LIBERALISME VERSUS AGAMA
Menyikapi Tarik Ulur RUU Pornografi
Daden Robi Rahman
Liberalisme pemikiran telah
memporakporandakan sendi-sendi kehidupan. Pemikiran yang tercemar dengan hawa
nasfu akan merusak tatanan moral masyarakat. Dasar liberalisme yang mengacu
kepada rasio, spekulasi filsafat dan memandang makna realitas dan kebenaran
dengan memakai kacamata sosial, kultural, empiris, dan rasional telah membuahkan
penolakan terhadap kebaikan dan kemaslahatan diri dan masyarakat.
Kasus pornografi yang kian marak
hari-hari ini menjadi parameter menjamurnya arus liberalisme pemikiran yang
berbuah dekadensi moral. Dengan landasan kebebasan tanpa batas dan hak asasi manusia
versi 'manusia' yang meruntuhkan kewajiban manusia, tidak sedikit yang menolak
tersahkannya RUU Pornografi.
Berdasar sensus, masyarakat
Indonesia merupakan pengonsumsi situs porno terbesar ketiga. Ironis memang,
sebagai negara yang identik dengan adat ketimuran dan bahkan penduduk muslim
terbesar di dunia menyandang gelar seperti itu. Tetapi kenyataan ini menunjukan
adanya indikasi konkrit bahwa negara muslim ini merupakan proyek besar arus
liberalisasi.
Ormas dan partai Islam yang
sangat bersemangat menggolkan RUU Pornografi menjadi alasan penting terjadinya
penolakan. Karena mereka –penolak- seakan mencium isu peraturan berbau
syari'ah. Hal tersebut terlihat ketika semangat yang tak kalah teriakannya dari
fraksi PDIP dan PDS di DPR yang notabene sebagai partai nasionalis sekuler dan
berbasis kristen menolak mentah-mentah RUU Pornografi.
Kedua, kondisi budaya 'telanjang' –baca: busana minim bahan-
telah sangat dinikmati oleh pengumbar dan penikmat shahwat syaithani.
Katakanlah para artis yang mengais rezeki dari memamerkan aurat, pelacur kelas
teri sampai kelas kakap yang selama ini seakan mendapat legitimasi karena
mendapat lokalisasi dan julukan PSK, 'penduduk' bali yang mendapat pemasukan
hebat dari turis dan wisatawan asing yang biasa dengan budaya 'telanjang',
sampai anggota legislatif yang sudah banyak terblow up media karena kasus
amoral seperti Yahya Zaeni, Max Muin, dan lain-lain.
Ketiga, sikap apriori bahkan anti pati terhadap agama sebagai
simbol pembangun moral yang secara perlahan merasuk jiwa masyarakat yang di
usung atheis berbaju agama dan pengusung kesetaraan pembebas kewajiban yang
sangat dikembang biakkan oleh berbagai kepentingan barat untuk merusak Islam
khususnya dan agama-agama umumnya.
Kemasan penolakan yang diusung
dengan dalih seni, kebebasan, dan hak asasi manusia tidaklah tepat. Dari mulai
agama, moral, fitrah asasi manusia, dan ketulusan jiwa mana yang mengijinkan
pornografi dan porno aksi. Semuanya hanya akan memposisikan manusia pada
derajat yang rendah, bahkan lebih rendah dari binatang, karena manusia
dikaruniai akal pikiran.
Islam tidak memonopoli larangan
pornografi, termasuk Yahudi, Nasrani, Hindu dan bahkan peradaban dulu
mengajarkan anti pornografi. Tetapi yang ironis, mengapa seakan umat Islam
Indonesia yang hanya memperjuangkan RUU Pornografi.
Dr. Huda Darwish dalam Hijab al-Mar'ah: Bayna al-Adyan wa al-‘Almaniyah menyebutkan bahwa pada masa Fir'aun, para wanitanya memelihara keindahan tubuhnya dengan mengenakan hijab –penutup tubuh- yang menutupi pundak, dada, lengan, dan rambut dengan al-barukah -wig- untuk menjaga dari sinar matahari. Bahkan menurut beliau, dalam ajaran budha diatur interaksi dengan wanita tanpa melihat mereka.
Dr. Huda Darwish dalam Hijab al-Mar'ah: Bayna al-Adyan wa al-‘Almaniyah menyebutkan bahwa pada masa Fir'aun, para wanitanya memelihara keindahan tubuhnya dengan mengenakan hijab –penutup tubuh- yang menutupi pundak, dada, lengan, dan rambut dengan al-barukah -wig- untuk menjaga dari sinar matahari. Bahkan menurut beliau, dalam ajaran budha diatur interaksi dengan wanita tanpa melihat mereka.
Abul A'la al-Maududi dalam al-Hijab
menyatakan bahwa perempuan Yunani memakai hijab yang menutupi
seluruh tubuhnya selain kedua matanya.
Abdul Maqshoud dalam al-Mar'ah
fi Jami‘i al-Adyan wa al-‘Ushur mengatakan bahwa arkeologi abad II SM
menjelaskan adanya prasasti yang menerangkan bahwa perempuan waktu itu menutup
kepalanya dan bahkan menunjukan adanya hukum yang memberi sangki perempuan tak
berhijab.
