Introduction

Jumat, 23 Desember 2011
Assalaamu’alaikum......

Sebelumnya, perkenalkan nama saya: Lulu Fajar Ramadhan, selaku pengurus dan pengelola blog sederhana ini yang berfungsi sebagai newsletter personal yang ditujukan untuk dikonsumsi bagi anda selaku pembaca. Blog ini juga bersifat non profit, ANTI-COPYRIGHT, dan insya Allah bisa memberi manfaat kepada pembacanya.
Pada blog sederhana ini terdapat beberapa poin penting, diantaranya:
1.   Pada blog ini, terdapat pembagian kategori jenis postinga yang diupload beserta cakupan batasan pembahasannya.
  • Home: menampilkan seluruh postingan tanpa memperhatikan jenis kategori
  • Islam: menampilkan postingan yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, mu’amalah, dan tsaqafah
  • Pemikiran: menampilkan postingan yang berkaitan dengan isme-isme yang sedang berkembang, misalnya seperti ghazwul fikri, sekularisme, liberalisme, dan isme-isme lainnya
  • Pendidikan: menampilkan postingan yang berkaitan dengan pendidikan, mahasiswa, kuliah, dan dunia pendidikan lainnya
  • Sharing: menampilkan postingan pilihan yang cukup bermanfaat untuk dikonsumsi secara umum yang berasala dari seminar, diskusi, dan lain-lain.
  • Features: menampilkan postingan yang mencakup tulisan-tulisan ringan ana yang tidak kadaluarsa oleh waktu, sehingga bisa dikonsumsi untuk kapan saja.
  • Personal: menampilkan tulisan-tulisan yang bersifat personal yang sekiranya mungkin memiliki hikmah yang bisa diambil oleh pembaca, juga bisa berisi puisi, dan tulisan gak jelas dari saya sendiri.
2.  Untuk mengenal tentang admin blog ini secara lebih jauh bisa diklik disini. Dan untuk berteman dengan admin via facebook, bisa diklik disini, atau via twitter dengan akun @elfaakir.
3.      Jika anda membutuhkan postingan yang telah diupload ke blog ini dalam ekstensi pdf atau doc, bisa langsung saja mengirim email ke fajar.ramadhan1412@yahoo.com dengan mencantumkan judul yang dibutuhkan.
4.  Jika anda mengambil rujukan dalam membuat tugas, artikel, makalah, karya tulis, atau keperluan jurnalistik lainnya, silakan dicantumkan pula sumber tempat anda mengambil rujukan tersebut untuk keperluan daftar pustaka anda.
5.      Selamat menikmati media sharing sederhana ini, semoga ada manfaat yang bisa diambil, dan mohon untuk memberikan feedback kepada penulis melalui fasilitas komentar yang tersedia untuk skill kepenulisan saya yang lebih baik di kemudian hari.
6.      Jika ada keluhan, saran, pertanyaan, masukan, kritik, dan hal lainnya, bisa mengirimkan
    email ke fajar.ramadhan1412@yahoo.com  . Tapi jika dirasa memberikan manfaat, silakan disebarkan ilmunya kepada orang lain, semoga menjadi suatu ladang amal shalih.

Mudah-mudahan Allah mempertemukan kita di dunia dan di surga-Nya kelak.

ربي زدنى علما و ارزقنى فحما
اللهم ارنا الحق حقا و ارزقنا اتباعه و ارنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه

Pesan dan simbol 666 dalam manga NARUTO

Senin, 12 Desember 2011
Sekilas tentang manga Naruto
Naruto adalah manga dan anime karya Masashi Kishimoto. Manga Naruto bercerita seputar kehidupan tokoh utamanya, Naruto Uzumaki, seorang ninja remaja yang berisik, hiperaktif, dan ambisius; dan petualangannya dalam mewujudkan keinginan untuk mendapatkan gelar Hokage, ninja terkuat di desanya.
Manga Naruto pertama kali diterbitkan di Jepang oleh Shueisha pada tahun 1999 dalam edisi ke 43 majalah Shonen Jump. Di Indonesia, manga ini diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Popularitas dan panjang seri Naruto sendiri (terutama di Jepang) menyaingi Dragon Ball karya Akira Toriyama, sedangkan serial anime Naruto, diproduksi oleh Studio Pierrot dan Aniplex, disiarkan secara perdana di Jepang oleh jaringan TV Tokyo dan juga oleh jaringan televisi satelit khusus anime, Animax, pada 3 Oktober 2002 sampai sekarang. Seri pertama terdiri atas 9 musim. Musim pertama dari seri kedua mulai ditayangkan pada tanggal 15 Februari 2007.
Tentang Masashi Kishimoto, pencipta manga Naruto
Masashi Kishimoto (岸本斉史 — Kishimoto Masashi; lahir di Prefektur Okayama, Jepang, 8 November 1974; umur 36 tahun) adalah seorang mangaka Jepang. Masashi Kishimoto mulai mengembangkan bakatnya akan menggambar semenjak usia SD. Masashi Kishimoto menjadi mangaka terkenal semenjak karyanya, Naruto sukses besar baik di Jepang sendiri ataupun di negara-negara lain. Pada tahun 1999 Naruto pertama kali dipublikasikan di Shounen jump membuat Kishimoto menerima penghargaan hop step. Saudara kembar Masashi Kishimoto, Seishi Kishimoto juga merupakan seniman manga dengan karyanya yang terkenal 666 Satan
Komik Satan 666 Seishi Kishimoto

