Oleh: Kang Daden Robi Rahman
Pendahuluan
Keberadaan filsafat sangat urgen dalam
memaksimalkan peran manusia sebagai khalifah di bumi. Filsafat sebagai simbol
berpikir mendalam dikenal pula dalam khazanah ilmu-ilmu Islam. Tulisan sederhana
ini akan mengurai dengan sederhana filsafat hukum islam, yakni ushul fikih,
dalam pandangan filsafat ilmu. Bagaimana ushul fikih bergerak dalam memproduksi
hukum syari’at? Apa sumber ilmu yang dipegangnya? Bagimana validitasnya dan
tingkat kebenaran ilmu tersebut? Seluruhnya akan dibahas secara ringan dalam
tulisan ini.
Gambaran Singkat Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu terdiri dari dua kata, yaitu filsafat
dan ilmu. Filsafat dalam bahasa Inggris disebut philosophy. Kata ini
berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang terdiri dari dua kata,
yakni philos yang berarti cinta, atau philia yang berarti
persahabatan, tertarik kepada, dan sophos yang berarti hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan intelegensi.[2]
Sophos yang berarti hikmah (kebijaksanaan). Sedangkan hikmah dalam
bahasa Arab, sebagaimana yang dijelaskan Ibn Mandzur dalam Lisān al-‘Arab,
adalah terhindar dari kerusakan dan kezaliman, karena hikmah adalah ilmu yang
sempurna dan manfaat. Sedangkan Fu’ad Iframi Bustani dalam Munjid
al-Thullāb, menyatakan bahwa hikmah secara etimologi adalah al-‘adl (menempatkan
sesuatu pada tempatnya), al-hilm (akal baligh/pemikiran yang sempurna),
dan al-falsafah.[3]
Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan , keadilan,
atau kebenaran (love of wisdom).
Pelaku
yang berfilsafat disebut filosof, yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.[4]
Adapun pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof,
sebagaimana dikutip Lorens Bagus dalam bukunya, Kamus Filsafat, adalah
sebagai berikut:
1. Upaya
spekulatif untk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang
seluruh realitas.
2. Upaya
untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata.
3. Upaya
untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan, baik sumbernya,
hakikatnya, keabsahannya, maupun nilainya.
4. Penyelidikan
kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan yang diajukan oleh berbagai
bidang pengetahuan.
5. Disiplin
ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk
mengatakan apa yang anda lihat.[5]
Sedangkan
pengertian filsafat secara terminologi, menurut Al-Farabi (w. 950 M),
sebagaimana dikutip Endang Saefuddin Anshari, adalah ilmu tentang alam yang maujud
dan bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya.[6]
Urgensi filsafat adalah niscaya, sebagaimana dijelaskan Ibn Rusyd (1126-1198 M)
filsafat sangat penting sekali dikaji oleh manusia sebagai makhluk yang
dikarunia akal. Dimana tujuan manusia berfilsafat adalah untuk menambah dan
memperkuat keimanan kepada Allah swt.,[7]
lewat pemberdayaan dan pengembangan akalnya yang proporsional. Hal ini senada
dengan firman Allah, “Dan Dia memperlihatkan tanda-tanda (kekuasaan-Nya)
agar kamu mengerti.”[8]
Pembahasan
filsafat sebagai ilmu dasar segala pengetahuan, sebagaimana dinyatakan Immanuel
Kant (1724-1804), mencakup kepada empat persoalan. Pertama, apa yang
dapat kita ketahui. Hal ini dapat dijawab oleh metafisika. Kedua, apakah
yang boleh kita kerjakan, yang dijawab oleh etika atau norma. Ketiga, sampai
manakah pengharapan kita, yang dijawab oleh agama. Dan yang keempat, apakah
yang dinamakan manusia, yang dijawab oleh antropolog.[9]
Sedangkan
pengertian ilmu secara terminologi berasal dari bahasa Arab dari kata ‘alima
ya’lamu ‘ilman wazan dari fa’ila yaf’alu yang berarti mengerti,
memahami dengan benar. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut science yang
berasal dari bahasa latin, scientia yang artinya pengetahuan (kata
benda) atau scire yang berarti mengetahui (kata kerja). Nama lain dari
ilmu (bahasa Arab), science (bahasa Inggris), scientia (bahasa
Latin), dalam bahasa Yunani disebut dengan episteme.[10]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, pengertian ilmu dijelaskan dengan
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.[11]
Ciri-ciri
utama ilmu perspektif terminologi, sebagaimana dijelaskan Lorens Bagus, ada
enam ciri. Pertama, ilmu adalah sebagian pengetahuan yang bersifat
koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Kedua, ilmu
menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek yang sama dan saling
berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematis adalah hakikat ilmu. Ketiga,
ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaaan dengan masing-masing
penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri
hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan. Keempat,
ide bahwa metode-metode yang berhasil dan hasil-hasil yang terbukti pada
dasarnya harus terbukabkepada semua pencari ilmu. Kelima, metodologis,yaitu
pengamatan dan berpikir metodis, tertata rapi. Keenam, Kesatuan setiap
ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Teori skolastik mengenai ilmu
membuat pembedaan antara objek material dan formal. Yang terdahulu adalah objek
konkret yang disimak ilmu. Sedangkan yang belakangan adalah aspek khusus atau
sudut pandang terhadap objek material.[12]
Dari
penjelasan singkat mengenai filsafat dan ilmu diatas, dapat disimpulkan bahwa
filsafat ilmu adalah kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu. Filsafat
ilmu dapat dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai
landasan filosofis ilmu pengetahuan. Pertama, sebagai disiplin ilmu,
filsafat ilmu meripakan cabang dari ilmu filsafat. Dengan demikian, filsafat
ilmu merupakan disiplin filsafat khusus yang mempelajari bidang khusus, yakni
ilmu pengetahuan. Maka mempelajari filsafat ilmu berarti mempelajari secara
filosofis berbagai hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan. Disini filsafat
ilmu dilihat secara teoritis, yang dimaksudkan untuk menjelaskan “apa”,
“bagaimana”, dan “untuk apa” ilmu pengetahuan itu. Tiga persoalan ini lazim
disebut dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu
pengetahuan.[13]
Oleh karena itu, filsafat ilmu sebagai disiplin ilmu perlu menjawab beberapa
persoalan berikut:
1. Pertanyaan
landasan ontologis yang meliputi; objek apa yang ditela’ah? Bagaimana
wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana korelasi antara objek tadi dengan
daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang
menghasilkan ilmu? Landasan ontologis ini merupakan dasar untuk
mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu.
2. Pertanyaan
landasan epistemologis yang meliputi pertanyaan; bagaimana proses
pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana
prosedur dan mekanismenya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut dengan kebenaran itu
sendiri? Apakah kriterianya? Apa saja cara, teknik, sarana yang dapat membantu
dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu?
3. Pertanyaan
landasan aksiologis yang meliputi pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut
dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek dan metode yang ditela’ah
berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana korelasi antara teknik prosedural
yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?[14]
Kedua,
filsafat ilmu sebagai landasan filosofis bagi ilmu
pengetahuan. Disini jelas filsafat ilmu lebih dilihat dalam hal fungsinya,
bahkan aplikasinya dalam kegiatan keilmuan. Sebagai landasan filosofis bagi
tegaknya suatu ilmu, maka mustahil para ilmuwan menafikan peran filsafat dalam
setiap kegiatan keilmuan.[15]
Gambaran Singkat Ushul Fikih
Ushul fikih terdiri dari dua suku kata, ushul dan
fikih. Ushul merupakan bentuk jama’ dari ashl yang berarti
apa-apa yang dibangun diatasnya yang lainnya, seperti akar yang bercabang
darinya ranting-ranting. Fikih secara etimologi adalah pemahaman. Sedangkan
secara terminologi adalah mengetahui hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah
dengan dalil-dalil yang terperinci.[16]
Sedangkan
ushul fikih secara terminologi adalah ilmu yang membahas dalil-dalil fikih yang
umum dan cara mengambil faidah darinya dan kondisi orang yang mengambil faidah.[17]
Dengan kata lain, ushul fikih merupakan kaidah-kaidah[18]
yang digunakan sebagai alat untuk merumuskan hukum-hukum syara’ dari
dalil-dalilnya.[19]
Oleh karena itu harus dibedakan antara fikih dan ushul fikih. Jika fikih
membahas hukum yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang terperinci
(Al-Qur’an dan al-Sunnah), maka ushul fikih adalah kaidah untuk menderivasi
hukum dari dalil yang bersifat umum. Dengan kata lain fikih adalah produk hukum
praktis, sedang ushul fikih merupakan perangkat teoritik atau metodologi dalam
menderivasi atau memproduk hukum.
