LIBERALISME VERSUS AGAMA TAUHID

Senin, 21 November 2011
LIBERALISME VERSUS AGAMA TAUHID
Oleh: Kang Daden Robi Rahman

Liberalisasi menyerang berbagai bidang kehidupan masyarakat, dari politik, ekonomi, sosial, informasi, moral, sampai agama. Kerusakan yang terjadi pada berbagai bidang, tidak separah akibat yang ditimbulkan dari liberalisasi agama. Dalam Islam, agama merupakan sumber pemberangkatan dan rujukan dari politik, social, dan moral itu sendiri. Begitupun tak beda jauh dengan agama yang lain, meskipun jelas tidak sama.

Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini Liberal Judaism menjadi aliran resmi Yahudi. Kristen pun menjadi korban liberalisasi peradaban barat. Sebuah buku yang ditulis Herlianto – seorang aktivis Kristen asal Bandung – berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan klenikisme.

Kaum Kristen sejak lama menyadari benar akan bahaya ini. Dalam pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, mereka menetapkan sekulerisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai musuh besar Gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional.Lihat Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki: Finnish Missionary Society, 1980), hal. 42-50. Paus yang baru, Benediktus XVI, juga dikenal sebagai Paus yang konservatif dan anti-liberal. Sebelumnya, tahun 2000, dia termasuk seorang perumus penting doktrin “Dominus Jesus” yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan, jalan satu-satunya untuk menuju Bapa adalah melalui Yesus Kristus

Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen. Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.

Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.

Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu dengan Jerman Timur — terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.

Fenomena Kristen Eropa menunjukkan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan arus budaya Barat yang didominasi nilai-nilai liberalisme, sekulerisme, dan hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a Pastoral Church” mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

Sejumlah negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif; diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku.

Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.

Liberalisasi berjalan drastis ketika menemukan keberhasilannya dalam Yahudi Kristen. Langkahnya terus mencari korban, memporakporandakan agama. Islam sebagai satu-satunya agama yang solid, bebas cacat sejarah, dan sebuah peradaban terpanjang dalam sejarah yang menorehkan kemaslahatan pembebasan penghambaan manusia terhadap makhluk kepada Allah swt, menjadi rival terberat arus liberalisasi.

Dalam konteks Indonesia, liberalisasi Islam dimulai sejak 1970-an yang dijalankan melalui tiga bidang dasar dalam Islam. Pertama, liberalisasi aqidah dengan penyebaran pham pluralisme agama. Kedua, liberalisasi bidang syari'ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad. Ketiga, liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur'an.

Gerakan sistemik dan metodologik liberalisasi Islam Indonesia terlihat jelas, ketika Dr. Greg Barton, dalam disertasinya di Monash University, Australia memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. (Disertasi Greg Barton diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina, dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia. (1999:xxi).

Teori Hermeneutika Terhadap al-Qur'an


Teori Hermeneutika Terhadap al-Qur'an
Al-Qur'an dan Teori Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd

