PERKEMBANGAN PERADABAN PEMIKIRAN ISLAM

Minggu, 18 September 2011

DISKUSI BERSAMA DR ADIAN HUSAINI: “PERKEMBANGAN PERADABAN PEMIKIRAN ISLAM”
Kerusakan pemikiran Islam dapat ditemukan dengan mudah dimana saja, baik di kampus teknik, kampus pendidikan, bahkan di kampus Islami sekali pun. Dalam kasus ini Dr. Adian Husaini pernah melakukan beberapa kali riset dengan memberikan kuisioner kepada mahasiswanya untuk mengukur tingkat kerusakan pemikiran Islam dengan pengajuan beberapa angket pertanyaan, misalnya untuk pertanyaan yang berbunyi: “semua manusiaakan mendapatkan pahala dari Tuhan, selama dia percaya kepada Tuhan dan berbuat baik terhadap sesama manusia, apapun agamanya. Sebab, yang penting dalam agama adalah substansinya; bukan agama dan bentuk-bentuk formalnya saja” (a. SETUJU= 63%; b. TIDAK SETUJU= 37%). Pun dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang senada, tingkat kerusakan alur berfikir mahasiswa pun mengalami angka yang mencengangkan, selalu di atas 80%, bahkan pada beberapa soal ada yang mencapai 100%, seperti pada pernyataan-pernyataan yang menunjukkan bahwa semua agama adalah benar.
Kita terkadang terjebak dan tertipu manisnya kata, logisnya pemikiran (meskipun hanya dari pandangan tesis saja, tidak memuat pandangan antitesisnya), dan terpana dengan orang yang berkata. Itulah langkah-langkah yang dilakukan oleh kaum hermeneutis untuk legalisasi pemikiran sepilisnya (sepilis= sekularisme, pluralisme, liberalisme). Seperti nenek moyang kita, Nabi Adam AS dan Siti Hawa yang tertipu oleh bujuk rayu syetan untuk memakan buah yang diharamkan oleh Allah dengan rayuan bahwa Allah melarang Adam AS dan Siti Hawa memakan buah itu karena buah tersebut adalah buah keabadian yang dapat menyebabkan mereka berdua menjadi ada di surga selamanya bersama semua keturunannya tanpa pernah keluar dari surga, dan rupanya Adam AS dan Siti Hawa terkena ranjau manisnya kata syetan tersebut, fragmentasi kehidupan tersebut terekam secara abadi pada Q.S Al-An’am:112-113:  
“dan demikianlah untuk setiap nabi, Kami jadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. Dan kalaulah Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan mampu untuk melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama kebohongan yangmereka ada-adakan. Dan agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat tertarik dengan bisikan itu, dan menyenanginya, dan agar mereka melakukan apa yang biasa mereka lakukan”.
Sehingga Pak Adian menyimpulkan bahwa bapak hermeneutika yang pertama adalah: Syetan, karena dia telah menipu Nabi Adam dengan kata manisnya.
Dampak dari hermeneutika juga jelas terlihat pada agama Kristen yang pada mulanya agama yang dibawa Nabi Isa AS adalah agama Tauhid/ Islam, didekonstruksi menjadi agama yang katanya berlandaskan pada kasih sayang, meskipun diakui atau tidak, konsep utama dari agama Kristen bukanlah kasih sayang, tapi cruxification (penyaliban) dan resurrection (kebangkitan) sebagai implikasi dari hermeneutika dan sinkretisme yang diterapkan pada Kristen semenjak kekaisaran Romawi sampai sekarang. Implikasi lainnya adalah adanya pengkutuban 2 kelompok Kristen terbesar: Katholik dan Protestan.
Arus hermeneutika mengalir dengan begitu deras membanjiri pemikiran ummat Islam dan menjadi candu yang wajib dinikmati dan dipelajari di mayoritas pendidikan tinggi Islam, sehingga tidak aneh jika banyak mahasiswa Islam yang pemikirannya nyeleneh dalam menafsirkan Al-Quran, sebut saja Ulil Abshar Abdalla dengan JIL nya, Gus Dur dengan berbagai pemikiran nyelenehnya dan bapak pluralisme Indonesia nya, dan anyak lagi yang lainnya. Sementara yang mempelajari bahaya hermeneutika dan Islamic worldview lainnya hanya segelintir orang saja, sehingga dalam menyikapinya Syed Muhammad Naquib Al-Attas (ISTAC-IIUM)mengatakan: “jadilah singa, meskipun sedikit seekor singa mampu melahap banyak babi yang sekali beranak saja melahirkan cukup banyak babi untuk jadi santapan singa!”.