Dalam
aplikasinya, ushul fikih yang tidak bisa dipisahkan dari fikih yang merupakan
ilmu yang diderivasi dari al-Qur’an al-Sunnah, adalah merupakan metodologi yang
merumuskan terwujudnya hukum syari’at dalam fiqih (ibadah praktis), dengan
menyandarkan sumber rujukan kebenaran hukum secara hirarkis dari mulai
Al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’,[20]
dan Qiyas[21]
sebagai adillah (petunjuk dalil) terlahirnya produk hukum yang tidak
keluar dari worldview Islam.
Di
dalam ushul fikih, seorang ahli ushul membahas masalah qiyas dan kekuatannya
sebagai dasar hukum, dalil umum dan yang membatasinya, serta perintah dan yang
bermakna perintah. Konkret aplikasi kerjanya kurang lebih seperti berikut.
Al-Qur’an adalah dalil syara’ yang pertama untuk semua hukum. Nash (dalil) yang
berhubungan dengan syara’ tidak selalu menggunakan satu bentuk saja.
Diantaranya berbentuk perintah, larangan, umum, atau mutlak. Semua bentuk
tersebut adalah masih berbentuk umum dari macam-macam dalil syara’ yang umum,
yakni al-Qur’an al-Karim.. Kemudian ahli ushul fikih membahas semua bentuk
tersebut untuk menentukan hukum yang bersifat umum dengan menggunakan metode
penelitian terhadap susunan bahasa Arab dan penggunaan hukum-hukum syara’. Jika
penelitian dan pembahasan itu telah sampai pada kesimpulan bahwa bentuk
perintah menunjukan kewajiban, bentuk larangan menunjukan keharaman, bentuk
umum menunjukan ketercakupan unsur umum secara pasti, dan bentuk mutlak
menunjukan ketetapan hukum tanpa batas, maka terbentuklah kaidah-kaidah ushul,
seperti “Asal di dalam perintah menunjukan wajib”, “Asal di dalam larangan
menunjukan haram”, Lapal yang umum menunjukan ketercakupan semua unsur yang
pasti”, dan lapal yang mutlak menunjukan ketetapan hukum dengan tanpa batas.”[22]
Ushul Fikih sebagai Filsafat Hukum Islam
Islam yang integral mempunyai hukum yang universal.
Universalitas hukum Islam syarat nilai dengan kepentingan Islam itu sendiri
sebagai agama tauhid yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia, dan manusia dengan seluruh ciptaan Allah yang ada di alam
semesta. Seluruhnya berorientasi kepada pembebasan penghambaan manusia kepada
manusia dan alam kepada penghambaan manusia kepada Allah swt. Oleh karena itu
sumber kebenaran di dalam Islam bukan ada pada manusia ataupun alam semesta,
tetapi ada pada wahyu dan akal yang mu’tabar, yang menyadari
keterbatasannya dan menyandarkannya kepada wahyu. Disinilah perbedaan mendasar
antara peradaban Islam dan Barat. Ada garis pemisah yang sangat kentara dalam
menjustifikasi sebuah kebenaran. Jika hukum Islam yang menjaga dan melindungi
masyarakat muslim bersumberkan kepada wahyu Al-Qur’an, al-Sunnah, akal,
pengalaman, dan intuisi, dengan pendekatan tawhidi. Berbeda dengan Barat yang
bersumberkan kepada rasio dan spekulasi filosofis, dengan pendekatan dikotomis.[23]
Hukum Islam yang terdisiplinkan dalam ilmu fikih yang
merupakan ilmu yang diderivasi dari Al-Qur’an dan al-Sunnah, membutuhkan
kerangka teoritik atau metodologi berpikir yang disebut dengan ushul fikih.