Pemuda Idaman

Selasa, 29 November 2011

Menjadi pemuda idaman langit dan bumi merupakan cita-cita yang sama bagi semua orang. Beragam cara pun ditempuh untuk mendapatkan karakter tersebut, dari mulai study oriented, organization oriented, wealth oriented, selalu tampil up to date mengikuti perkembangan zaman, tampil gaul dan trendy, sok keren dengan anting-anting dan tatoo yang dipakai, dan berbagai idealisme lainnya yang menjadi pilihan pemuda dan pemudi lainnya di masa muda yang tidak akan pernah berulang lagi.

LIBERALISME VERSUS AGAMA TAUHID

Senin, 21 November 2011
LIBERALISME VERSUS AGAMA TAUHID
Oleh: Kang Daden Robi Rahman

Liberalisasi menyerang berbagai bidang kehidupan masyarakat, dari politik, ekonomi, sosial, informasi, moral, sampai agama. Kerusakan yang terjadi pada berbagai bidang, tidak separah akibat yang ditimbulkan dari liberalisasi agama. Dalam Islam, agama merupakan sumber pemberangkatan dan rujukan dari politik, social, dan moral itu sendiri. Begitupun tak beda jauh dengan agama yang lain, meskipun jelas tidak sama.

Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini Liberal Judaism menjadi aliran resmi Yahudi. Kristen pun menjadi korban liberalisasi peradaban barat. Sebuah buku yang ditulis Herlianto – seorang aktivis Kristen asal Bandung – berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan klenikisme.

Kaum Kristen sejak lama menyadari benar akan bahaya ini. Dalam pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, mereka menetapkan sekulerisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai musuh besar Gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional.Lihat Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki: Finnish Missionary Society, 1980), hal. 42-50. Paus yang baru, Benediktus XVI, juga dikenal sebagai Paus yang konservatif dan anti-liberal. Sebelumnya, tahun 2000, dia termasuk seorang perumus penting doktrin “Dominus Jesus” yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan, jalan satu-satunya untuk menuju Bapa adalah melalui Yesus Kristus

Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen. Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.

Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.

Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu dengan Jerman Timur — terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.

Fenomena Kristen Eropa menunjukkan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan arus budaya Barat yang didominasi nilai-nilai liberalisme, sekulerisme, dan hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a Pastoral Church” mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

Sejumlah negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif; diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku.

Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.

Liberalisasi berjalan drastis ketika menemukan keberhasilannya dalam Yahudi Kristen. Langkahnya terus mencari korban, memporakporandakan agama. Islam sebagai satu-satunya agama yang solid, bebas cacat sejarah, dan sebuah peradaban terpanjang dalam sejarah yang menorehkan kemaslahatan pembebasan penghambaan manusia terhadap makhluk kepada Allah swt, menjadi rival terberat arus liberalisasi.

Dalam konteks Indonesia, liberalisasi Islam dimulai sejak 1970-an yang dijalankan melalui tiga bidang dasar dalam Islam. Pertama, liberalisasi aqidah dengan penyebaran pham pluralisme agama. Kedua, liberalisasi bidang syari'ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad. Ketiga, liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur'an.

Gerakan sistemik dan metodologik liberalisasi Islam Indonesia terlihat jelas, ketika Dr. Greg Barton, dalam disertasinya di Monash University, Australia memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. (Disertasi Greg Barton diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina, dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia. (1999:xxi).