Dalam ajaran Yahudi pun tersurat hijab
bahkan niqab –penutup wajah-. Kejadian 24:65 menyatakan bahwa pengantin
perempuan mesti menutup wajahnya. Kejadian 24:64 menyebutkan kisah Ribka yang
menutup wajahnya dengan selendang ketika Ishak datang. Bilangan 13-15 bahwa
agama Yahudi melaknat laki-laki yang menyerupai pakaian perempuan.
Dalam ajaran Nasrani pun sama.
Paulus menyuruh perempuan Kristen harus menutup kepalanya demi malaikat
(Kejadian 24: 65, Bilangan 5: 18, Yesaya 6: 2, Matius 18: 1, dan Efesus 2: 10),
karena malaikat ikut ibadah dan belajar di gereja (Efesus 3: 10). Perempuan
Kristen harus menutup wajah mereka sebagai penghormatan dan ketundukan kepada
Tuhan. (Yesaya 6: 2). Bahkan melihat
perempuan dianggap telah zina dalam hati dan paulus melarang perempuan untuk
tidak berbicara di gereja. (Korintus 14: 34-36.
Sosiolog Max Weber mengingatkan bahwa sesungguhnya
tindakan manusia terbagi kepada dua; sejauh suatu tindakan melibatkan orang lain
maka itu sebenarnya yang disebut sebagai tindakan sosial, sejauh suatu tindakan
tidak melibatkan orang lain maka cukup tidak termasuk kategori sosial.
Persoalan kemudian sangat jarang sebuah tindakan tanpa melibatkan seorang yang
lain, kecuali tindakan berhadapan dengan benda-benda fisik-mati, sementara
perilaku manusia begitu sering terlibat dengan manusia lainnya sosio-interaksi.
Untuk itu Max Weber menegaskan bahwa tindakan yang bermakna subyektif adalah
tindakan sosial.
Tindakan melempar batu ke Sungai atau ke sebuah Gedung
misalnya, tidak lah termasuk tindakan sosial. Namun ketika lemparan batu itu
mengena orang yang sedang memancing ikan misalnya, maka seketika itu juga
tindakan menjadi nyata sosial. (Lihat George Ritzer; Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda, Raja Grafindo Persada; Jakarta 2003. hal 56).
Dalam pornografi, sebuah gambar atau tayangan video
yang mengeksploitasi aurat jelas merupakan tindakan sosial yang akan
meruntuhkan moral para penikmatnya. Gambar, video, dan lainnya yang
memperlihatkan aurat bukanlah masalah seni, tapi moral karena gambar
ataupun video tersebut mempengaruhi syahwat laki-laki yang melihatnya.
Kalaupun dikatakan respon syahwat laki-laki sangatlah relatif, tetapi
jelas gambar atau video yang dibuat sengaja berpose sensual mengundang birahi.
Bur Rasuanto, pengarang, doktor dalam Filsafat
Sosial Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika, mengatakan bahwa pengalaman
estetika dirumuskan dalam 3D: disinterestedness (tak berpamrih), detachment
(tak terserap), distance (berjarak - secara emosional). Melihat keindahan
ciptaan alam, orang akan mendapat pengalaman estetik, pengalaman yang tak
berpamrih apa-apa, tak terserap oleh obyek yang dihadapi, dan secara emosional
tetap berjarak. Yang sebaliknya terjadi apabila orang melihat gambar-gambar
erotis atau pornografi. Foto-foto erotik dan pornografi itu mengundang pamrih,
membuat orang terlibat dan terserap. ketelanjangan yang diekspresikan
pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari
(pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya).
Indonesia adalah negara yang sangat menjunjung moral
dengan ketimurannya, apalagi mayoritas penduduknya adalah muslim. Setiap
masyarakat di Indonesia mempunyai standar moral tersendiri yang berfungsi
melindungi dirinya ataupun masyakatnya. Erotisme para artis dalam gambar atau
video adalah bentuk perusakan standar moral yang ada, karena hal tersebut
merupakan isu global yang dihempaskan untuk meruntuhkan keutuhan negara ini,
khususnya kaum muslimin.
Jadi sekali lagi, pornografi bukanlah masalah seni
tapi pertaruhan moral, bukan estetika tapi etika karena mengeksploitasi
perempuan sebagai komoditas dan merendahkan martabat kaum perempuan.
Selanjutnya, karena masalah etika
dan moral, maka pornografi tidak dapat menggunakan pers untuk perlindungan
diri. Kebebasan pers bukan kebebasan subjektif yang berkaitan dengan etika
privat, melainkan kebebasan yang sifatnya politik berkaitan dengan etika
sosial. Jadi kebebasan pers tidak dapat dilepaskan dari keterikatan ruang
sosial bersama. Pers berkewajiban memberikan informasi kepada masyarakat dan
bersifat konstruktif bukan destruktif. Misalnya membongkar kasus pemerkosaan,
bukan menggambarkan secara sensasional bagaimana pemerkosaan itu berlangsung.
Pada akhirnya, keputusan
tersahkannya RUU Pornografi merupakan kebijakan arif dan tepat sebagai alat
untuk menyelamatkan kharisma dan moral bangsa. Tidak ada alasan apapun yang
dibenarkan oleh agama, seni, dan pers untu melegitimasi pornografi dan
pornoaksi.
Ponorogo, 04 Nopember 2008