Artikel berikut ditulis oleh: Kang Daden Robi Rahman

1. Mukaddimah
Pembahasan dalam makalah ini dimulai dengan penjelasan kata-kata kunci dalam judul, yang meliputi al-Qur’an, hermeneutika dan Nasr Hamid Abu Zayd. Dengan demikian diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang topik bahasan. Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dan terkumpul dalam lembaran Mushaf dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir[1]Sedangkan hermeneutika adalah metode atau teori yang memfokuskan dirinya pada masalah interpretasi, khususnya digunakan dalam studi Bibel atau teks sastra.
Lebih lanjut dalam ensiklopedi Britannica dijelaskan bahwa ia adalah kajian tentang prinsip-prinsip umum terhadap penafsiran Bible. Bagi Yahudi maupun Kristen di sepanjang sejarah mereka, tujuan utama hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai Bibel (Perjanjian Lama dan Baru) melalui berbagai tehnik. Seringkali tehnik yang digunakan adalah dengan menyandarkan pada kondisi sejarah tertentu (certain historical conditions), situasi-situasi polemik atau apologetik yang diperkirakan dapat menemukan kebenaran atau nilai.
Status kesucian Bibel menurut Yahudi dan Kristen diyakini bahwa ia adalah manifestasi wahyu Tuhan. Maka sebagian mereka berpendapat bahwa penafsiran Bibel harus bersifat harfiyah (literal), sebab firman Tuhan adalah jelas dan sempurna (explicit and complete). Sebagian lainnya berpendapat bahwa kata-kata dalam Bibel harus selalu memiliki makna spiritual yang mendalam. Sebab pesan dan kebenaran Tuhan dengan sendirinya membuktikan kebesaran. Namun ada yang menggabungkan pendapat keduanya, yaitu sebagian isi Bibel harus didekati secara harfiyah dan sebagian lainnya secara kiasan (figuratively).[2]Sedangkan Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd adalah pemikir modernis asal Mesir. Namanya sangat dikenal oleh para pemerhati pemikiran Islam setelah menggulirkan gagasan bahwa al-Quran hanyalah produk budaya, teks manusia, teks linguistik dan tidak lebih dari sekedar fenomena sejarah. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia[3] dan pemikirannya banyak diajarkan oleh para dosen, akademisi di beberapa perguruan tinggi dan disuarakan oleh banyak tokoh liberal. Pujaan dan penghargaan terhadapnya bertaburan di berbagai buku, jurnal, ruang-ruang perkuliahan, seminar dan situs-situs internet. Bahkan oleh media barat dia dipandang sebagai ‘hero’ bagi tumbuhnya kebebasan berfikir, sementara di negara asalnya dia difatwa kafir oleh mahkamah yang didukung lebih dari 2000 ulama.[4]Sebagai contoh, dalam encyclopedia Wikipedia, Abu Zayd dikisahkan sebagai seorang pemikir al-Qur’an (Qur’anic thinker) dan teolog liberal terkemuka asal Mesir. Dia menderita penganiayaan relijius yang serius, dikarenakan pandangannya tentang al-Qur’an sebagai sebuah karya sastera mistik.
Pada tahun 1995, dia dipromosikan untuk menduduki jabatan profesor, tetapi kontroversi keagamaan seputar karya akademisnya, membawanya pada keputusan murtad di pengadilan dan ditolak pengangkatannya. Encyclopedia Wikipedia mengulas bahwa pengadilan tersebut dikuasai oleh para cendekiawan Islam fundamentalis, sehingga dia diputuskan sebagai seorang murtad oleh pengadilan Mesir dan harus menceraikan istrinya. Dalam encyclopedia ini, Abu Zayd dikisahkan sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia (a violation of human rights), korban pelanggaran kebebasan berekspresi (a violation of freedom of expression), korban pelanggaran kebebasan berkarya ilmiah (a violation of scientific freedom), korban pelanggaran privasi kehidupan keluarga (a violation of family private life) dan sebagainya.[5]Setelah mengaku adanya ancaman mati dari berbagai pihak,[6] pada tanggal 23 Juli 1995 Abu Zayd dan istrinya memutuskan untuk hengkang dari Mesir dan berdomisili di Belanda hingga sekarang.[7] Di negeri Belanda, Abu Zayd dihormati sebagai ilmuwan besar dalam bidang studi al-Quran, dianugerahi gelar profesor di bidang bahasa Arab dan studi Islam dari Leiden University, sebuah universitas kuno yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam selatan.Saat ini dia menduduki “kursi Ibnu Rusyd dalam bidang kemanusiaan dan Islam” di Universitas Utrecht, Belanda. Selain itu dia juga membimbing mahasiswa S2 dan S3 di Universitas Leiden (termasuk beberapa di antaranya adalah para mahasiswa dari Indonesia), dan aktif terlibat dalam proyek riset tentang hermeneutika Yahudi dan Islam sebagai kritik kultural, bekerja pada tim “Islam dan Modernitas” di Institute of Advanced Studies of Berlin (Wissenschaftskolleg zu Berlin).
Pada tahun 2005, dia menerima “the Ibn Rushd Prize for Freedom of Thought”, Berlin, sebuah penghargaan atas usahanya mengkampanyekan ‘kebebasan berfikir’ di Mesir.[8]Kajian tentang pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dipandang penting, mengingat pengaruhnya yang luas di Indonesia. Sayangnya, belum banyak cendekiawan muslim Indonesia yang secara serius mengkritisi pemikirannya secara ilmiah dalam bentuk makalah atau buku.[9] Gambaran tentang besarnya pengaruh Abu Zayd di Indonesia, terutama di perguruan tinggi Islam, dapat kita simak dari laporan hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama pada 15/11/06 tentang ‘Faham-faham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat Perkotaan’. Di Yogya, penelitian difokuskan pada UIN Sunan Kalijaga, yang hasilnya menyebutkan:“Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid.
Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melenggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam dinusantara ini hermeneutika makin digemari. Terhadap Al-Hadits tetap harus ada kritik terhadap perawi-perawi hadits, kritik terhadap hadits-hadits mutawatir, bahkan terhadap ideologi Islam. Menurut Zuly Qadir bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama adalah tidak ada tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama.
Dalam menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak menjustifikasi benar atau salah[10]Selanjutnya, makalah ini secara ringkas dan sederhana akan difokuskan pada teori hermeneutika al-Qur’an versi Abu Zayd disertai dengan contoh-contoh ‘penemuannya’, pengaruhnya di Indonesia dan disertai dengan beberapa ulasan.

Jejak Sophist Pada Pemikiran Islam Liberal Indonesia


Jejak Sophist Pada Pemikiran Islam Liberal Indonesia
Oleh: Kang Daden Robi Rahman

1. Sebagai penyihir kata-kata
Bagi Sophist kata-kata adalah alat bagaimana mereka bisa memenangkan argument dari lawan debatnya. Kegemaran akan perdebatan semacam itu melahirkan banyak istilah yang digunakan untuk mempengaruhi lawan debatnya, karena itulah Sophist dikenal dengan penyihir atau pesulap kata. Hal itu Nampak juga pada kegemaran kelompok Islam Liberal di Indonesia yang menggunakan jargon-jargon indah untuk memenangkan wacana debat, misalnya; “bedakan antara agama dan keberagamaan”, “jangan mensucikan pemikiran keagamaan”, “agama adalah mutlak, sedangkan pemikiran keagamaan adalah relatif”, “manusia adalah relatif, karena itu semua pemikiran produk akal manusia adalah relatif juga”, “tafsir adalah produk akal manusia, sehingga tidak bisa mutlak semutlak seperti wahyu itu sendiri”, “selama manusia masih berstatus manusia maka hasil pemikirannya tetap parsial, kontekstual, dan bisa saja keliru”, dan sebagainya.

Sepintas, kata-kata itu terasa logis, dan tampak indah. Jika tidak berhati-hati dan kurang ilmu, maka bukan tidak mungkin seseorang akan terpengaruh. Apalagi, jika yang mengatakannya adalah seorang doktor atau profesor di bidang studi agama. Sihir-sihir kata itu telah dilakukan oleh Sophist ribuan tahun ketika Yunani masih diliputi oleh banyak paham mitologi, Sihir-sihir itu nampak dalam pernyataan orang-orang Islam Liberal di Indonesia. Seperti apa yang dikatakan oleh Daud Rosyid, seorang pakar hadis di Indonesia, saat mengomentari tulisan-tulisan Nurcholis Madjid; “Sihir-sihir” Nurcholish lebih canggih dan lebih memukau daripada Harun, karena dikemas dengan gaya ilmiah yang menarik”.