Teori Hermeneutika Terhadap al-Qur'an


Teori Hermeneutika Terhadap al-Qur'an
Al-Qur'an dan Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd

Artikel berikut ditulis oleh: Kang Daden Robi Rahman

1. Mukaddimah
Pembahasan dalam makalah ini dimulai dengan penjelasan kata-kata kunci dalam judul, yang meliputi al-Qur’an, hermeneutika dan Nasr Hamid Abu Zayd. Dengan demikian diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang topik bahasan. Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dan terkumpul dalam lembaran Mushaf dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir[1]Sedangkan hermeneutika adalah metode atau teori yang memfokuskan dirinya pada masalah interpretasi, khususnya digunakan dalam studi Bibel atau teks sastra.
Lebih lanjut dalam ensiklopedi Britannica dijelaskan bahwa ia adalah kajian tentang prinsip-prinsip umum terhadap penafsiran Bible. Bagi Yahudi maupun Kristen di sepanjang sejarah mereka, tujuan utama hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai Bibel (Perjanjian Lama dan Baru) melalui berbagai tehnik. Seringkali tehnik yang digunakan adalah dengan menyandarkan pada kondisi sejarah tertentu (certain historical conditions), situasi-situasi polemik atau apologetik yang diperkirakan dapat menemukan kebenaran atau nilai.
Status kesucian Bibel menurut Yahudi dan Kristen diyakini bahwa ia adalah manifestasi wahyu Tuhan. Maka sebagian mereka berpendapat bahwa penafsiran Bibel harus bersifat harfiyah (literal), sebab firman Tuhan adalah jelas dan sempurna (explicit and complete). Sebagian lainnya berpendapat bahwa kata-kata dalam Bibel harus selalu memiliki makna spiritual yang mendalam. Sebab pesan dan kebenaran Tuhan dengan sendirinya membuktikan kebesaran. Namun ada yang menggabungkan pendapat keduanya, yaitu sebagian isi Bibel harus didekati secara harfiyah dan sebagian lainnya secara kiasan (figuratively).[2]Sedangkan Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd adalah pemikir modernis asal Mesir. Namanya sangat dikenal oleh para pemerhati pemikiran Islam setelah menggulirkan gagasan bahwa al-Quran hanyalah produk budaya, teks manusia, teks linguistik dan tidak lebih dari sekedar fenomena sejarah. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia[3] dan pemikirannya banyak diajarkan oleh para dosen, akademisi di beberapa perguruan tinggi dan disuarakan oleh banyak tokoh liberal. Pujaan dan penghargaan terhadapnya bertaburan di berbagai buku, jurnal, ruang-ruang perkuliahan, seminar dan situs-situs internet. Bahkan oleh media barat dia dipandang sebagai ‘hero’ bagi tumbuhnya kebebasan berfikir, sementara di negara asalnya dia difatwa kafir oleh mahkamah yang didukung lebih dari 2000 ulama.[4]Sebagai contoh, dalam encyclopedia Wikipedia, Abu Zayd dikisahkan sebagai seorang pemikir al-Qur’an (Qur’anic thinker) dan teolog liberal terkemuka asal Mesir. Dia menderita penganiayaan relijius yang serius, dikarenakan pandangannya tentang al-Qur’an sebagai sebuah karya sastera mistik.
Pada tahun 1995, dia dipromosikan untuk menduduki jabatan profesor, tetapi kontroversi keagamaan seputar karya akademisnya, membawanya pada keputusan murtad di pengadilan dan ditolak pengangkatannya. Encyclopedia Wikipedia mengulas bahwa pengadilan tersebut dikuasai oleh para cendekiawan Islam fundamentalis, sehingga dia diputuskan sebagai seorang murtad oleh pengadilan Mesir dan harus menceraikan istrinya. Dalam encyclopedia ini, Abu Zayd dikisahkan sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia (a violation of human rights), korban pelanggaran kebebasan berekspresi (a violation of freedom of expression), korban pelanggaran kebebasan berkarya ilmiah (a violation of scientific freedom), korban pelanggaran privasi kehidupan keluarga (a violation of family private life) dan sebagainya.[5]Setelah mengaku adanya ancaman mati dari berbagai pihak,[6] pada tanggal 23 Juli 1995 Abu Zayd dan istrinya memutuskan untuk hengkang dari Mesir dan berdomisili di Belanda hingga sekarang.[7] Di negeri Belanda, Abu Zayd dihormati sebagai ilmuwan besar dalam bidang studi al-Quran, dianugerahi gelar profesor di bidang bahasa Arab dan studi Islam dari Leiden University, sebuah universitas kuno yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam selatan.Saat ini dia menduduki “kursi Ibnu Rusyd dalam bidang kemanusiaan dan Islam” di Universitas Utrecht, Belanda. Selain itu dia juga membimbing mahasiswa S2 dan S3 di Universitas Leiden (termasuk beberapa di antaranya adalah para mahasiswa dari Indonesia), dan aktif terlibat dalam proyek riset tentang hermeneutika Yahudi dan Islam sebagai kritik kultural, bekerja pada tim “Islam dan Modernitas” di Institute of Advanced Studies of Berlin (Wissenschaftskolleg zu Berlin).
Pada tahun 2005, dia menerima “the Ibn Rushd Prize for Freedom of Thought”, Berlin, sebuah penghargaan atas usahanya mengkampanyekan ‘kebebasan berfikir’ di Mesir.[8]Kajian tentang pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dipandang penting, mengingat pengaruhnya yang luas di Indonesia. Sayangnya, belum banyak cendekiawan muslim Indonesia yang secara serius mengkritisi pemikirannya secara ilmiah dalam bentuk makalah atau buku.[9] Gambaran tentang besarnya pengaruh Abu Zayd di Indonesia, terutama di perguruan tinggi Islam, dapat kita simak dari laporan hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama pada 15/11/06 tentang ‘Faham-faham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat Perkotaan’. Di Yogya, penelitian difokuskan pada UIN Sunan Kalijaga, yang hasilnya menyebutkan:“Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid.
Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melenggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam dinusantara ini hermeneutika makin digemari. Terhadap Al-Hadits tetap harus ada kritik terhadap perawi-perawi hadits, kritik terhadap hadits-hadits mutawatir, bahkan terhadap ideologi Islam. Menurut Zuly Qadir bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama adalah tidak ada tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama.
Dalam menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak menjustifikasi benar atau salah[10]Selanjutnya, makalah ini secara ringkas dan sederhana akan difokuskan pada teori hermeneutika al-Qur’an versi Abu Zayd disertai dengan contoh-contoh ‘penemuannya’, pengaruhnya di Indonesia dan disertai dengan beberapa ulasan.

