Jejak Sophist di Era Modern dan Post Modern

Senin, 21 November 2011

Jejak Sophist di Era Modern dan Post Modern
Oleh: Kang Daden Robi Rahman

Sebagai sebuah nama, Sophist memang sudah selesai ketika memasuki era modern, bahkan ketika Barat berada pada zaman kegelapan (dark era) sudah tidak dikenal lagi istilah Sophist sebagai sebuah kelompok. Namun apa yang dilakukan oleh Sophist dengan pemikiran agnostic, relative dan skeptic–nya bisa kita lacak pada pemikiran-pemikiran filosof Barat dari zaman Socrates hingga abad postmodernisme sekarang. Hal tersebut terjadi karena adanya kesinambungan pemikiran filosof modern dan postmodern kepada pemikiran Plato dan Aristotle sebagai dua orang filosof yang dijadikan refrensi pemikiran filsafat barat secara keseluruhan. Sedangkan pemikiran Plato adalah buah dari pergemulannya dengan Socrates yang bersambung hingga Xenophanes seorang guru Sophist ternama. Dengan demikian Sophist memiliki peranan yang cukup penting bagi tumbuhnya filasafat Barat. Ibarat tanaman; Sophist adalah akar dan para filosof setelah mereka adalah cabang dan ranting-nya. Karena itu, tidak mustahil untuk menemukan pengaruh pemikiran Sophist dalam era Modernism dan postmodernisme, meski jarak tahun antara modernism, postmodernisme dengan Sophist terpaut ribuan tahun.

Barat modern adalah periode sejarah dalam peradaban Barat, yang persisnya terjadi saat kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada periode pencerahan, abad industry dan abad ilmu pengetahuan. Modernisme dihidupkan dengan semangat keilmuan (Scientific), yang diwarnai paham sekulerisasi, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dichotomis, desakralisasi, pragmatisme dan penafian kebenaran metafisis (Agama). Menurut J.W. Schoorl Modernisasi adalah penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktifitas, semua bidang kehidupan atau pada semua aspek kehidupan masyarakat.

Sedang Postmodernisme sendiri adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutan-nya. Gerakan ini lahir pada abad ke-19 dimana modernitas mulai dipertanyakan oleh gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip yang meragukan bahwa realitas memiliki struktur yang dapat difahami oleh manusia. Munculnya eksistensialisme dan filsafat analitik sebagai produk akal post-modern menggantikan sistim metafisika. Silverman menyatakan bahwa penutupan jalan pemikiran metafisika bertepatan dengan berakhirnya era modernisme.

Di zaman modern, Descartes (m. 1650) yang disebut sebagai “Bapak Filsafat Modern” oleh banyak sejarawan Barat, memformulasikan sebuah prinsip, aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Dimana dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Protagoras, Gorgias, Xenophanes, Heraclitus sebagai tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam pemikiran Sophist.

Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangatlah berpengaruh. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang dimunculkan David Humme yang skeptic. Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin, karena tidak bersandarkan kepada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetika-a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysical assertions are without epistemological value).

Epistemologi Barat modern-sekular semakin bergulir dengan munculnya filsafat dialektika Hegel (m. 1831), yang terpengaruh dengan Kant. Bagi Heggel, pengetahuan adalah on going process, dimana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau “dinegasi” oleh tahap baru. sehingga tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan.
Ludwig Feurbach (1804 – 1872), murid Hegel dan seorang teolog, merupakan salah seorang pelopor faham ateisme abad modern. Feurbach, seorang teolog, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia. Sekalipun agama (teologi) menyangkal, namun pada hakekatnya, agamalah yang menyembah manusia (Religion that worship man). Dengan demikian makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi (The true sense of Theology is Antropology). Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).

Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat; agama adalah “keluhan makhluk yang tertekan”, Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi. Selain itu, Marx memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dalam bidang sains, yang menyimpulkan Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal-mula sepesis (origin of species) bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “Adaptasi kepada lingkungan” (adaptation to the environment). Menurutnya lagi, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semua sepesis yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Sepesis menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam (natural conditions).