Ushul fikih begitu urgen kedudukannya dalam menderivasi hukum dan karena
itu fungsi dan perannya mirip logika dalam filsafat. Jika logika dapat
menghindarkan seseorang dari melakukan kesalahan dalam berargumentasi. Maka
ushul fikih mencegah seorang faqīh atau mujtahid dari berbuat salah
dalam menderivasi hukum.[24]
Sehingga para ‘Ulama menetapkan ushul fikih sebagai salah satu syarat yang
niscaya dimiliki seorang mujtahid.[25]
Sistematisasi ushul fiqih menjadi sebuah disiplin ilmu
dalam filsafat hukum Islam tidak terlepas dari peran imam Syafi’i (w. 204 H)
sebagai peletak dasar-dasar ilmu ini[26]
lewat mognum opus-nya yang dinamai dengan al-Risālah. Bahkan
Mohammad ‘Abid al-Jabiri menempatkan al-Syafi’i sebagai perumus nalar Islam. Ia
mengatakan bahwa di tangan Syafi’i, hukum-hukum bahasa Arab dijadikan acuan
untuk menafsirkan teks-teks suci, terutama hukum qiyas, dan dijadikan sebagai
salah satu sumber penalaran yang absah untuk memaknai persoalan-persoalan agama
dan kemasyarakatan. Maka dalam konteks ini yang dijadikan acuan utama adalah
nash (Al-Qur’an dan al-Sunnah). Imam al-Syafi’i sebagaimana dijelaskan
al-Jabiri, meletakkan al-ushūl al-bayāniyyah sebagai faktor penting
dalam aturan penafsiran wacana.[27]
Bahkan al-Jabiri menyamakan al-Syafi’i dengan Rene Descartes. Kalau Descartes
meletakkan dasar epistemologi Barat, maka al-Syafi’i meletakkan fondasi
pemikiran Islam.[28]
Sedangkan Fakhruddin al-Razi menyamakannya dengan Aristoteles dalam kemiripan
ushul fikih dengan logika.[29]
Maka
berpikir atau bernalar adalah berpikir dalam kerangka nash (Al-Qur’an dan
al-Sunnah), tetapi bukan berarti “terkungkung”, justru sebaliknya, terbebas dan
tersadarkan bahwa akal dalam bernalar mempunyai keterbatasan memproduksi hukum
itu benar atau salah. Bahkan ada juga yang menjustifikasi usaha Syafi’i dalam
mensistemisasi ushul fikih ini bukan hanya sekedar sistemisasi tapi juga
sebagai upaya rasionalisasi pemahaman terhadap hukum Islam.[30]
Ushul Fikih adalah disiplin ilmu yang memiliki prinsip-prinsip
epistemologi, bukan sekedar metodologi penderivasian hukum. Misalnya dalam
masalah qath’ī dan zhannī,[31]
mutawātir dan ahad, yang merupakan beberapa contoh yang sangat
kental muatan epistemologinya, sebab menyangkut persoalan sumber ilmu,
validitas ilmu, dan tingkat kebenaran ilmu. Secara epistemologis qath’ī berarti
pasti, yakin, dan tidak mengandung keraguan dan tidak mungkin dipertanyakan.