2. Argument bukan untuk mencari kebenaran
Diantaranya argument Sophistic yang mereka gunakan adalah menuduh bahwa ulama’ ulama’ menjual figh untuk mendapatkan uang. Alasannya karena memang zaman sekarang adalah zamannya kapitalis.

“Bagi masyarakat Kapitalis modern, menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti fiqih, merupakan cara untuk mengembangkan kapital, sebagaimana tercermin dalam maraknya bank-bank yang menggunakan simbol keagamaan… jadi fiqh merupakan khazanah yang diperebutkan, karena di dalamnya tersimpan semangat teosentrisme. Lalu apa yang terjadi bila fiqih bercorak teosentris? .. kita akan masuk dalam jebakan otoritarianisme”

Jejak Sophist di Era Modern dan Post Modern


Jejak Sophist di Era Modern dan Post Modern
Oleh: Kang Daden Robi Rahman

Sebagai sebuah nama, Sophist memang sudah selesai ketika memasuki era modern, bahkan ketika Barat berada pada zaman kegelapan (dark era) sudah tidak dikenal lagi istilah Sophist sebagai sebuah kelompok. Namun apa yang dilakukan oleh Sophist dengan pemikiran agnostic, relative dan skeptic–nya bisa kita lacak pada pemikiran-pemikiran filosof Barat dari zaman Socrates hingga abad postmodernisme sekarang. Hal tersebut terjadi karena adanya kesinambungan pemikiran filosof modern dan postmodern kepada pemikiran Plato dan Aristotle sebagai dua orang filosof yang dijadikan refrensi pemikiran filsafat barat secara keseluruhan. Sedangkan pemikiran Plato adalah buah dari pergemulannya dengan Socrates yang bersambung hingga Xenophanes seorang guru Sophist ternama. Dengan demikian Sophist memiliki peranan yang cukup penting bagi tumbuhnya filasafat Barat. Ibarat tanaman; Sophist adalah akar dan para filosof setelah mereka adalah cabang dan ranting-nya. Karena itu, tidak mustahil untuk menemukan pengaruh pemikiran Sophist dalam era Modernism dan postmodernisme, meski jarak tahun antara modernism, postmodernisme dengan Sophist terpaut ribuan tahun.

Barat modern adalah periode sejarah dalam peradaban Barat, yang persisnya terjadi saat kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada periode pencerahan, abad industry dan abad ilmu pengetahuan. Modernisme dihidupkan dengan semangat keilmuan (Scientific), yang diwarnai paham sekulerisasi, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dichotomis, desakralisasi, pragmatisme dan penafian kebenaran metafisis (Agama). Menurut J.W. Schoorl Modernisasi adalah penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktifitas, semua bidang kehidupan atau pada semua aspek kehidupan masyarakat.

Sedang Postmodernisme sendiri adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutan-nya. Gerakan ini lahir pada abad ke-19 dimana modernitas mulai dipertanyakan oleh gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip yang meragukan bahwa realitas memiliki struktur yang dapat difahami oleh manusia. Munculnya eksistensialisme dan filsafat analitik sebagai produk akal post-modern menggantikan sistim metafisika. Silverman menyatakan bahwa penutupan jalan pemikiran metafisika bertepatan dengan berakhirnya era modernisme.

Di zaman modern, Descartes (m. 1650) yang disebut sebagai “Bapak Filsafat Modern” oleh banyak sejarawan Barat, memformulasikan sebuah prinsip, aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Dimana dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Protagoras, Gorgias, Xenophanes, Heraclitus sebagai tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam pemikiran Sophist.

Mengenal Sophist


Mengenal Sophist
Oleh: Kang Daden Robi Rahman

Makna Sophist dan Kemunculannya

Sophist berasal dari kata yunani Sophistikos, Sophistes berarti “bijaksana, pintar, halus”, dari kata ini Sophist diartikan sebagai seorang yang mencintai kebijaksanaan. Kata Sophist dalam budaya yunani pra-socrates digunakan untuk sinonim dari filosof, professor ataupun guru. Mereka yang memiliki ketrampilan khusus sebagai pembuat kereta perang, senjata dan alat-alat pertempuran disebut sebagai Sophist. Istilah Sophist sudah dikenal bahkan sebelum thales (550 SM) abad ke-6 SM, dengan makna ini Thales bisa disebut juga sebagi seorang Sophist (filosof).

Kata Sophist mengalami perubahan makna ketika memasuki Athena pada pertengahan abad ke-5 SM. Sophist menjadi hanya sebagai nama sebuah gerakan guru keliling yang mengajar untuk mendapatkan uang. Mereka mengajari anak-anak bangsawan Athena, dan mereka yang mampu membayar; cara berdebat, retorika dan orator. Ketrampilan tersebut dibutuhkan oleh masyarakat Athena untuk membela diri dalam persidangan dihadapan dewan mahkamah Athena yang berjumlah 1505 orang dalam arena yang luas sehingga membutuhkan cara mengartikulasikan suara dalam ketrampilan orasi . Athena sejak awal dikenal sebagai negara yang demokratis , meskipun demokrasi Athena belum menyentuh kelompok budak dan wanita, namun dibandingkan Sparta yang menganut pemerintahan oligarki, Athena lebih demokratis.