Faham ateisme juga berkembang dalam disiplin ilmu sosiologi. Auguste Comte, penemu istilah sosiologi, memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis, pertama, fase teologis, bisa juga disebut sebagai fase fiktif. Kedua, fase metafisik, bisa juga disebut sebagai fase abstrak. Ketiga, fase saintifik, bisa juga disebut sebagai fase positif. Kharasteristik dari setiap fase itu bertentangan antar satu dengan yang lain.

Dalam fase teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, yang menggantikan kekuatan ghaib. Dalam fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, atau entitas-entitas yang nyata, yang menggantikan kekuatan ghaib. Dalam fase positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang mutlak. Pendapat Comte, yang menolak agama, diikuti oleh para sosiolog yang lain seperti Emile Durkheim (m. 1917) dan Herbert Spencer. Agama, tegas Spencer, bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain.

Pemikiran ataestik-agnostik ikut bergema dalam disiplin psikologi. Sigmund Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk membimbing kearah ilmu pengetahuan.
Kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema di dalam filsafat. Di dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra, Friedrich Nietzsche (1844 – 1900) menulis: “God died, now we want the overman to live , (Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getötet! Tot sind alle Götter; nun wollen wir, dass der übermensch lebe.”) Dalam pandang Nietzsche, agama adalah ‘membuat lebih baik sesaat dan membiuskan’ (momentary amelioration and narcotizing). Bagi Nietzsche, agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Nietzsche menyatakan: “Seseorang tidak dapat mempercayai dogma-dogma agama dan metafisika ini jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat meraih kebenaran di dalam hati dan kepala seseorang.

Menegaskan perbedaan ruang lingkup antara agama dan ilmu pengetahuan, Nietzsche menyatakan; “Antara Agama dan sains yang betul, tidak terdapat keterkaitan, persahabatan, bahkan permusuhan: keduanya menetap di bintang yang berbeda” ketika Nietzsche mengkritik, ia merujuk secara lebih khusus kepada agama Kristen.
Para filosof pasca modernis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty sering menjadikan pemikiran Nietzsche sebagai rujukan. Jika Nietzsche mengumandangkan Gott is tot maka Jacques Derrida pada pertengahan abad ke-20 mendeklarasikan The author is died. Dalam periode ini (postmodernisme) jejak Sophist lebih terlihat lagi pada pandangan relativisme yang kebanyakan dianut oleh para ilmuan dan filosofnya. Yang kesemuanya itu jika dilacak adalah berakar pada pemikiran Xenaphones, Heraclitus, Protagoras, Gorgias serta tokoh-tokoh besar Sophist lainnya yang telah melempar ide tentang keraguan akan kemampuan manusia untuk mendapatkan kebenaran yang universal (absolute), sebagaimana Darrida tidak pernah yakin bahwa seseorang dapat menemukan kebenaran.

Demikianlah pengaruh Sophist telah begitu jelas terlihat dalam pemikiran tokoh-tokoh modernism dan postmodernisme. Pemikiran merekalah yang membentuk worldview Barat, yang kemudian melalui program westernisasi, sekulerisasi ataupun liberalisasi ditawarkan keseluruh peradaban yang mereka anggap sebagai peradaban barbaric dengan jalan misionarisme, orientalisme dan kolonialisme. Tujuan dari mereka adalah menghegomoni peradaban dunia dan menjadikan peradaban Barat sebagai peradaban seluruh dunia, setidaknya Negara-negara yang menjadi target westernisasi tersebut tidak mengganggu kepentingan Barat. Pemikiran Sophist dengan sendirinya tersebar dan mempengaruhi pemikiran mereka yang terkena target westernisasi (Westernized). Karena itu, tidaklah tertutup kemungkinan untuk melihat pengaruh Sophist dalam pemikiran Islam di Indonesia, terutama yang dibawa oleh kelompok Islam Liberal, yang akhir-akhir ini menjadi gerakan yang cukup meresahkan umat dengan statement-statement Sophistnya yang akan penulis ungkap dalam tulisan di bawah ini.

Copyright @ 2013 elfaakir 23. Designed by Templateism | MyBloggerLab