Pada tahap selanjutnya, hermeneutika dengan derivasinya selalu mendewakan humanisme, bahwa segala sesuatu tanpa terkecuali harus selalu dilihat dari pandangan kemanusiaan, bukan pandangan keilahian, sekalipun humanisme itu terkadang bertentangan pula dengan perintah Allah dalam Al-Quran. Memang benar dalam Islam humanisme mendapatkan tempat yang layak dan mendapat perhatian yang cukup besar, tapi nilai-nilai humanisme itu sendiri selalu ada dibawah tuntunan dalil naqli dan porsi humanisme itu tidak pernah melebihi porsi ke-Ilahi-an. Karena siapa yang lebih mengetahui antara Allah dan manusia dibalik segala sesuatu hal?. Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa porsi humanisme itu ada di bawah porsi ke-Ilahi-an adalah QS Al-baqarah: 216, yang artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagi kamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
Dalam Kristen ada statemen yang sangat terkenal: “kamu tidak dapat menjadi seorang Kristian yang baik dan ilmuwan yang baik secara bersamaan”, sehingga implikasinya terjadi pemisahan antara ranah agama dan ilmu pengetahuan. Dalam Islam pemisahan agama dan sains tidaklah pernah ada, justru Islam memberikan ide-ide awal bagi penjelajahan sains, dan tidak pernah ada ayat Al-quran yang bertentangan dengan sains modern sekalipun, sehingga Islam adalah peradaban pertama yang mengalami masa modern dan ilmiah, dimana ilmu pengetauan mendapatkan tempat yang sangat istimewa disamping peran agama, dan implikasinya pun sangat baik, diantaranya dengan melahirkan ilmuwan-ilmuwan Islam yang juga faham terhadap Islam, sebut saja Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, ibnu Haitsam, dan ilmuwan lainnya. Tapi Islam tidaklah dibangun berdasarkan logika dan rasionalitas semata, hal ini terbukti dengan perkataan Umar Bin Khattab R.A yang berkata di depan hajar aswad: ”hey batu! Kalaulah sekiranya Nabi Muhammad tidak pernah menciummu, maka niscaya aku pun tidak akan pernah menciummu” atau perkataan Ali bin Abi Thalib: “kalaulah sekiranya agama itu dibangun berdasarkan logika, tentulah yang diusap itu bukalah bagian atas sepatu, tapi bagian bawah sepatu”. Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam juga ada di bawah Islam itu sendiri, sehingga bukan Islam yang dibangun diatas ilmu pengetahuan, tapi pengetahuanlah yang dibangun diatas Islam. Termasuk Isra mi’raj yang oleh sebagian orang dianggap tidak ilmiah, tapi sebenarnya itu adalah ilmiah, seperti Abu Bakr yang mempertanyakan validitas kebenaran Isra Mi’raj, tapi jika informasi tersebut datang dari Nabi Muhammad SAW, maka dia mempercayainya. Hal tersebut karena didasari pada fakta empiris bahwa nabi bukan pendusta, sehingga dia mempercayai kata-kata Nabi Muhammad tersebut, dan syarat minimal supaya suatu informasi dikatakan ilmiah adalah empiris dan rasional, sehingga Isra Mi’raj adalah ilmiah dan benar-benar terjadi, terlepas dari faktor lain yang selalu diperdebatkan.
Ada beberapa pertanyaan yang diajukan peserta pada diskusi dengan Dr Adian Husaini:
1.      Bagaimana cara kita meng-counter SEPILIS?
Kita bisa meng-counter SEPILIS diantaranya adalah dengan:
a.      Menuntut ilmu tentang SEPILIS, karena pada zaman sekarang ini mempelajari SEPILIS adalah fardhu ‘ain dikuasai oleh setiap keluarga, karena virus SEPILIS ini dapat dengan mudah menjangkit siapa saja dengan vektor televisi, internet, ataupun media masa