Perang antara orang-orang Athena dari kota-kota Ionia dengan orang-orang Persia pada permulaan abad ke-5 SM, yang dimenangkan Athena pada pertempuran di Marathon pada tahun 409 SM , memberikan kepercayaan yang luar biasa kepada seluruh masyarakat Athena saat itu. Kemenangan itu memberikan pelajaran bagi penduduk negara-kota Athena, bahwa negara kecil dengan peradaban yang lebih tinggi akan mampu mengalahkan negara besar dengan kebudayaan barbaric atau tradisional. Hal itu mendorong masyarakat Athena untuk mengembangkan diri dengan keilmuan dan ketrampilan. Peluang demikian diambil oleh kelompok Sophist untuk mengajari apa yang mereka butuhkan dengan meminta bayaran. Dari sinilah makna Sophist berubah menjadi kelompok guru keliling yang mengajarkan ketrampilan pidato, retorika, berdebat dan berargumentasi dalam rangka mencari uang.

Kekalahan Athena oleh Sparta pada tahun 404 SM, menyebabkan perubahan landasan nilai-nilai moral yang diyakini selama ini oleh masyarakat Athena. Athena menemukan padanan bagi landasan nilai-nilai masyarakat dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat yang lain. Hal tersebut mengundang perdebatan dalam rangka menemukan nilai hidup yang dianggap paling baik. Jika zaman thales abad ke-6 SM filosof menanyakan; “Terbuat dari apakah dunia?”, “Apa yang membuat dunia bisa bertahan?” maka pada paruh abad ke 5 SM, setelah peristiwa ini, pertanyaan-pertanyaannya adalah; “Bagaimana seharusnya kita hidup?” pertanyaan dasarnya adalah “Apakah kebenaran itu?”. Inilah pertanyaan Socrates; filosof yang hidup saat itu, dengan itulah Socrates dikenal sebagia filosof moral pertama. Pertanyaan-pertanyaan itu pula yang diajarkan Sophist kepada murid-muridnya dalam rangka menguasai wacana.

KONSEP IJTIHAD DALAM ISLAM


KONSEP IJTIHAD DALAM ISLAM
Oleh: Kang Daden Robi Rahman

Pendahuluan
Perkembangan zaman dengan berbagai macam kemajuannya, meniscayakan konsekuensi tantangan dan persoalan baru. Solusi dan jalan keluar dalam bidang hukum untuk menangani, menjaga, dan melindungi kerusakan iman dan moral menjadi tumpuan harapan meangaplikasikan amanah Ilahi yang diemban manusia sebagai khalīfah fī al-ardh. Kesempurnaan wahyu Al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi prinsip dasar terjaminnya standar kebenaran dalam merefleksikan amanat penghambaan tersebut. Potensi manusia dengan pengalaman, intuisi, dan akalnya, menuntutnya untuk selalu bergerak dalam berkreasi dan berinisiatif memberikan kontribusi positif dalam memberdayakan dan mengembangkan solusi terhadap problematika kehidupan.
Kemurnian aqidah (kepercayaan), keshahihan ibadah (penghambaan), dan terbebasnya dari kejumudan berpikir merupakan hal prinsip yang niscaya dijalankan seorang muslim. Demi menjaga aqidahnya, maksimalisasi ibadah yang shahihah dijalankan tanpa harus mengungkung potensi akal. Di dalam Islam akal ditempatkan secara proporsional dengan kesadaran muslim yang meyakini keterbatasan akal dalam menentukan baik itu berpahala dan yang berpahala itu baik. Keseimbangan proporsionalitas aqidah, ibadah, dan kebebasan akal terjaga di bawah naungan wahyu yang mutlak kebenarannya. Begitulah gambaran Islam yang sempurna.
Islam sebagai agama yang universal mempunyai konsep hukum yang universal pula, yang biasa disebut dengan syari’at. Keuniversalan hukum Islam menuntut integritas penganutnya dalam mengaplikasikan syari’at secara kaffah. Begitu pula dengan kesempurnaan syari’at menuntut adanya jawaban dan solusi terhadap permasalahan baru yang belum tentu jawabannya tersurat dengan jelas di dalam Al-Qur’an ataupun al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Oleh karena itu, Islam menggariskan ijtihad sebagai alat untuk memproduksi hukum dibawah naungan kebenaran wahyu, Al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka integritas muslim terhadap Islam dibuktikan dengan eksistensinya dalam memobilisasi akal untuk selalu berijtihad merespons permasalahan baru yang tidak ditemukan jawaban konkret tersurat dan qath’i di dalam Al-Qur’an ataupun al-Sunnah dengan ijtihad yang berpijak pada kedua sumber hukum tersebut.
Tetapi pada aplikasinya, tidak sedikit orang yang mengaburkan konsep ijtihad. Ijtihad yang lahir dari rahim para ‘Ulama Islam yang mu’tabar dengan shibghah (celupan) dan worldview Islam jelas mempunyai karakter tersendiri dalam memproduksi dan menderivasi hukum dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka bisa dikatakan, bahwa ijtihad merupakan metodologi atau perangkat teoritik dalam menderivasi hukum dengan worldview Islam yang khas. Oleh karena itu, bagaimana konsep ijtihad sebenarnya di dalam Islam. Apakah kebebasan akal yang membebaskannya dari wahyu? Ataupun sebaliknya? Semuanya akan dibahas secara ringan dalam tulisan sederhana ini.