Berbeda dengan zhannī yang berkemungkinan salah dan benar, tidak pasti
seperti qath’ī. Untuk menentukan apakah ilmu tersebut qath’ī atau
zhannī tergantung pada sumber ilmu tersebut. Bila sumbernya qath’ī, maka
dengan sendirinya ilmu yang dihasilkan juga bersifat qath’ī (pasti dan
yakin). Dan begitu juga sebaliknya, bila sumbernya diragukan, maka ilmu yang
disandarkan kepadanya sudah tentu diragukan juga.[32]
Kalau menggunakan istilah al-Jabiri, ia menggunakan
konsep bayani dalam menjelaskan epistemologi ushul fikih imam
al-Syafi’i.[33]
Ia menyatakan bahwa imam al-Syafi’i telah menggariskan 5 tingkatan bayan terhadap
al-Qur’an. Pertama, bayan yang tidak memerlukan penjelasan. Kedua,
bayan yang beberapa bagiannya membutuhkan penjelasan al-Sunnah. Ketiga,
bayan yang keseluruhannya bersifat umum dan membutuhkan penjelasan
al-Sunnah. Keempat, bayan yang terdapat dalam al-Qur’an, namun terdapat
pula dalam al-Sunnah. Kelima, bayan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an
ataupun al-Sunnah. Poin kelima inilah yang kemudian memunculkan qiyas sebagai
metode ijtihad. Dari lima tingkatan bayan tersebut, imam al-Syafi’i
merumuskan dasar pokok agama, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan qiyas.[34]
Dalam karya monumentalnya, al-Risālah, al-Syafi’i dengan jelas
menyatakan, “Tak ada seorang pun yang boleh mengatakan sesuatu itu halal atau
haram kecuali dengan ilmu. Dan ilmu itu diperoleh melalui khabar yang ada di
dalam al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.”[35]
Format
hirarkis sumber ilmu dan kebenaran tersebut telah memberikan pengaruh yang
cukup besar dalam sejarah pemikiran Islam. Terbukti dalam rentangan sejarah, format
hirarkis tersebut tidak menuai protes, kritik, dan gugatan, kecuali hal
tersebut terjadi sekarang setelah merebaknya globalisasi yang esensinya
westernisasi, yang memaksa kaum muslimin untuk serta merta mengikuti
konsep-konsep Barat, termasuk dalam berpikir. Hal ini pun dibenarkan pula oleh
‘ulama setelah al-Syafi’i, seperti al-Ghazali yang menyatakan bahwa dalil-dalil
hukum itu adalah Al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijma’.[36]
Hirarki sumber hukum tersebut diatas merupakan konsep
referensi teratur dalam naungan worldview Islam yang melihat kebenaran
secara proporsional, begitu juga dengan menempatkan posisi akal pada tempatnya,
tanpa harus diagungkan melebihi wahyu, ataupun dikucilkan. Justifikasi
kebenaran hirarki sumber hukum tersebut diatas merupakan gambaran dari riwayat naqli,
yakni hadits Rasulullah saw. ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman
untuk menjadi qādhī disana.
“...Bahwa
Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman bertanya: “ Dengan cara
apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu suatu perkara? Mu’ādz
menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi
bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah?
Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak menemukan dalam
Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan menggunakan
ijtihād dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai
Rasūlullāh.”[37]
Kemudian seorang imam madzhab fikih yang dikenal
dengan ahl al-ra’y (ahli logika), Abu Hanifah, meskipun dikenal dengan
kepiawaiannya dalam berlogika, tetapi ia bukan seorang yang mengedepankan akal
atas nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Terbukti Abu Hanifah pernah menulis surat
kepada Khalifah al-Mansur untuk menolak tuduhan orang tentang kecenderungannya
menggunakan akal. Ia menulis: “.. Ceritanya bukan seperti yang sampai kepadamu
ya amīr al-mukminīn. Aku berbuat sesuai dengan Kitab Allah, Sunnah
Rasulullah saw, keputusan yang dibuat oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, dan ‘Ali
ra., serta sahabat-sahabat yang lain. Aku melakukan qiyas, jika aku
mendapati mereka berbeda pendapat.”[38]
Jelas hal ini menunjukan bahwa imam Abu Hanifah mengikuti hirarki otoritas
dalam epistemologi Islam.
Dengan konsep dan sumber hukum Islam yang khas, akan
menafikan adanya penyimpangan dan kesalahan dalam memproduksi hukum. Segala
jenis ilmu dari berbagai sumber referensi ilmu, baik al-Sunnah, pengalaman,
akal, atau intuisi disesuaikan dengan standar al-Qur’an. Oleh karena al-Qur’an
tidak ada persinggungan sedikit pun di dalamnya, baik isi lapad atau pun
maknanya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Maka tidaklah mereka menghayati
Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an ini bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan
banyak hal yang bertentangan di dalamnya.”[39]
Maka dalam menyeleksi tafsir ataupun istinbat (derivasi) hukum pun
disesuaikan dengan al-Qur’an.
