Andai Aku
Seorang Putra Keraton
Menjadi seorang putra
keraton tentulah merupakan sebuah nasib yang sangat beruntung karena semua
orang akan melihat kedudukan tersebut dan mengelu-elukan kehadirannya di
tengah-tengah mereka. Bahkan tidak sedikit orang biasa yang tidak punya darah
kerajaan mengharapkan untuk juga bisa menjadi bagian dari keluarga keraton,
yaitu menjadi menantu bagi sang raja. Karena hanya dengan cara itu saja dirinya
bisa mendapatkan kehormatan seperti keluarga keraton yang lainnya. Tapi sayang,
tidak semua orang dapat menjadi salah satu bagian dari keluarga keraton; raja
terlalu selektif untuk memilih calon menantu yang akan menjadi bagian dari
keluarga keraton, sehingga tetap saja rakyat jelata adalah rakyat jelata yang
tidak mungkin bisa menjadi bagian dari keluarga keraton; sistem feodalisme
turun-temurun yang selalu dipertahankan dengan alih-alih tradisi sehingga
menjadi pedang bermata dua: menghapuskan harapan rakyat jelata untuk menjadi
bagian dari keluarga keraton dan mengukuhkan keraton sebagai pusat dari sumber
kehormatan kharismatik dari segala kehormatan, bahkan sapi milik keraton saja
sampai diperlakukan layaknya dewa saking tingginya penghormatan rakyat kepada
keraton.
Pernikahan putra keraton
menjadi hal yang begitu istimewa, sakral, dan penuh nilai-nilai glamour untuk
menandakan: ‘yang sedang menikah adalah orang terhormat’, bahkan tamu-tamunya
pun adalah orang terhormat, tamu rakyat jelata hanya berada di belakang saja,
tidak bisa ikut duduk bersama dengan tamu-tamu terhormat dalam satu barisan
kursi tamu undangan. Tamu terhormat pun mempunyai beragam latar belakang, dari
mulai sanak saudara keraton, pengusaha-pengusaha sukses, raja-raja dari
kerajaan lain bahkan sampai pejabat-pejabat tinggi negara ikut menjadi tamu
undangan pernikahan putra keraton. Sungguh sebuah pernikahan yang hebat.
Sehingga KPK pun harus turun tangan menangani angpau yang bersebaran masuk
kantong keraton pada hari itu dengan dalih: khawatir ada indikasi gratifikasi.
Tapi rakyat kecil tidaklah banyak masalah, mereka juga ikut hanyut dalam
euforia pesta pernikahan, dan ikut berbahagia atas pernikahan dua mempelai yang
keduanya berasal dari keluarga keraton atau kerajaan juga, dengan harapan
tradisi leluhur turun-temurun dapat tetap bertahan di tengah derasnya arus
modernisme.
Pun dengan kesibukan
mempelai, namanya saja pernikahan antar kerajaan atau kekeratonan. Tentunya
segala hal harus dipersiapkan secara maksimal dan terperinci untuk menjaga
kehormatan nama keraton masing-masing. Beragam tradisi pra-pernikahan sampai
pasca pernikahan pun dijalankan oleh kedua mempelai bak ritual suci yang tidak
boleh terjadi kesalahan sedikitpun. Hal tersebut ditujukan untuk menjaga
kelangsungan bahtera rumah tangga yang akan mereka lalui bersama mulai setelah
resminya menjadi suami-istri dan keluarga baru kerajaan sehidup semati dalam
harmoni rumah tangga yang hakiki membawa nama kehormatan masing-masing keraton
untuk kehormatan keturunannya kelak, sehingga nama mutlak yang pasti menjadi
nama depan anak pun sudah dapat dipastikan mengandung gelar kehormatan seperti:
raden mas, sultan, ataupun sri ayu.
Menjadi terhormat
sepertinya sudah menjadi takdir absolut bagi setiap keluarga kerajaan, pun
dengan menantu dan besannya. Tapi yang harus menjadi fokus dari sebuah
pernikahan adalah apakah pernikahan tersebut dapat membawa mereka menjadi
kelurga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah yang terlingkupi didalamnya
nilai-nilai suci Islam yang terbebas dari kemusyrikan dan perbid’ahan lainnya
yang merusak nilai suci agama Islam? Apakah melalui pernikahan tersebut, kedua
mempelai dapat mengayomi orang lain yang tidak bernasib baik sebaik nasib
mereka sebagai keluarga yang terhormat? Sungguh naas jika upacara sakral
pernikahan tersebut jika hanya menjadi upacara penegasan kehormatan personal milik
kerajaan ataupun keraton secara feodal tanpa memberikan manfaat lebih bagi
rakyat jelata di sekitarnya tanpa memeprhatikan kelas sosial antara keluarga
kerajaan dengan grassroot.