FILSAFAT ILMU USHUL FIKIH

Kamis, 17 November 2011

FILSAFAT ILMU USHUL FIKIH
Oleh: Kang Daden Robi Rahman
Pendahuluan
Keberadaan filsafat sangat urgen dalam memaksimalkan peran manusia sebagai khalifah di bumi. Filsafat sebagai simbol berpikir mendalam dikenal pula dalam khazanah ilmu-ilmu Islam. Tulisan sederhana ini akan mengurai dengan sederhana filsafat hukum islam, yakni ushul fikih, dalam pandangan filsafat ilmu. Bagaimana ushul fikih bergerak dalam memproduksi hukum syari’at? Apa sumber ilmu yang dipegangnya? Bagimana validitasnya dan tingkat kebenaran ilmu tersebut? Seluruhnya akan dibahas secara ringan dalam tulisan ini.
Gambaran Singkat Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu terdiri dari dua kata, yaitu filsafat dan ilmu. Filsafat dalam bahasa Inggris disebut philosophy. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang terdiri dari dua kata, yakni philos yang berarti cinta, atau philia yang berarti persahabatan, tertarik kepada, dan sophos yang berarti hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan intelegensi.[2] Sophos yang berarti hikmah (kebijaksanaan). Sedangkan hikmah dalam bahasa Arab, sebagaimana yang dijelaskan Ibn Mandzur dalam Lisān al-‘Arab, adalah terhindar dari kerusakan dan kezaliman, karena hikmah adalah ilmu yang sempurna dan manfaat. Sedangkan Fu’ad Iframi Bustani dalam Munjid al-Thullāb, menyatakan bahwa hikmah secara etimologi adalah al-‘adl (menempatkan sesuatu pada tempatnya), al-hilm (akal baligh/pemikiran yang sempurna), dan al-falsafah.[3] Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan , keadilan, atau kebenaran (love of wisdom).
Pelaku yang berfilsafat disebut filosof, yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.[4] Adapun pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof, sebagaimana dikutip Lorens Bagus dalam bukunya, Kamus Filsafat, adalah sebagai berikut:
1. Upaya spekulatif untk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan, baik sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, maupun nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.[5]

KONSEP TAJDĪD DALAM ISLAM

KONSEP TAJDĪD DALAM ISLAM
oleh: Kang Daden Robi Rahman
Pendahuluan
Perubahan dan pergerakan dunia semakin hari semakin sulit untuk dibendung. Hampir setiap hari, kita menemukan hal-hal baru dalam peradaban manusia. Tidak hanya dalam ranah teknologi, namun juga merambah masuk ke dalam sisi-sisi kehidupan lainnya. Politik, hukum, sosial dan budaya; semuanya –secara serta merta- terkena dampak dari derasnya laju perubahan dunia kontemperor ini.
Akibatnya, para penganut agama umumnya mulai mempertanyakan bagaimana posisi agama dalam kancah perubahan yang global ini. Masihkah agama sanggup menjalankan perannya dalam menjawab segala perubahan? Atau mungkin disinilah era agama akan berakhir? Atau memang antara agama dan segala kemajuan zaman itu samasekali tidak memiliki hubungan?

Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja tidak berhenti hingga di situ. Sebagai seorang muslim kita pun tentu akan bertanya: apakah perubahan itu kemudian menyebabkan terjadinya perubahan Syariat Islam? Bila iya, apakah perubahan itu mengharuskan kita merombak semua hukum-hukumnya, atau hanya bagian tertentu yang harus disesuaikan?[1]
Pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja membutuhkan waktu panjang untuk menjawabnya. Akan tetapi, dalam makalah singkat ini akan diuraikan sekilas tentang pandangan Islam terhadap perubahan itu. Tentu saja, semuanya berangkat dari keyakinan bahwa Syariat Islam adalah syariat samawiyah paripurna yang akan berlaku dan menjawab semua problem kemanusiaan hingga akhir zaman.

LIBERALISME VERSUS AGAMA


LIBERALISME VERSUS AGAMA
Menyikapi Tarik Ulur RUU Pornografi
Daden Robi Rahman
Liberalisme pemikiran telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan. Pemikiran yang tercemar dengan hawa nasfu akan merusak tatanan moral masyarakat. Dasar liberalisme yang mengacu kepada rasio, spekulasi filsafat dan memandang makna realitas dan kebenaran dengan memakai kacamata sosial, kultural, empiris, dan rasional telah membuahkan penolakan terhadap kebaikan dan kemaslahatan diri dan masyarakat.
Kasus pornografi yang kian marak hari-hari ini menjadi parameter menjamurnya arus liberalisme pemikiran yang berbuah dekadensi moral. Dengan landasan kebebasan tanpa batas dan hak asasi manusia versi 'manusia' yang meruntuhkan kewajiban manusia, tidak sedikit yang menolak tersahkannya RUU Pornografi.
Berdasar sensus, masyarakat Indonesia merupakan pengonsumsi situs porno terbesar ketiga. Ironis memang, sebagai negara yang identik dengan adat ketimuran dan bahkan penduduk muslim terbesar di dunia menyandang gelar seperti itu. Tetapi kenyataan ini menunjukan adanya indikasi konkrit bahwa negara muslim ini merupakan proyek besar arus liberalisasi.
Ormas dan partai Islam yang sangat bersemangat menggolkan RUU Pornografi menjadi alasan penting terjadinya penolakan. Karena mereka –penolak- seakan mencium isu peraturan berbau syari'ah. Hal tersebut terlihat ketika semangat yang tak kalah teriakannya dari fraksi PDIP dan PDS di DPR yang notabene sebagai partai nasionalis sekuler dan berbasis kristen menolak mentah-mentah RUU Pornografi.
Kedua, kondisi budaya 'telanjang' –baca: busana minim bahan- telah sangat dinikmati oleh pengumbar dan penikmat shahwat syaithani. Katakanlah para artis yang mengais rezeki dari memamerkan aurat, pelacur kelas teri sampai kelas kakap yang selama ini seakan mendapat legitimasi karena mendapat lokalisasi dan julukan PSK, 'penduduk' bali yang mendapat pemasukan hebat dari turis dan wisatawan asing yang biasa dengan budaya 'telanjang', sampai anggota legislatif yang sudah banyak terblow up media karena kasus amoral seperti Yahya Zaeni, Max Muin, dan lain-lain.
Ketiga, sikap apriori bahkan anti pati terhadap agama sebagai simbol pembangun moral yang secara perlahan merasuk jiwa masyarakat yang di usung atheis berbaju agama dan pengusung kesetaraan pembebas kewajiban yang sangat dikembang biakkan oleh berbagai kepentingan barat untuk merusak Islam khususnya dan agama-agama umumnya.
Kemasan penolakan yang diusung dengan dalih seni, kebebasan, dan hak asasi manusia tidaklah tepat. Dari mulai agama, moral, fitrah asasi manusia, dan ketulusan jiwa mana yang mengijinkan pornografi dan porno aksi. Semuanya hanya akan memposisikan manusia pada derajat yang rendah, bahkan lebih rendah dari binatang, karena manusia dikaruniai akal pikiran.
Islam tidak memonopoli larangan pornografi, termasuk Yahudi, Nasrani, Hindu dan bahkan peradaban dulu mengajarkan anti pornografi. Tetapi yang ironis, mengapa seakan umat Islam Indonesia yang hanya memperjuangkan RUU Pornografi.