Kesimpulan dan Penutup
Ushul fikih sebagai filsafat hukum Islam mempunyai
ciri khas tersendiri dalam menderivasi hukum syari’at. Kekhasan tersebut dapat
dilihat dari kaca mata filsafat ilmu, dimana ushul fikih kental dengan muatan
epistemologinya. Di dalam ushul fikih dibahas persoalan sumber ilmu, validitas
ilmu, dan tingkat kebenaran ilmu. Seluruhnya membentuk sebuah produk hukum yang
universal dengan pijakan sumber hukum universal pula. Dimana dalam hirarki
sumber dan referensi hukum didasarkan pada wahyu al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’,
dan Qiyas. Standar kebenaran utama ada pada wahyu al-Qur’an dengan
keuniversalannya dan prinsip umum yang dimilikinya. Dengan kata lain, apa yang
terkandung dalam al-Sunnah, pengalaman, akal, atau pun intuisi, akan diseleksi
kebenarannya dengan disesuaikan dengan garis-garis besar yang dituangkan dalam
Al-Qur’an.
Khususnya tentang kebebasan akal dan logika, filsafat
hukum Islam menempatkannya secara proporsional. Dimana akal dengan potensi
luarbiasa dibebaskan untuk berkarya dan berpikir dalam penderivasian hukum
dengan naungan dan sinaran wahyu. Oleh karena itu, tidak akan terjadi
pengagungan akal, bahkan sampai menuhankannya, ataupun mendiskreditkannya untuk
di “kerangkeng” untuk tidak berinisiatif dan jumud. Kemajuan dan tantangan
zaman yang berkembang akan menuntut mobilisasi akal dalam merespon dan memberi
solusi atas berbagai tantangan tersebut dengan ijtihad-ijtihad yang digariskan
ushul fikih, tanpa harus menanggalkan kekuatan iman. Wallāhu a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-nawawi,
Abu Zakariyya Muhy al-Din ibn Syarf, Tahdzīd al-Asmā wa al-Lughāt, Mesir:
Idīrah al-Thibā’ah al-Muniriyyah, t.th.
Abu
Dāwud, Sunan Abi Dāwud, jilid 2
Bakhtiar,
Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
__________________,
Filsafat Agama, Jakarta: Logos, 1997
Salam,
Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988
Anshari,
Endang Saefuddin, Ilmu, Filsafat, dan Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1987
Al-Razi,
Fakhr al-Din, iManāqib al-Imām al-Syāfi’ī, Beirut: Dār al-Jil, 1993
Bustani,
Fu’ad Iframi, Munjid al-Thullāb, Beirut: Dār al-Masyriq, 1996
Zarkasyi,
Hamid Fahmi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis, dan Kolonialis, Ponorogo: CIOS-ISID-Gontor, 2008
Al-Asnawi,
Jamal al-Dīn ‘Abd al-Rahīm ibn al-Hasan, Nihāyah al-Suwl fī Syarh Minhāj
al-Ushūl li al-Qādhi Bāshir al-Dīn al-Baidhāwī, Beirut: ‘Alam al-Kutub,
t.th.