b.     Bersikap kritis dan ilmiah terhadap setiap permasalahan dan selalu melandaskan segala sesuatu berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah
c.      Berdo’a kepada Allah agar diberikan ketetapan hati dalam Islam dan Al-haq
2.  Bagaimana mengakhiri hizbiyyah dan ashabiyyah (paham golongan), seperti adanya NU, Muhammadiyyah, PERSIS, Salafiy, HTI, dll?
Dengan menyamakan persepsi secara ushuliyyah serta jangan mengungkit dan mempermaslahkan persoalan furu’iyyah secara berlarut-larut hingga menimbulkan perpecahan dan permusuhan, toh imam 4 madzhab saja saling menghormati , bahkan saling berguru, tidak pernah saling hujat dan bermusuhan. Atau seperti Buya Hamka yang menghormati perbedaan furu’iyyah dengan melaksanakan sholat shubuh dengan qunut ketika mengimami sholat jama’ah yang terbiasa qunut.
Jika masih ada perbedaan maka diskusikanlah dengan baik, jangan saling berhujat lantas saling bermusuhan, bukankah semua telah faham akan QS An-Nahl: 125 sebagai pedoman dalam berdakwah.
Dan adakan pernikahan lintas kelompok keagamaan, misalnya Muhammadiyyah dengan NU, Salafiy dengan HTI, dan variasi lainnya sesama Ahlussunnah wal Jama’ah.
3.    Hermeneutika kan berbahaya, koq MUI membiarkan saja, seolah tidak ada upaya untuk menghentikannya, kenapa?
Susah untuk dapat menghentikan hermeneutika secara lembaga pendidikan, karena dari kalangan MUI sendiri banyak yang mengajarkan hermeneutika sebagai dampak negatif dari pendidikan mereka belajar Islam di tempat yang tidak jelas (seperti di Mc Gill University), tapi setidaknya MUI telah mengharamkan SEPILIS dengan fatwanya yang dikeluarkan pada tahun 2006. Dan untuk solusi, kita (DDII dan ormas lain) selalu melakukan kontroling terhadap isu-isu SEPILIS yang sedang berkembang dan memberikan masukan kepada MUI sebagai pembanding dari gagasan-gagasan SEPILIS. Dan untuk solusi yang terakhir, lahirkan pula sarjana-sarjana Islam yang faham bahaya hermeneutika dan menguasai Islam secara keseluruhan, bukan secara parsial.
4.      Bagaimana dengan isu pancasila yang selalu dikonfrontir dengan Islam?
Hal tersebut terjadi karena kesalah interpretasian terhadap pancasila itu sendiri, padahal pancasila itu mengandung nilai-nilai Islam, misalnya sila pertama adalah nama lain dari konsep tauhid (Tuhan yang maha esa). Sila kedua adalah nama lain dari muamalah insaniyyah dan keadilan. Sila ketiga adalah nama lain dari jama’ah dan jam’iyyah. Sila keempat adalah nam lain dari ahlul halli wal aqdi, musyawarah dan jam’iyyah. Sila kelima adalah nama lain dari keadilan secara total.
Dan untuk Indonesia sendiri sebenarnya adalah negara Islam yang masih berada dalam proses penyempurnaan, karena sebagian nilai-nilai Islam sudah terintegrasi dalam UUD dan Pancasila, seperti aturan waris, haji, dan nikah. Dan sebagian yang lainnya masih dalam tahap proses menuju legalisasi secara konstitusi
5.      Bagaimana denga kami (anak sains teknik) untuk dapat berkontribusi dalam Islam juga?
Amalkan Islam di dunia kerja, Islam bukan hanya ada di masjid. Dan isu terpenting adalah wacana Islamisasi Sains yang sedang hangat diperjuangkan, misalnya dengan buku sejarah perspektif kritis yang mengkritisi tentang sejarah manusia, buku fisika yang mencantumkan alur berfikir Islam dan hubungan Islam dengan fisika atau buku-buku lainnya. Dalam Islamisasi Sains tidaklah begitu rumit, karena tinggal memperkuat fakta sains dengan Islam, sedangkan untuk permasalahan ilmu sosial agak cukup rumit dengan perbedaan-perbedaan variabel yang susah disamakan, meskipun pada akhirnya juga dapat diselesaikan dan ‘di-Islamkan’



Written by:
Lulu Fajar Ramadhan (oleh2 dari Masjid Nuuruzzaman – UNAIR, 14 September 2011)

Copyright @ 2013 elfaakir 23. Designed by Templateism | MyBloggerLab

About Metro

Follow us on Facebook