Pernikahan adalah
gerbang awal dari pembentukan sebuah keluarga yang pada nantinya diharapkan
menjadi langkah awal bagi terbentuknya negeri yang madani. Sehingga faktor
sakinah, mawaddah, wa rahmah menjadi syarat minimal untuk terbentuknya miniatur
sebuah pemerintahan yang Islami. Melalui pernikahan, ikatan suci ikhwan dan akhwat
diikrarkan disaksikan oleh banyak orang sebagai ikrar suci yang mulia dan
hakiki untuk membina sebuah keluarga yang berorientasi ukhrawi dan menjadi
keluarga teladan yang menginspirasi bagi keluarga lain untuk juga ikut berperan
aktif membangun negeri yang Islami.
Latar belakang keluarga
memang menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam sebuah
pernikahan agar ‘bibit dan bobot’ calon mempelai dapat diketahui secara jelas
asal-usulnya, tapi yang paling penting dan harus diperhatikan adalah agamanya,
apakah dia seorang yang taat dalam beragama atau tidak, karena untuk membina
keluarga yang berorientasi ukhrawi tentulah harus diawali dari kedua calon yang
sama-sama memahami agama dengan sempurna atau minimalnya mau untuk bersama-sama
mempelajari agama secara bersama, saling menutupi antar kekurangan mereka
masing-masing. Karena untuk orang tua akan menjadi contoh utama bagi
anak-anaknya kelak, jika orang tua mengharapkan punya anak yang sholeh dan
sholehah, tentunya hal tersebut harus dimulai dari diri mereka masing-masing
sebelum membina anak-anak mereka untuk menjadi anak yang sholeh-sholehah.
Prosesi pernikahan pun
tidaklah harus menunjukan kehebatan masing-masing keluarga dengan tingkat
kemewahan yang sangat tinggi. Karena yang paling penting adalah prosesi
pernikahan tersebut adalah syar’i dan sah, untuk masalah prosesi pernikahan
juga dibenarkan, dengan syarat tidak menyiratkan hura-hura disaat orang
disekitar kita melarat kelaparan dan juga tidak menjadi sebuah ironi di saat
prosesi pernikahan tampil maksimal dengan segala kemewahannya karena
mengandalkan sumbangan dari orang tua, tapi setelah menikah menjadi keluarga
yang tidak mandiri dan selalu meminta bantuan ke orang tua. Bahkan para
shahabat pun banyak yang menikha hanya dengan ber-mas kawin-kan cincin dari
besi ataupun hafalan Al-Quran saja, itu sangat sederhana, tapi meskipun
sederhana, mereka mampu membangun generasi-generasi yang kuat dan mampu membawa
Islam pada puncak kejayaannya. Prosesi pernikahan cukuplah dilaksanakan secara
sedang-sedang saja, tidak terlalu minimalis dan tidak pula terlalu glamour
untuk menjaga iffah masing-masing keluarga di mata Allah dan orang lain yang
menyaksikan pernikahan tersebut.
Jika aku seorang putra
keraton, sepertinya ingin ku katakan seperti apa yang telah dikatakan Nara
Shikamaru dalam salah satu episode pada anime Naruto: “jika aku menikah nanti,
aku tidak menginginkan istri yang istimewa, cukup yang sederhana saja, dengan
pernikahan yang sederhana, cukup mempunyai dua anak saja, laki-laki dan perempuan
dalam keluarga yang sederhana, dan aku bisa bermain shogi bersama mereka, aku
bisa bertemu mereka setiap hari untuk membina mereka menjadi lebih baik dari
pada aku, dan aku akan menikmati hari tuaku dengan damai, tanpa peperangan”.
Cukuplah kesederhanaan menjadi awal dari sebuah perubahan, tinggalkan
glamouritas, lepaskan jubah kesombongan, dan hiduplah dalam kesederhanaan yang
menginspirasi banyak pihak untuk bersama membangun peradaban yang madani dan
Islami. (elfaakir 23)
*euforia dan angan saat menikmati
berita pernikahan putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X