Suriasumantri,
Jujun S., Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001
___________________________,
Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1998
Bagus,
Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996
Al-Jabiri,
Mohammad ‘Abid, Bunyah al-Aql al-‘Arabī, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi
al-‘Arabi, 1993
Muslih,
Muhammad, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2008
Al-‘Utsaimin,
Muhammad ibn Shalih, al-Ushūl min ‘Ilm al-Ushūl, terjemah Abu Shilah dan
Ummu Shilah, “Prinsip Ilmu Ushul Fiqih”, Tholib, 2007
Biek,
Muhammad al-Khudhari, Ushūl al-Fiqh, terjemah Faiz Muttaqin, “Ushul
Fikih”, Jakarta: Pustaka Amani, 2007
Al-Syafi’i,
Muhammad ibn Idris, Al-Risālah, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Syafrin,
Nirwan, “Konstruk Epistemologi Islam; Tela’ah Bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh”
dalam jurnal ISLAMIA, thn II, no. 5, April-Juni 2005
Al-Nasysyār,
‘Ali Sāmī, Manāhij al-Bahts ‘Inda Mufakkir al-Islām, Kairo: Dār al-Ma’ārif,
1966
‘Abd
al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, terjemah Faiz Muttaqin, “ Ilmu
Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003
Al-Qarādhāwī,
Yusuf, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt Tahlīliyyah fī
al-Ijtihād al-Mu’āshir, Kuwait: Dār al-Qalam, al-Thab’ah al-Ūlā, 1996
Al-‘Ulwani,
Thaha Jabir, Ushul al-Fiqh
Admojo.
Wihadi, et.al., Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998
Mahmashānī,
Sobhī, Falsafah al-Tasyrī’ fī al-Islām, terjemah Ahmad Sudjono,
“Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1976
al-Ghazālī,
Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad, al-Mustashfā min ‘ilm al-Ushūl, jilid
2, Dār al-Fikr, t.th.
[1]
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah “Filsafat Ilmu” di Program
Pasca Sarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo
[6]
Endang Saefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1987, cet. VII, hal. 83
[9]
Lihat Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2001, cet. XV, hal. 2
[10]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998, cet I, hal. 32
[13]
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2008, cet. V, hal. 36
[14]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998, cet I, hal. 33
[15]
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2008, cet. V, hal. 36
[16]
‘Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, terjemah Faiz Muttaqin, “
Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003, hal. 1. Muhammad ibn Shalih
al-‘Utsaimin, al-Ushūl min ‘Ilm al-Ushūl, terjemah Abu Shilah dan Ummu
Shilah, “Prinsip Ilmu Ushul Fiqih”, Tholib, 2007, hal. 2-3
[17]
Jamal al-Dīn ‘Abd al-Rahīm ibn al-Hasan al-Asnawi, Nihāyah al-Suwl fī Syarh
Minhāj al-Ushūl li al-Qādhi Bāshir al-Dīn al-Baidhāwī, Beirut: ‘Alam al-Kutub,
t.th., cet V, hal. 5. Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushūl min ‘Ilm
al-Ushūl, terjemah Abu Shilah dan Ummu Shilah, “Prinsip Ilmu Ushul Fiqih”,
Tholib, 2007, hal. 4
[18]
Kaidah adalah rumusan umum yang mencakup bagian-bagiannya ketika menyelidiki
hukum-hukumnya, seperti kaidah “Asal di dalam perintah menunjukan wajib”, “Asal
di dalam larangan menunjukan haram,” dan lain-lain
[19]
Muhammad al-Khudhari Biek, Ushūl al-Fiqh, terjemah Faiz Muttaqin, “Ushul
Fikih”, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hal. 18
[20] Ijma’
adalah suatu kesepakatan dan kesatuan pendapat para mujtahid muslim dalam
segala zaman mengenai suatu ketentuan hukum syari’at. Lihat Sobhī Mahmashānī, Falsafah
al-Tasyrī’ fī al-Islām, terjemah Ahmad Sudjono, “Filsafat Hukum Dalam
Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1976, hal. 162
[21] Qiyas
adalah menetapkan ketentuan hukum yang serupa pada yang lain karena adanya
persamaan alasan hukum diantara keduanya pada saat penetapan. Lihat Sobhī
Mahmashānī, Falsafah al-Tasyrī’ fī al-Islām, terjemah Ahmad Sudjono,
“Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1976, hal. 162
[22]
‘Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, terjemah Faiz Muttaqin, “
Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003, hal. 3
[23]
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama
Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, Ponorogo: CIOS-ISID-Gontor,
2008, hal. 20
[24]
‘Ali Sāmī al-Nasysyār, Manāhij al-Bahts ‘Inda Mufakkir al-Islām, Kairo:
Dār al-Ma’ārif, 1966, hal. 64-65
[25]
Lihat Yusuf al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a
Nazharāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’āshir, Kuwait: Dār al-Qalam,
al-Thab’ah al-Ūlā, 1996, hal. 15-49
[26]
Abu Zakariyya Muhy al-Din ibn Syarf al-nawawi, Tahdzīd al-Asmā wa al-Lughāt,
Mesir: Idīrah al-Thibā’ah al-Muniriyyah, t.th., jilid 1, hal. 49
[27]
Mohammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-‘Arabī, Beirut: al-Markaz
al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993, hal. 15
[28]
Nirwan Syafrin, “Konstruk Epistemologi Islam; Tela’ah Bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh”
dalam jurnal ISLAMIA, thn II, no. 5, April-Juni 2005, hal. 38
[29]
Fakhr al-Din al-Razi, iManāqib al-Imām al-Syāfi’ī, Beirut: Dār al-Ji;, 1993,
hal. 146 dalam Nirwan Syafrin, “Konstruk Epistemologi Islam; Tela’ah Bidang
Fiqh dan Ushul al-Fiqh” dalam jurnal ISLAMIA, thn II, no. 5, April-Juni
2005, hal. 38
[31] Qath’ī
al-Tsubūt artinya nash (teks) yang dipastikan sumbernya dari Allah SWT.
Teks al-Qur’an yang kita baca sekarang sama dengan nash yang diturunkan kepada
rasul-Nya SAW., tanpa mengalami perubahan sedikit pun karena diwariskan secara
mutawatir (terjamin) dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dari segi
indikasinya terhadap hukum, ayat Al-Qur’an dibagi atas dua klasifikasi. Pertama,
Qath’ī al-Dilālah, yaitu teks yang berindikasi hanya satu pengertian, tidak
mungkin diberi interpretasi lain dari makna harfiahnya. Contohnya ayat-ayat
yang menerangkan hukum waris yang menjelaskan bahwa bagian suami yang tidak
punya anak adalah separo dari warisan, bagian anak laki-laki dua kali bagian
anak perempuan, hukum hudūd, dan yang lainnya. Kedua, Zhannī al-
Dilālah, yaitu nash yang menunjukan satu makna, tapi mungkin ditakwil untuk
makna yang lainnya. Contohnya kata quru’ dalam Al-Qur’an, dalam bahasa
arab berarti haid atau bersih. Sebagian ‘ulama memaknai haid, yang lainnya
memaknai bersih. Meskipun maknanya bisa lebih dari satu, tapi maksud dan
tujuannya sama. Lihat penjelasan Daud Rasyid dalam Pembaruan Islam dan
Orientalisme dalam Sorotan, Bandung: Syamil, 2006, hal. 103-104. Sedangkan
dalam hadits, ada yang Qath’i al-Tsubut, yaitu yang mutawatir (banyak
periwayat dalam setiap thabaqat), ada juga yang zhanni al-tsubut, yaitu
yang ahad.
[32]
Nirwan Syafrin, “Konstruk Epistemologi Islam; Tela’ah Bidang Fiqh dan Ushul
al-Fiqh” dalam jurnal ISLAMIA, thn II, no. 5, April-Juni 2005, hal. 38
[33]
Menurut ‘Abid al-Jabiri, kajian bayani terbagi kepada dua, yaitu:
aturan-aturan penafsiran wacana dan syarat-syarat memproduksi makna.
[34]
Mohammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-‘Arabī, Beirut: al-Markaz
al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993, hal. 22-23 dalam Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu;
Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta:
Belukar, 2008, cet. V, hal. 182-183
[35]
Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Al-Risālah, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir,
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th., hal. 39 dan 508
[36]
Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā min ‘ilm
al-Ushūl, jilid 2, Dār al-Fikr, t.th., hal. 36
[38]
Thaha Jabir al-‘Ulwani, Ushul al-Fiqh, hal. 77 dalam Nirwan Syafrin,
“Konstruk Epistemologi Islam; Tela’ah Bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh” dalam
jurnal ISLAMIA, thn II, no. 5, April-Juni 2005, hal. 41