Jejak Sophist Pada Pemikiran Islam Liberal Indonesia


Jejak Sophist Pada Pemikiran Islam Liberal Indonesia
Oleh: Kang Daden Robi Rahman

1. Sebagai penyihir kata-kata
Bagi Sophist kata-kata adalah alat bagaimana mereka bisa memenangkan argument dari lawan debatnya. Kegemaran akan perdebatan semacam itu melahirkan banyak istilah yang digunakan untuk mempengaruhi lawan debatnya, karena itulah Sophist dikenal dengan penyihir atau pesulap kata. Hal itu Nampak juga pada kegemaran kelompok Islam Liberal di Indonesia yang menggunakan jargon-jargon indah untuk memenangkan wacana debat, misalnya; “bedakan antara agama dan keberagamaan”, “jangan mensucikan pemikiran keagamaan”, “agama adalah mutlak, sedangkan pemikiran keagamaan adalah relatif”, “manusia adalah relatif, karena itu semua pemikiran produk akal manusia adalah relatif juga”, “tafsir adalah produk akal manusia, sehingga tidak bisa mutlak semutlak seperti wahyu itu sendiri”, “selama manusia masih berstatus manusia maka hasil pemikirannya tetap parsial, kontekstual, dan bisa saja keliru”, dan sebagainya.

Sepintas, kata-kata itu terasa logis, dan tampak indah. Jika tidak berhati-hati dan kurang ilmu, maka bukan tidak mungkin seseorang akan terpengaruh. Apalagi, jika yang mengatakannya adalah seorang doktor atau profesor di bidang studi agama. Sihir-sihir kata itu telah dilakukan oleh Sophist ribuan tahun ketika Yunani masih diliputi oleh banyak paham mitologi, Sihir-sihir itu nampak dalam pernyataan orang-orang Islam Liberal di Indonesia. Seperti apa yang dikatakan oleh Daud Rosyid, seorang pakar hadis di Indonesia, saat mengomentari tulisan-tulisan Nurcholis Madjid; “Sihir-sihir” Nurcholish lebih canggih dan lebih memukau daripada Harun, karena dikemas dengan gaya ilmiah yang menarik”.

2. Argument bukan untuk mencari kebenaran
Diantaranya argument Sophistic yang mereka gunakan adalah menuduh bahwa ulama’ ulama’ menjual figh untuk mendapatkan uang. Alasannya karena memang zaman sekarang adalah zamannya kapitalis.

