Andai Aku Seorang Putra Keraton

Sabtu, 22 Oktober 2011

Andai Aku Seorang Putra Keraton

Menjadi seorang putra keraton tentulah merupakan sebuah nasib yang sangat beruntung karena semua orang akan melihat kedudukan tersebut dan mengelu-elukan kehadirannya di tengah-tengah mereka. Bahkan tidak sedikit orang biasa yang tidak punya darah kerajaan mengharapkan untuk juga bisa menjadi bagian dari keluarga keraton, yaitu menjadi menantu bagi sang raja. Karena hanya dengan cara itu saja dirinya bisa mendapatkan kehormatan seperti keluarga keraton yang lainnya. Tapi sayang, tidak semua orang dapat menjadi salah satu bagian dari keluarga keraton; raja terlalu selektif untuk memilih calon menantu yang akan menjadi bagian dari keluarga keraton, sehingga tetap saja rakyat jelata adalah rakyat jelata yang tidak mungkin bisa menjadi bagian dari keluarga keraton; sistem feodalisme turun-temurun yang selalu dipertahankan dengan alih-alih tradisi sehingga menjadi pedang bermata dua: menghapuskan harapan rakyat jelata untuk menjadi bagian dari keluarga keraton dan mengukuhkan keraton sebagai pusat dari sumber kehormatan kharismatik dari segala kehormatan, bahkan sapi milik keraton saja sampai diperlakukan layaknya dewa saking tingginya penghormatan rakyat kepada keraton.
Pernikahan putra keraton menjadi hal yang begitu istimewa, sakral, dan penuh nilai-nilai glamour untuk menandakan: ‘yang sedang menikah adalah orang terhormat’, bahkan tamu-tamunya pun adalah orang terhormat, tamu rakyat jelata hanya berada di belakang saja, tidak bisa ikut duduk bersama dengan tamu-tamu terhormat dalam satu barisan kursi tamu undangan. Tamu terhormat pun mempunyai beragam latar belakang, dari mulai sanak saudara keraton, pengusaha-pengusaha sukses, raja-raja dari kerajaan lain bahkan sampai pejabat-pejabat tinggi negara ikut menjadi tamu undangan pernikahan putra keraton. Sungguh sebuah pernikahan yang hebat. Sehingga KPK pun harus turun tangan menangani angpau yang bersebaran masuk kantong keraton pada hari itu dengan dalih: khawatir ada indikasi gratifikasi. Tapi rakyat kecil tidaklah banyak masalah, mereka juga ikut hanyut dalam euforia pesta pernikahan, dan ikut berbahagia atas pernikahan dua mempelai yang keduanya berasal dari keluarga keraton atau kerajaan juga, dengan harapan tradisi leluhur turun-temurun dapat tetap bertahan di tengah derasnya arus modernisme.