Dr. Huda Darwish dalam Hijab al-Mar'ah: Bayna al-Adyan wa al-‘Almaniyah menyebutkan bahwa pada masa Fir'aun, para wanitanya memelihara keindahan tubuhnya dengan mengenakan hijab –penutup tubuh- yang menutupi pundak, dada, lengan, dan rambut dengan al-barukah -wig- untuk menjaga dari sinar matahari. Bahkan menurut beliau, dalam ajaran budha diatur interaksi dengan wanita tanpa melihat mereka.

JIHAD DAN TERORISME

JIHAD DAN TERORISME
Ditulis oleh: Kang Daden Robi Rahman

Dalam kondisi dunia yang terhegemoni kekuatan Barat saat ini, tidak aneh kiranya banyak kita temui para ustadz, kyai, ‘ulama, mujāhid, dan para aktifis Islam lainnya menjadi sasaran para penguasa zhalim. Apalagi isu terrorisme yang berkembang sekarang, dimana isu ini sudah menjadi isu global. Dikarenakan kekuatan global ada di pada kekuasaan-kekuasan tiran yang dikoordinatori Amerika sebagai representasi kekuatan Barat, maka kaum muslimin yang tsiqah pun menjadi sasaran korban kebiadaban mereka. Pemerintahan Amerika dan sekutunya telah mengarahkan pandangan manusia dunia, termasuk negeri-negeri muslim, untuk menyatakan bahwa apa yang dilakukan kaum muslimin dunia yang melaksanakan syari’at Islam, khususnya jihad adalah para teroris yang mesti ditangkap, dipenjarakan, bahkan dibunuh. Dan patut disayangkan, banyak dari kaum muslimin yang termakan makar tersebut, yang akhirnya mereka bukannya membantu para mujahidin, justru mencelanya. Akhirnya kaum muslimin pun khawatir, bahkan takut kalau berbicara jihad, apalagi mengamalkannya.
Bahkan bukan hanya umat Islam saja yang menjadi sasaran, lebih parah lagi Islam diidentikan dengan terorisme. Mereka mencoba membuat opini, wacana, dan makar bahwa Islam sebagai agama adalah dogma, dogma dogma identik dengan fanatisme, fanatisme menimbulkan fundamentalisme, fundamentalisme identik dengan jihad, dan jihad melahirkan terorisme.
Isu terorisme yang selalu dikait-kaitkan dengan kaum muslimin dan Islam ini adalah bentuk peperangan pada ranah opini dan pemikiran atau biasa disebut dengan ghazwul fikry. Seharusnya kita tidak boleh begitu gampang termakan makar. Tetapi begitulah realitas yang menimpa kaum muslimin dunia yang seakan inferior dibawah superioritas Barat. Padahal sangat jelas makar bahwa jihad identik dengan terorisme adalah fitnah yang diarahkan kepada umat Islam. Di satu sisi, ajaran jihad merupakan ajaran yang jelas adanya di dalam Islam. Bahkan jihad mempunyai kedudukan yang teramat mulia di dalam Islam, sebagaimana sabda Rasul SAW,
“Maukah aku kabarkan kepala segala urusan, tiangnya, dan puncak ketinggiannya? Saya (Muadz) berkata: Tentu ya Rasulullah. Rasul bersabda: Kepala setiap urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncak ketinggiannya adalah jihad fī sabīlillāh” (HR. at-Tirmidzi [no.2616](
Disisi lain, terorisme merupakan sebuah paham yang dikecam oleh Islam, karena paham ini merupakan paham yang mengajarkan kekerasan, menyebarkan ancaman, dan menebarkan permusuhan. Sebagaimana telah dirumuskan Majma’ al-Fiqh al-Islāmy sebagai lembaga fikih internasional, menyatakan terorisme sebagai suatu permusuhan yang ditekuni oleh individu-individu, kelompok-kelompok, atau negara-negara dengan penuh kesewenang-wenangan terhadap manusia (agama, darah, harta, dan kehormatannya). Dan ia mencakup berbagai bentuk pemunculan rasa takut, gangguan, ancaman, dan pembunuhan tanpa hak serta apa yang berkaitan dengan bentuk-bentuk permusuhan, membuat ketakutan di jalan-jalan, membajak di jalan dan segala perbuatan kekerasan dan ancaman. Aplikasinya terjadi pada suatu kegiatan dosa secara individu maupun kelompok, dengan target melemparkan ketakutan di tengah manusia, atau membuat mereka takut dengan gangguan terhadap mereka, atau memberikan bahaya pada kehidupan, kebebasan, keamanan, atau kondisi-kondisi mereka. Dan diantara bentuk-bentuknya, melekatkan bahaya pada suatu lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan umum atau khusus, atau memberikan bahaya pada salah satu sumber daya atau asset negara atau umum. Seluruh hal ini tergolong kerusakan di muka bumi yang dilarang Allah SWT. (Qarārāt al-Majma’ al-Fiqh al-Islāmy dalam Dzulqanain ibn Muhammad Sanusi, Meraih Kemuliaan Dengan Jihad, Pustaka as-Sunnah, 2006, hal.165)
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-A’raf:56).