“Bagi masyarakat Kapitalis modern, menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti fiqih, merupakan cara untuk mengembangkan kapital, sebagaimana tercermin dalam maraknya bank-bank yang menggunakan simbol keagamaan… jadi fiqh merupakan khazanah yang diperebutkan, karena di dalamnya tersimpan semangat teosentrisme. Lalu apa yang terjadi bila fiqih bercorak teosentris? .. kita akan masuk dalam jebakan otoritarianisme”

Jejak Sophist di Era Modern dan Post Modern


Jejak Sophist di Era Modern dan Post Modern
Oleh: Kang Daden Robi Rahman

Sebagai sebuah nama, Sophist memang sudah selesai ketika memasuki era modern, bahkan ketika Barat berada pada zaman kegelapan (dark era) sudah tidak dikenal lagi istilah Sophist sebagai sebuah kelompok. Namun apa yang dilakukan oleh Sophist dengan pemikiran agnostic, relative dan skeptic–nya bisa kita lacak pada pemikiran-pemikiran filosof Barat dari zaman Socrates hingga abad postmodernisme sekarang. Hal tersebut terjadi karena adanya kesinambungan pemikiran filosof modern dan postmodern kepada pemikiran Plato dan Aristotle sebagai dua orang filosof yang dijadikan refrensi pemikiran filsafat barat secara keseluruhan. Sedangkan pemikiran Plato adalah buah dari pergemulannya dengan Socrates yang bersambung hingga Xenophanes seorang guru Sophist ternama. Dengan demikian Sophist memiliki peranan yang cukup penting bagi tumbuhnya filasafat Barat. Ibarat tanaman; Sophist adalah akar dan para filosof setelah mereka adalah cabang dan ranting-nya. Karena itu, tidak mustahil untuk menemukan pengaruh pemikiran Sophist dalam era Modernism dan postmodernisme, meski jarak tahun antara modernism, postmodernisme dengan Sophist terpaut ribuan tahun.

Barat modern adalah periode sejarah dalam peradaban Barat, yang persisnya terjadi saat kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada periode pencerahan, abad industry dan abad ilmu pengetahuan. Modernisme dihidupkan dengan semangat keilmuan (Scientific), yang diwarnai paham sekulerisasi, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dichotomis, desakralisasi, pragmatisme dan penafian kebenaran metafisis (Agama). Menurut J.W. Schoorl Modernisasi adalah penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktifitas, semua bidang kehidupan atau pada semua aspek kehidupan masyarakat.

Sedang Postmodernisme sendiri adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutan-nya. Gerakan ini lahir pada abad ke-19 dimana modernitas mulai dipertanyakan oleh gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip yang meragukan bahwa realitas memiliki struktur yang dapat difahami oleh manusia. Munculnya eksistensialisme dan filsafat analitik sebagai produk akal post-modern menggantikan sistim metafisika. Silverman menyatakan bahwa penutupan jalan pemikiran metafisika bertepatan dengan berakhirnya era modernisme.

Di zaman modern, Descartes (m. 1650) yang disebut sebagai “Bapak Filsafat Modern” oleh banyak sejarawan Barat, memformulasikan sebuah prinsip, aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Dimana dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Protagoras, Gorgias, Xenophanes, Heraclitus sebagai tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam pemikiran Sophist.

Mengenal Sophist


Mengenal Sophist
Oleh: Kang Daden Robi Rahman

Makna Sophist dan Kemunculannya

Sophist berasal dari kata yunani Sophistikos, Sophistes berarti “bijaksana, pintar, halus”, dari kata ini Sophist diartikan sebagai seorang yang mencintai kebijaksanaan. Kata Sophist dalam budaya yunani pra-socrates digunakan untuk sinonim dari filosof, professor ataupun guru. Mereka yang memiliki ketrampilan khusus sebagai pembuat kereta perang, senjata dan alat-alat pertempuran disebut sebagai Sophist. Istilah Sophist sudah dikenal bahkan sebelum thales (550 SM) abad ke-6 SM, dengan makna ini Thales bisa disebut juga sebagi seorang Sophist (filosof).

Kata Sophist mengalami perubahan makna ketika memasuki Athena pada pertengahan abad ke-5 SM. Sophist menjadi hanya sebagai nama sebuah gerakan guru keliling yang mengajar untuk mendapatkan uang. Mereka mengajari anak-anak bangsawan Athena, dan mereka yang mampu membayar; cara berdebat, retorika dan orator. Ketrampilan tersebut dibutuhkan oleh masyarakat Athena untuk membela diri dalam persidangan dihadapan dewan mahkamah Athena yang berjumlah 1505 orang dalam arena yang luas sehingga membutuhkan cara mengartikulasikan suara dalam ketrampilan orasi . Athena sejak awal dikenal sebagai negara yang demokratis , meskipun demokrasi Athena belum menyentuh kelompok budak dan wanita, namun dibandingkan Sparta yang menganut pemerintahan oligarki, Athena lebih demokratis.