Pun dengan kesibukan mempelai, namanya saja pernikahan antar kerajaan atau kekeratonan. Tentunya segala hal harus dipersiapkan secara maksimal dan terperinci untuk menjaga kehormatan nama keraton masing-masing. Beragam tradisi pra-pernikahan sampai pasca pernikahan pun dijalankan oleh kedua mempelai bak ritual suci yang tidak boleh terjadi kesalahan sedikitpun. Hal tersebut ditujukan untuk menjaga kelangsungan bahtera rumah tangga yang akan mereka lalui bersama mulai setelah resminya menjadi suami-istri dan keluarga baru kerajaan sehidup semati dalam harmoni rumah tangga yang hakiki membawa nama kehormatan masing-masing keraton untuk kehormatan keturunannya kelak, sehingga nama mutlak yang pasti menjadi nama depan anak pun sudah dapat dipastikan mengandung gelar kehormatan seperti: raden mas, sultan, ataupun sri ayu.
Menjadi terhormat sepertinya sudah menjadi takdir absolut bagi setiap keluarga kerajaan, pun dengan menantu dan besannya. Tapi yang harus menjadi fokus dari sebuah pernikahan adalah apakah pernikahan tersebut dapat membawa mereka menjadi kelurga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah yang terlingkupi didalamnya nilai-nilai suci Islam yang terbebas dari kemusyrikan dan perbid’ahan lainnya yang merusak nilai suci agama Islam? Apakah melalui pernikahan tersebut, kedua mempelai dapat mengayomi orang lain yang tidak bernasib baik sebaik nasib mereka sebagai keluarga yang terhormat? Sungguh naas jika upacara sakral pernikahan tersebut jika hanya menjadi upacara penegasan kehormatan personal milik kerajaan ataupun keraton secara feodal tanpa memberikan manfaat lebih bagi rakyat jelata di sekitarnya tanpa memeprhatikan kelas sosial antara keluarga kerajaan dengan grassroot.
Pernikahan adalah gerbang awal dari pembentukan sebuah keluarga yang pada nantinya diharapkan menjadi langkah awal bagi terbentuknya negeri yang madani. Sehingga faktor sakinah, mawaddah, wa rahmah menjadi syarat minimal untuk terbentuknya miniatur sebuah pemerintahan yang Islami. Melalui pernikahan, ikatan suci ikhwan dan akhwat diikrarkan disaksikan oleh banyak orang sebagai ikrar suci yang mulia dan hakiki untuk membina sebuah keluarga yang berorientasi ukhrawi dan menjadi keluarga teladan yang menginspirasi bagi keluarga lain untuk juga ikut berperan aktif membangun negeri yang Islami.
Latar belakang keluarga memang menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam sebuah pernikahan agar ‘bibit dan bobot’ calon mempelai dapat diketahui secara jelas asal-usulnya, tapi yang paling penting dan harus diperhatikan adalah agamanya, apakah dia seorang yang taat dalam beragama atau tidak, karena untuk membina keluarga yang berorientasi ukhrawi tentulah harus diawali dari kedua calon yang sama-sama memahami agama dengan sempurna atau minimalnya mau untuk bersama-sama mempelajari agama secara bersama, saling menutupi antar kekurangan mereka masing-masing. Karena untuk orang tua akan menjadi contoh utama bagi anak-anaknya kelak, jika orang tua mengharapkan punya anak yang sholeh dan sholehah, tentunya hal tersebut harus dimulai dari diri mereka masing-masing sebelum membina anak-anak mereka untuk menjadi anak yang sholeh-sholehah.
Prosesi pernikahan pun tidaklah harus menunjukan kehebatan masing-masing keluarga dengan tingkat kemewahan yang sangat tinggi. Karena yang paling penting adalah prosesi pernikahan tersebut adalah syar’i dan sah, untuk masalah prosesi pernikahan juga dibenarkan, dengan syarat tidak menyiratkan hura-hura disaat orang disekitar kita melarat kelaparan dan juga tidak menjadi sebuah ironi di saat prosesi pernikahan tampil maksimal dengan segala kemewahannya karena mengandalkan sumbangan dari orang tua, tapi setelah menikah menjadi keluarga yang tidak mandiri dan selalu meminta bantuan ke orang tua. Bahkan para shahabat pun banyak yang menikha hanya dengan ber-mas kawin-kan cincin dari besi ataupun hafalan Al-Quran saja, itu sangat sederhana, tapi meskipun sederhana, mereka mampu membangun generasi-generasi yang kuat dan mampu membawa Islam pada puncak kejayaannya. Prosesi pernikahan cukuplah dilaksanakan secara sedang-sedang saja, tidak terlalu minimalis dan tidak pula terlalu glamour untuk menjaga iffah masing-masing keluarga di mata Allah dan orang lain yang menyaksikan pernikahan tersebut.
Jika aku seorang putra keraton, sepertinya ingin ku katakan seperti apa yang telah dikatakan Nara Shikamaru dalam salah satu episode pada anime Naruto: “jika aku menikah nanti, aku tidak menginginkan istri yang istimewa, cukup yang sederhana saja, dengan pernikahan yang sederhana, cukup mempunyai dua anak saja, laki-laki dan perempuan dalam keluarga yang sederhana, dan aku bisa bermain shogi bersama mereka, aku bisa bertemu mereka setiap hari untuk membina mereka menjadi lebih baik dari pada aku, dan aku akan menikmati hari tuaku dengan damai, tanpa peperangan”. Cukuplah kesederhanaan menjadi awal dari sebuah perubahan, tinggalkan glamouritas, lepaskan jubah kesombongan, dan hiduplah dalam kesederhanaan yang menginspirasi banyak pihak untuk bersama membangun peradaban yang madani dan Islami. (elfaakir 23)

*euforia dan angan saat menikmati berita pernikahan putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X

Copyright @ 2013 elfaakir 23. Designed by Templateism | MyBloggerLab

About Metro

Follow us on Facebook