PANDANGAN POLITIK HASSAN AL-BANNA


PANDANGAN POLITIK HASSAN AL-BANNA
Ditulis oleh: Kang Daden Robi Rahman

Pendahuluan
Islam sebagai agama universal memiliki kandungan ajaran dan konsep yang integral. Berbagai aspek kehidupan dibahas dan diaturnya. Ia laksana cahaya yang menyinari seluruh lapisan dan bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lainnya. Islam sebagai way of life merupakan peradaban yang tidak mendikotomikan dunia dan akhirat, jasad dan ruh, wadah dan isi, materi dan nilai.
Dalam bidang politik misalnya, Islam mendudukannya sebagai sarana penjagaan urusan umat (ri’āyah syu-ūn al-ummah). Islam dan politik tidak bisa dipisahkan, karena Islam tanpa politik akan melahirkan terbelenggunya kaum muslimin yang tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan melaksanakan syari’at Islam. Begitu pula politik tanpa Islam, hanya akan melahirkan masyarakat yang mengagungkan kekuasaan, jabatan, materi, dan duniawi saja, kosong dari aspek moral dan spiritual. Oleh karena itu kedudukan politik dalam Islam sangat urgent, mengingat kemerdekaan dan kebebasan melaksanakan syari’at Islam dapat diwadahi oleh politik.
Islam dan politik integratif terwujud pada beberapa pemikir dan politisi muslim seperti Al-Mawardi (w.1058 M), Ibn Taimiyyah (w.1328 M) Ibn Khaldun (w.1406 M), Ibn Abd al-Wahhab (w.1793 M), Jamaluddin al-Afghani (w.1897 M), dan Muhammad Abduh (w.1905 M) sebagai contoh adalah beberapa nama pemikir muslim yang menjadi rujukan dalam pemikiran politik. Namun selain beberapa nama itu, tokoh pergerakan Islam dari tanah Mesir, Hasan al-Banna memiliki pemikiran yang menarik dalam bidang politik.
Bahkan beberapa kalangan tokoh muslim seperti Thanthawi Jauhari memandang al-Banna sebagai pemikir, politisi, dan pejuang besar di masanya dan setelahnya. Sebagaimana dikutip Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam bukunya, Fikih Politik Menurut Imam Hasan al-Banna, Thanthawi Jauhari berkata: “Dalam pandangan saya, Hasan Al-Banna lebih besar dari Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Beliau memiliki temperamen yang menakjubkan yang berupa takwa dan kecerdikan politis, Beliau berhati Ali dan berotak Mu’awiyah. Saya melihat padanya sifat-sifat seorang pemimpin yang mana dunia Islam sedang kehilangan tokoh seperti itu.”
Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pemikiran politik Hasan al-Banna. Bagaimana ia menuangkan ide dan gagasannya, sehingga bisa mewujudkan organisasi Islam yang berpolitik dengan semangat pembaruan pada zamannya dan menjadi cermin dan rujukan pada masa setelahnya.

