur’an yang memuat berbagai khurafat. Tetapi kita harus berpijak pada
teks Al-Qur’an itu sendiri yang merupakan firman Allah yang hakiki. Dan
dengan pengetahuan dan pengalaman kita masing-masing, kita dapat
menafsirkan Al-Qur’an secara modern.[25]
Ia juga menuduh bahwa hadits tidak patut dijadikan hujjah, karena tidak
dibukukan pada masa Nabi, tetapi pada abad kedua Hijrah, masa yang
kacau, penuh dengan pergolakan politik dan berbagai perselisihan di
bidang agama.[26]
Ahmad Khan menolak Ijma’ sebagai salah satu hukum Islam, karena ia
beranggapan bahwa kesepakatan tersebut timbul karena situasi atau
kondisi tertentu. Maka dari itu ia mengumandangkan ijtihad dengan
prinsip dan kaidah yang ia buat sendiri.[27]
Diantara “ijtihad”-nya dalam masalah fiqih bahwa jihad tidak wajib
dikarenakan penyerangan kaum kafir, kecuali karena ketika pemaksaan
masuk agama lain. Waris dilakukan jika tidak wasiat, tetapi kalau ada
wasiat berarti tidak ada waris. Ia menolak hukum rajam, karena hal itu
adalah tradisi Arab dan taklid terhadap agama Yahudi, dan lain
sebagainya.[28]
Kemudian
dilanjutkan Muhammad ‘Abduh (1849-1905) yang menafsirkan al-Qur’an
sesuai dengan pengetahuan Barat Modern dengan titik tekan pembenarannya
terhadap realita. Diantara pendapatnya, ia menghalalkan bunga bank,
haramnya poligami, dan seterusnya.[29] Ada
juga Qassim Amin (1863-1908 M) yang melarang perempuan muslimah memakai
hijab dengan alasan bahwa hal tersenut merupakan sebab kemunduran
bangsa Timur dan penanggalan hijab juga merupakan kemajuan Barat.[30]
Kemudian Ali Abdul al-Razik dengan sekularismenya yang menyatakan bahwa
agama tidak memberi batasan, tidak memerintah atau melarangnya, tetapi
diserahkan pada kita untuk mengembalikannya pada rasio, pengalaman, dan
politik.[31]
Tajdīd Versus Modernisme
Pembaharuan
adalah keniscayaan zaman yang terus berlangsung dan memberi tantangan
baru. Tetapi, pembaharuan di dalam Islam bukan berarti skeptik terhadap
sesuatu yang qath’ī di dalam syari’at, tetapi justru meyakini
kebenarannya dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari sepanjang
zaman. Hal ini pun tidak menunjukan kemandekan syari’at dalam menjawab
tantangan zaman, tetapi sebaliknya, ketika ada perkembangan masalah
baru, maka solusi baru pun muncul dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip
umum yang digariskan dalam syari’at yang muhkamat dan qath’ī.
Kebenaran pembaharuan dalam Islam (tajdīd),
adalah kebenaran yang didasarkan pada keyakinan hirarki sumber hukum
Islam yang disepakati ‘ulama Islam, yakni Al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’,
dan Ijtihad (Qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dll). Jadi pada
dasarnya, pijakan yang dipegang adalah wahyu objektif bukan logika
subjektif dan spekulasi filosofis. Dari sini bisa dinyatakan bahwa
Tajdid bukanlah modernisme. Dimana tajdid berkembang di dalam Islam
dengan warnanya yang didasari dengan worldview Islam. Sedangkan
modernisme berkembang di Barat dengan worldviewnya tersendiri.
Oleh karena itu, salah besar kiranya, jika tajdīd dilakukan di dalam Islam dengan mengacu kepada prinsip dan pengalaman Barat.[32] Islam dan Barat merupakan dua peradaban yang bertolak belakang. Islam
dalam menilai sebuah kebenaran bersumberkan kepada wahyu Al-Qur’an,
al-Sunnah, akal, pengalaman, dan intuisi, dengan pendekatan tawhidi.
Berbeda dengan Barat yang bersumberkan kepada rasio dan spekulasi
filosofis, dengan pendekatan dikotomis.[33]
Maka
dengan perbedaan worldview Islam dan Barat, ijtihad-ijtihad yang
dikemukakan para pemikir liberal muslim seperti Sayyid Ahmad Khan,
muhammad Abduh, Qassim Amin, Ali Abdul al-Razik, dan lainnya, Busthami
katakan, tidak lebih dari sekedar teori belaka tanpa kenyataan.
Seluruhnya adalah korban-korban keterlenaan dan kebanggan terhadap Barat
yang mempunyai kekuatan dan hegemoni terhadap peradaban yang lain.
Dengan kata lain, mereka membaca Islam dengan kacamata Barat yang
mempunyai worldview yang berbeda dengan Islam.
Penutup
Kesalahan
dalam berpijak untuk melakukan pembaharuan akan menyebabkan perbedaan
mencolok dalam kesimpulan. Realitas benturan peradaban Islam dan Barat
merupakan aksioma yang tidak terbantahkan. Dimana Islam dengan patokan
pembaharuan yang didasarkan pada wahyu Al-Qur’an dan al-Sunnah, akal,
pengalaman dan intuisi dengan pendekatan tawhidi, berbeda dengan Barat
yang mendasarkannya pada rasio dan spekulasi filosofis dengan pendekatan
dikotomis. Islam mengajarkan keyakinan dari wala dan berakhir dengan
keyakinan, sebaliknya Barat mengawalinya dari keraguan dan berakhir
dengan keraguan pula.