Perang antara orang-orang Athena dari kota-kota Ionia dengan orang-orang Persia pada permulaan abad ke-5 SM, yang dimenangkan Athena pada pertempuran di Marathon pada tahun 409 SM , memberikan kepercayaan yang luar biasa kepada seluruh masyarakat Athena saat itu. Kemenangan itu memberikan pelajaran bagi penduduk negara-kota Athena, bahwa negara kecil dengan peradaban yang lebih tinggi akan mampu mengalahkan negara besar dengan kebudayaan barbaric atau tradisional. Hal itu mendorong masyarakat Athena untuk mengembangkan diri dengan keilmuan dan ketrampilan. Peluang demikian diambil oleh kelompok Sophist untuk mengajari apa yang mereka butuhkan dengan meminta bayaran. Dari sinilah makna Sophist berubah menjadi kelompok guru keliling yang mengajarkan ketrampilan pidato, retorika, berdebat dan berargumentasi dalam rangka mencari uang.

Kekalahan Athena oleh Sparta pada tahun 404 SM, menyebabkan perubahan landasan nilai-nilai moral yang diyakini selama ini oleh masyarakat Athena. Athena menemukan padanan bagi landasan nilai-nilai masyarakat dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat yang lain. Hal tersebut mengundang perdebatan dalam rangka menemukan nilai hidup yang dianggap paling baik. Jika zaman thales abad ke-6 SM filosof menanyakan; “Terbuat dari apakah dunia?”, “Apa yang membuat dunia bisa bertahan?” maka pada paruh abad ke 5 SM, setelah peristiwa ini, pertanyaan-pertanyaannya adalah; “Bagaimana seharusnya kita hidup?” pertanyaan dasarnya adalah “Apakah kebenaran itu?”. Inilah pertanyaan Socrates; filosof yang hidup saat itu, dengan itulah Socrates dikenal sebagia filosof moral pertama. Pertanyaan-pertanyaan itu pula yang diajarkan Sophist kepada murid-muridnya dalam rangka menguasai wacana.

KONSEP IJTIHAD DALAM ISLAM


KONSEP IJTIHAD DALAM ISLAM
Oleh: Kang Daden Robi Rahman

Pendahuluan
Perkembangan zaman dengan berbagai macam kemajuannya, meniscayakan konsekuensi tantangan dan persoalan baru. Solusi dan jalan keluar dalam bidang hukum untuk menangani, menjaga, dan melindungi kerusakan iman dan moral menjadi tumpuan harapan meangaplikasikan amanah Ilahi yang diemban manusia sebagai khalīfah fī al-ardh. Kesempurnaan wahyu Al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi prinsip dasar terjaminnya standar kebenaran dalam merefleksikan amanat penghambaan tersebut. Potensi manusia dengan pengalaman, intuisi, dan akalnya, menuntutnya untuk selalu bergerak dalam berkreasi dan berinisiatif memberikan kontribusi positif dalam memberdayakan dan mengembangkan solusi terhadap problematika kehidupan.
Kemurnian aqidah (kepercayaan), keshahihan ibadah (penghambaan), dan terbebasnya dari kejumudan berpikir merupakan hal prinsip yang niscaya dijalankan seorang muslim. Demi menjaga aqidahnya, maksimalisasi ibadah yang shahihah dijalankan tanpa harus mengungkung potensi akal. Di dalam Islam akal ditempatkan secara proporsional dengan kesadaran muslim yang meyakini keterbatasan akal dalam menentukan baik itu berpahala dan yang berpahala itu baik. Keseimbangan proporsionalitas aqidah, ibadah, dan kebebasan akal terjaga di bawah naungan wahyu yang mutlak kebenarannya. Begitulah gambaran Islam yang sempurna.
Islam sebagai agama yang universal mempunyai konsep hukum yang universal pula, yang biasa disebut dengan syari’at. Keuniversalan hukum Islam menuntut integritas penganutnya dalam mengaplikasikan syari’at secara kaffah. Begitu pula dengan kesempurnaan syari’at menuntut adanya jawaban dan solusi terhadap permasalahan baru yang belum tentu jawabannya tersurat dengan jelas di dalam Al-Qur’an ataupun al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Oleh karena itu, Islam menggariskan ijtihad sebagai alat untuk memproduksi hukum dibawah naungan kebenaran wahyu, Al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka integritas muslim terhadap Islam dibuktikan dengan eksistensinya dalam memobilisasi akal untuk selalu berijtihad merespons permasalahan baru yang tidak ditemukan jawaban konkret tersurat dan qath’i di dalam Al-Qur’an ataupun al-Sunnah dengan ijtihad yang berpijak pada kedua sumber hukum tersebut.
Tetapi pada aplikasinya, tidak sedikit orang yang mengaburkan konsep ijtihad. Ijtihad yang lahir dari rahim para ‘Ulama Islam yang mu’tabar dengan shibghah (celupan) dan worldview Islam jelas mempunyai karakter tersendiri dalam memproduksi dan menderivasi hukum dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka bisa dikatakan, bahwa ijtihad merupakan metodologi atau perangkat teoritik dalam menderivasi hukum dengan worldview Islam yang khas. Oleh karena itu, bagaimana konsep ijtihad sebenarnya di dalam Islam. Apakah kebebasan akal yang membebaskannya dari wahyu? Ataupun sebaliknya? Semuanya akan dibahas secara ringan dalam tulisan sederhana ini.