Tajdid vs Modernisme


ditulis oleh: Kang Daden Robi Rahman

Pendahuluan
Kemajuan teknologi dan informasi mengindikasikan perjalanan zaman yang mengalami puncak kesuksesan duniawi dan sekaligus keberakhiran dunia yang semakin dekat. Kemajuan ini pun diiringi dengan persoalan manusia yang semakin kompleks dan menuntutnya untuk selalu eksis dan aktif menjadi problem solver. Maka konsep tajdīd (pembaharuan) menjadi keniscayaan wujudnya dalam menjawab tantangan zaman tersebut. Dalam hal ini, Islam sebagai agama kāmil mutakāmil, syāmil mutasyāmil (sempurna dan paripurna), menjadi pijakan dasar dalam mempelopori setiap jengkal langkah zaman yang menantang pembaharuan.
Keyakinan umat Islam terhadap kesempurnaan Islam dalam menjawab problem dan challenge masa yang kian bergulir, ditanggapi secara beragam dalam aplikasi memahami konsep tajdīd. Diantaranya dapat ditemukan gerakan pembaruan yang mengusung keniscayaan pembaruan dengan meninggalkan ajaran dan doktrin Islam di masa silam (baca: zaman nabi Muhammad saw.) yang dipandang secara subjektif tidak lagi cocok dengan tuntutan zaman modern. Dalam peta pemikiran nasional, Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan representasi kelompok ini. Mereka menilai plagiatisasi ajaran nabi saw. dulu merupakan kemandekan, bersifat puritan, dan anti terhadap reformasi keagamaan.[1] Mereka sangat membanggakan para pemikir liberal yang mereka golongkan berada pada kelompok gerakan ini, seperti Mohammad Arkoun, Fatimah Mernissi, Muhammad Abid al-Jabiri, Aziz Azmeh, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Abdullahi Ahmed An-Naim.[2] Di lain pihak ditemukan pula gerakan yang menginginkan tajdīd dengan kembali kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah sesuai tuntunan nabi Muhammad saw.
Meminjam hasil penelitian John L. Esposito dalam karyanya, Islam: The Straight Path, menjelaskan kategori dan klasifikasi pergerakan pembaruan kedalam empat aliran. Pertama, kaum sekuler yang mendukung agama hanya untuk urusan pribadi dan pengucilannya dari kehidupan publik. Kedua, konservatif yang bergerak untuk kembali kepada al-Qur'an dan al-sunnah dengan penekanan mengaplikasikan hukum tradisional, bukan reinterpretasi yang membuka peluang perubahan dalam hukum. Mereka memandang tidak begitu penting merujuk langsung kepada al-Qur'an dan al-sunnah untuk memperoleh jawaban-jawaban baru. Ketiga, neotradisionalis, yang dominan sama dengan konservatif. Tetapi kaum ini disatu sisi menghormati rumusan-rumusan hukum klasik, tetapi tidak terikat dengan rumusan-rumusan tersebut. Mereka merujuk langsung kepada sumber-sumber Islam utama, guna berijtihad dan menerapkan kembali sumber-sumber dimaksud pada kebutuhan-kebutuhan dan kondisi-kondisi kontemporer. Keempat, neomodernis yang membedakan secara tajam antara substansi dan bentuk, antara kaidah dan nilai-nilai wahyu dengan lembaga dan praktik yang terkondisikan oleh sejarah dan kemasyarakatan yang dapat dan harus diubah untuk memenuhi kondisi-kondisi kontemporer.[3]
Keempat gerakan tersebut, mempunyai banyak perbedaan, dan satu persamaan, yakni urgensitas tajīd diperlukan hari ini. Dimana saat ini kaum muslimin seakan gagap dan inferior di bawah hegemoni Barat. Maka tidak aneh kiranya, gerakan neomodernisme –dalam istilah John L. Esposito- seakan mengusung superioritas Barat dan inferioritas Islam, mem-Barat-kan Islam, bukan meng-Islam-kan Barat. Akibatnya, banyak nilai-nilai Islam, bahkan yang bersifat prinsipil dinafikan karena dianggap mengganggu kemajuan peradaban modern dan harus dibuang. Ide-ide seperti sekulerisme, liberalisme dan pluralisme yang marak belakangan ini tidak lebih merupakan bukti atas hal itu.
Oleh karena itu, perlu kiranya ada penjelasan konkret dan pemahaman proporsional mengenai hakikat tajdīd dalam Islam sebagai solusi atas respon zaman yang terus bergulir. Hal ini didasari atas kenyataan merebaknya kepentingan suatu peradaban (baca: Barat) menghancurkan peradaban Islam,[4] atau meminjam istilah Huntington yang disebut dengan Clash of Civilization (benturan peradaban).

PERKEMBANGAN PERADABAN PEMIKIRAN ISLAM

Minggu, 18 September 2011

DISKUSI BERSAMA DR ADIAN HUSAINI: “PERKEMBANGAN PERADABAN PEMIKIRAN ISLAM”
Kerusakan pemikiran Islam dapat ditemukan dengan mudah dimana saja, baik di kampus teknik, kampus pendidikan, bahkan di kampus Islami sekali pun. Dalam kasus ini Dr. Adian Husaini pernah melakukan beberapa kali riset dengan memberikan kuisioner kepada mahasiswanya untuk mengukur tingkat kerusakan pemikiran Islam dengan pengajuan beberapa angket pertanyaan, misalnya untuk pertanyaan yang berbunyi: “semua manusiaakan mendapatkan pahala dari Tuhan, selama dia percaya kepada Tuhan dan berbuat baik terhadap sesama manusia, apapun agamanya. Sebab, yang penting dalam agama adalah substansinya; bukan agama dan bentuk-bentuk formalnya saja” (a. SETUJU= 63%; b. TIDAK SETUJU= 37%). Pun dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang senada, tingkat kerusakan alur berfikir mahasiswa pun mengalami angka yang mencengangkan, selalu di atas 80%, bahkan pada beberapa soal ada yang mencapai 100%, seperti pada pernyataan-pernyataan yang menunjukkan bahwa semua agama adalah benar.
Kita terkadang terjebak dan tertipu manisnya kata, logisnya pemikiran (meskipun hanya dari pandangan tesis saja, tidak memuat pandangan antitesisnya), dan terpana dengan orang yang berkata. Itulah langkah-langkah yang dilakukan oleh kaum hermeneutis untuk legalisasi pemikiran sepilisnya (sepilis= sekularisme, pluralisme, liberalisme). Seperti nenek moyang kita, Nabi Adam AS dan Siti Hawa yang tertipu oleh bujuk rayu syetan untuk memakan buah yang diharamkan oleh Allah dengan rayuan bahwa Allah melarang Adam AS dan Siti Hawa memakan buah itu karena buah tersebut adalah buah keabadian yang dapat menyebabkan mereka berdua menjadi ada di surga selamanya bersama semua keturunannya tanpa pernah keluar dari surga, dan rupanya Adam AS dan Siti Hawa terkena ranjau manisnya kata syetan tersebut, fragmentasi kehidupan tersebut terekam secara abadi pada Q.S Al-An’am:112-113:
Copyright @ 2013 elfaakir 23. Designed by Templateism | MyBloggerLab

About Metro

Follow us on Facebook