Maka
terlihat jelas perbedaan kerja ilmiah Islam dan Barat dalam menjawab
tantangan Barat. Dimana di dalam Islam ada konsep tajdid, di Barat ada
modernisme. Islam akan berjalan pada satu rel yang jelas, sebaliknya
Barat berada pada rel yang lain. Oleh karena itu, tidak akan ada
kompromi antara Islam dan Barat. Yang terjadi hanyalah benturan kedua
peradaban tersebut (The Clash of Civilization). Yang pada
akhirnya, kenyataan yang terjadi apakah Islamisasi atau Westernisasi?
Superioritas Islam dan inferioritas barat atau sebaliknya? Wallāhu a’lam.
[1] Luthfi as-Syaukanie, “Pentingnya Pembaruan Islam”, dalam http://islamlib.com/id/artikel/pentingnya-pembaruan-islam/ pada terbitan 26/02/2006
[2] Umdah el-Baroroh,” Pembaruan Jalur Lambat al-Qardlawi dan az-Zuhaily”, dalam http://islamlib.com/id/artikel/pembaharuan-jalur-lambat-al-qardlawy-dan-az-zuhaily/ pada terbitan 12/09/2007
[3] John L. Esposito, Islam: The Straight Path. Terjemah Arif Maftuhin, Islam Warna Warni; Jalan Ekspresi Menuju Jalan Lurus, Paramadina: Jakarta, 2004, 283-287
[4]
Lihat Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Isla; Gerakan
Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, CIOS -ISID-Gontor, 2008
[5] Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Mandzūr al-Afrīqī, Lisān al-‘Arab, jilid 3, Beirut: Dār al-Shadr, 1994, hal. 113
[6] وَقَالُواْ أَئِذَا كُنَّا عِظَاماً وَرُفَاتاً أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقاً جَدِيداً (Qs. Al-Isrā’: 98)
[7] إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها (HR. Abu Dāud, Sunan Abi Dāud, Thabrānī, al-Mu’jam al-Ausath, Al-Hākim, al-Mustadrak, al-Baihaqi, al-Ma’rifah. Semuanya dari Abu Hurairah. Hadits ini juga dishahihkan oleh Al-Hākim, al-Baihaqi, Ibn Hajar, Nashiruddin al-Albani)
[8] Busthami M. Sa’id, Mafhūm Tajdīd al-Dīn, terjemah Mahsun al-Mundzir, Pembaharu dan Pembaharuan Dalam Islam, Gontor: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1992, hal. 8, 13
[9] Busthami M. Sa’id, Mafhūm Tajdīd al-Dīn, terjemah Mahsun al-Mundzir, hal. 3
[10]Pengertian ini merupakan kutipan Busthami dari pengertian yang dilontarkan Sahl al-Sha’luki (w. 387 H). Lihat Busthami Muhammad Said, Mafhum Tajdid Al-Din, , terjemah Mahsun al-Mundzir, hal. 13
[11] Ibid, hal. 18
[12] Muhammad al-Thahir Ibnu ‘Asyur, Tahqiqat wa Anzhar fi al-Qur’an wa al-Sunnah, al-Syarikah al-Tunisiyah, Tunisia, t.th., hal. 112-113
[13] حدثنا
حفص بن عمر بن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة
عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال: كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟ قال:
أقضي بكتاب الله. قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله صلى
الله عليه وسلم. قال: فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا
في كتاب الله؟ قال: أجتهد برأيي ولا آلو. فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره. فقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضى رسول الله. (HR.Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, jilid 2, hal. 168)g
[14] Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal; Dialog Interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal, Jakarta: Gema Insani, 2003, hal. 4
[15] Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 6
[16] Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan Barat modern dan postmodern, lihat Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 4-19
[17] Busthami M. Sa’id, Mafhūm Tajdīd al-Dīn, terjemah Mahsun al-Mundzir, hal. 94
[18] Ibid, hal. 95
[19] Ibid, hal. 96
[20] Ibid, hal. 97
[21] Ibid, HAL. 98
[22] The Catholic Encyclopaedia, hal. 394 dalam Busthami M. Sa’id, Mafhūm Tajdīd al-Dīn, terjemah Mahsun al-Mundzir, hal. 105
[23]Busthami M. Sa’id, Mafhūm Tajdīd al-Dīn, terjemah Mahsun al-Mundzir, hal. 105
[24] Ibid, hal. 114
[25] Ibid, hal. 123
[26] Ibid, hal. 125
[27] Ibid, hal. 127
[28] Ibid, hal. 131-132
[29] Ibid, hal. 146
[30] Ibid, hal. 149
[31] Ibid, hal. 152.
[32]
Di Barat yang awalnya didominasi oleh agama, yakni agama Kristen,
akhirnya harus mengakui kemenangan akal dan sains dan menundukan agama
dibawah keduanya, karena pada dasarnya di dalam Kristen ataupun Yahudi
tidak ditemukan atau diragukan bahwa kedua agama tersebut memiliki
pijakan dasar hukum. Yang ada hanyalah anggapan bahwa pijakan itu ada,
apadahal tidak ada. Karena hakikatnya, Kitab suci mereka telah mengalami
banyak perubahan oleh tangan-tangan manusia yang mengakui punya
otoritas dalam agamanya tersebut. Lihat Abbad Husni Muhammad, Al-Fiqh al-Islamy; Āfāquhu wa Tathawwuruhu, Mathba’ah al-Rabithah, Makkah al-Mukarramah, Cetakan kedua, 1414, hal. 91