FILSAFAT ILMU USHUL FIKIH

Kamis, 17 November 2011

FILSAFAT ILMU USHUL FIKIH
Oleh: Kang Daden Robi Rahman
Pendahuluan
Keberadaan filsafat sangat urgen dalam memaksimalkan peran manusia sebagai khalifah di bumi. Filsafat sebagai simbol berpikir mendalam dikenal pula dalam khazanah ilmu-ilmu Islam. Tulisan sederhana ini akan mengurai dengan sederhana filsafat hukum islam, yakni ushul fikih, dalam pandangan filsafat ilmu. Bagaimana ushul fikih bergerak dalam memproduksi hukum syari’at? Apa sumber ilmu yang dipegangnya? Bagimana validitasnya dan tingkat kebenaran ilmu tersebut? Seluruhnya akan dibahas secara ringan dalam tulisan ini.
Gambaran Singkat Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu terdiri dari dua kata, yaitu filsafat dan ilmu. Filsafat dalam bahasa Inggris disebut philosophy. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang terdiri dari dua kata, yakni philos yang berarti cinta, atau philia yang berarti persahabatan, tertarik kepada, dan sophos yang berarti hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan intelegensi.[2] Sophos yang berarti hikmah (kebijaksanaan). Sedangkan hikmah dalam bahasa Arab, sebagaimana yang dijelaskan Ibn Mandzur dalam Lisān al-‘Arab, adalah terhindar dari kerusakan dan kezaliman, karena hikmah adalah ilmu yang sempurna dan manfaat. Sedangkan Fu’ad Iframi Bustani dalam Munjid al-Thullāb, menyatakan bahwa hikmah secara etimologi adalah al-‘adl (menempatkan sesuatu pada tempatnya), al-hilm (akal baligh/pemikiran yang sempurna), dan al-falsafah.[3] Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan , keadilan, atau kebenaran (love of wisdom).
Pelaku yang berfilsafat disebut filosof, yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.[4] Adapun pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof, sebagaimana dikutip Lorens Bagus dalam bukunya, Kamus Filsafat, adalah sebagai berikut:
1. Upaya spekulatif untk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan, baik sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, maupun nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.[5]

KONSEP TAJDĪD DALAM ISLAM

KONSEP TAJDĪD DALAM ISLAM
oleh: Kang Daden Robi Rahman
Pendahuluan
Perubahan dan pergerakan dunia semakin hari semakin sulit untuk dibendung. Hampir setiap hari, kita menemukan hal-hal baru dalam peradaban manusia. Tidak hanya dalam ranah teknologi, namun juga merambah masuk ke dalam sisi-sisi kehidupan lainnya. Politik, hukum, sosial dan budaya; semuanya –secara serta merta- terkena dampak dari derasnya laju perubahan dunia kontemperor ini.
Akibatnya, para penganut agama umumnya mulai mempertanyakan bagaimana posisi agama dalam kancah perubahan yang global ini. Masihkah agama sanggup menjalankan perannya dalam menjawab segala perubahan? Atau mungkin disinilah era agama akan berakhir? Atau memang antara agama dan segala kemajuan zaman itu samasekali tidak memiliki hubungan?

Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja tidak berhenti hingga di situ. Sebagai seorang muslim kita pun tentu akan bertanya: apakah perubahan itu kemudian menyebabkan terjadinya perubahan Syariat Islam? Bila iya, apakah perubahan itu mengharuskan kita merombak semua hukum-hukumnya, atau hanya bagian tertentu yang harus disesuaikan?[1]
Pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja membutuhkan waktu panjang untuk menjawabnya. Akan tetapi, dalam makalah singkat ini akan diuraikan sekilas tentang pandangan Islam terhadap perubahan itu. Tentu saja, semuanya berangkat dari keyakinan bahwa Syariat Islam adalah syariat samawiyah paripurna yang akan berlaku dan menjawab semua problem kemanusiaan hingga akhir zaman.

LIBERALISME VERSUS AGAMA


LIBERALISME VERSUS AGAMA
Menyikapi Tarik Ulur RUU Pornografi
Daden Robi Rahman
Liberalisme pemikiran telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan. Pemikiran yang tercemar dengan hawa nasfu akan merusak tatanan moral masyarakat. Dasar liberalisme yang mengacu kepada rasio, spekulasi filsafat dan memandang makna realitas dan kebenaran dengan memakai kacamata sosial, kultural, empiris, dan rasional telah membuahkan penolakan terhadap kebaikan dan kemaslahatan diri dan masyarakat.
Kasus pornografi yang kian marak hari-hari ini menjadi parameter menjamurnya arus liberalisme pemikiran yang berbuah dekadensi moral. Dengan landasan kebebasan tanpa batas dan hak asasi manusia versi 'manusia' yang meruntuhkan kewajiban manusia, tidak sedikit yang menolak tersahkannya RUU Pornografi.
Berdasar sensus, masyarakat Indonesia merupakan pengonsumsi situs porno terbesar ketiga. Ironis memang, sebagai negara yang identik dengan adat ketimuran dan bahkan penduduk muslim terbesar di dunia menyandang gelar seperti itu. Tetapi kenyataan ini menunjukan adanya indikasi konkrit bahwa negara muslim ini merupakan proyek besar arus liberalisasi.
Ormas dan partai Islam yang sangat bersemangat menggolkan RUU Pornografi menjadi alasan penting terjadinya penolakan. Karena mereka –penolak- seakan mencium isu peraturan berbau syari'ah. Hal tersebut terlihat ketika semangat yang tak kalah teriakannya dari fraksi PDIP dan PDS di DPR yang notabene sebagai partai nasionalis sekuler dan berbasis kristen menolak mentah-mentah RUU Pornografi.
Kedua, kondisi budaya 'telanjang' –baca: busana minim bahan- telah sangat dinikmati oleh pengumbar dan penikmat shahwat syaithani. Katakanlah para artis yang mengais rezeki dari memamerkan aurat, pelacur kelas teri sampai kelas kakap yang selama ini seakan mendapat legitimasi karena mendapat lokalisasi dan julukan PSK, 'penduduk' bali yang mendapat pemasukan hebat dari turis dan wisatawan asing yang biasa dengan budaya 'telanjang', sampai anggota legislatif yang sudah banyak terblow up media karena kasus amoral seperti Yahya Zaeni, Max Muin, dan lain-lain.
Ketiga, sikap apriori bahkan anti pati terhadap agama sebagai simbol pembangun moral yang secara perlahan merasuk jiwa masyarakat yang di usung atheis berbaju agama dan pengusung kesetaraan pembebas kewajiban yang sangat dikembang biakkan oleh berbagai kepentingan barat untuk merusak Islam khususnya dan agama-agama umumnya.
Kemasan penolakan yang diusung dengan dalih seni, kebebasan, dan hak asasi manusia tidaklah tepat. Dari mulai agama, moral, fitrah asasi manusia, dan ketulusan jiwa mana yang mengijinkan pornografi dan porno aksi. Semuanya hanya akan memposisikan manusia pada derajat yang rendah, bahkan lebih rendah dari binatang, karena manusia dikaruniai akal pikiran.
Islam tidak memonopoli larangan pornografi, termasuk Yahudi, Nasrani, Hindu dan bahkan peradaban dulu mengajarkan anti pornografi. Tetapi yang ironis, mengapa seakan umat Islam Indonesia yang hanya memperjuangkan RUU Pornografi.

Dr. Huda Darwish dalam Hijab al-Mar'ah: Bayna al-Adyan wa al-‘Almaniyah menyebutkan bahwa pada masa Fir'aun, para wanitanya memelihara keindahan tubuhnya dengan mengenakan hijab –penutup tubuh- yang menutupi pundak, dada, lengan, dan rambut dengan al-barukah -wig- untuk menjaga dari sinar matahari. Bahkan menurut beliau, dalam ajaran budha diatur interaksi dengan wanita tanpa melihat mereka.
Copyright @ 2013 elfaakir 23. Designed by Templateism | MyBloggerLab