LIBERALISME
VERSUS AGAMA TAUHID
Oleh:
Kang Daden Robi Rahman
Liberalisasi menyerang berbagai bidang kehidupan masyarakat, dari politik,
ekonomi, sosial, informasi, moral, sampai agama. Kerusakan yang terjadi pada
berbagai bidang, tidak separah akibat yang ditimbulkan dari liberalisasi agama.
Dalam Islam, agama merupakan sumber pemberangkatan dan rujukan dari politik,
social, dan moral itu sendiri. Begitupun tak beda jauh dengan agama yang lain,
meskipun jelas tidak sama.
Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini Liberal Judaism
menjadi aliran resmi Yahudi. Kristen pun menjadi korban liberalisasi peradaban
barat. Sebuah buku yang ditulis Herlianto – seorang aktivis Kristen asal
Bandung – berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan jelas
kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai
sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan klenikisme.
Kaum Kristen sejak lama menyadari benar akan bahaya ini. Dalam pertemuan
misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, mereka menetapkan
sekulerisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk
mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama
lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts
to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the
rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of
secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang
dipandang sebagai musuh besar Gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen
internasional.Lihat Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism,
(Helsinki: Finnish Missionary Society, 1980), hal. 42-50. Paus yang baru,
Benediktus XVI, juga dikenal sebagai Paus yang konservatif dan anti-liberal.
Sebelumnya, tahun 2000, dia termasuk seorang perumus penting doktrin “Dominus
Jesus” yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan, jalan satu-satunya
untuk menuju Bapa adalah melalui Yesus Kristus
Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen.
Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka
sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis,
yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja
yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.
Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46
persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di
Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja
tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang
percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja
yang rutin ke gereja tiap minggu.
Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan
kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum
bersatu dengan Jerman Timur — terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal
(dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000
imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai
40.000 orang.
Fenomena Kristen Eropa menunjukkan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan
arus budaya Barat yang didominasi nilai-nilai liberalisme, sekulerisme, dan
hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Di sejumlah
gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima
praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris,
dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a Pastoral Church” mengimbau agar
gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan
perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.
Sejumlah negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi
telah mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus
memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai negara Barat, praktik
homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga praktik-praktik
perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal
sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif;
diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku.
Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya
bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat
menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara.
Bahkan, pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS,
sepakat untuk mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum
Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama
mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.
Liberalisasi berjalan drastis ketika menemukan keberhasilannya dalam Yahudi
Kristen. Langkahnya terus mencari korban, memporakporandakan agama. Islam
sebagai satu-satunya agama yang solid, bebas cacat sejarah, dan sebuah
peradaban terpanjang dalam sejarah yang menorehkan kemaslahatan pembebasan
penghambaan manusia terhadap makhluk kepada Allah swt, menjadi rival terberat
arus liberalisasi.
Dalam konteks Indonesia, liberalisasi Islam dimulai sejak 1970-an yang
dijalankan melalui tiga bidang dasar dalam Islam. Pertama, liberalisasi aqidah
dengan penyebaran pham pluralisme agama. Kedua, liberalisasi bidang syari'ah
dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad. Ketiga, liberalisasi konsep
wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur'an.
Gerakan sistemik dan metodologik liberalisasi Islam Indonesia terlihat jelas,
ketika Dr. Greg Barton, dalam disertasinya di Monash University, Australia
memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya
konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan,
(c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d)
Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.
(Disertasi Greg Barton diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina,
dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia. (1999:xxi).