DISKUSI BERSAMA DR
ADIAN HUSAINI: “PERKEMBANGAN PERADABAN PEMIKIRAN ISLAM”
Kerusakan pemikiran
Islam dapat ditemukan dengan mudah dimana saja, baik di kampus teknik, kampus
pendidikan, bahkan di kampus Islami sekali pun. Dalam kasus ini Dr. Adian
Husaini pernah melakukan beberapa kali riset dengan memberikan kuisioner kepada
mahasiswanya untuk mengukur tingkat kerusakan pemikiran Islam dengan pengajuan
beberapa angket pertanyaan, misalnya untuk pertanyaan yang berbunyi: “semua
manusiaakan mendapatkan pahala dari Tuhan, selama dia percaya kepada Tuhan dan
berbuat baik terhadap sesama manusia, apapun agamanya. Sebab, yang penting
dalam agama adalah substansinya; bukan agama dan bentuk-bentuk formalnya saja”
(a. SETUJU= 63%; b. TIDAK SETUJU= 37%). Pun dengan pertanyaan-pertanyaan lain
yang senada, tingkat kerusakan alur berfikir mahasiswa pun mengalami angka yang
mencengangkan, selalu di atas 80%, bahkan pada beberapa soal ada yang mencapai
100%, seperti pada pernyataan-pernyataan yang menunjukkan bahwa semua agama
adalah benar.
Kita terkadang
terjebak dan tertipu manisnya kata, logisnya pemikiran (meskipun hanya dari
pandangan tesis saja, tidak memuat pandangan antitesisnya), dan terpana dengan
orang yang berkata. Itulah langkah-langkah yang dilakukan oleh kaum hermeneutis
untuk legalisasi pemikiran sepilisnya (sepilis= sekularisme, pluralisme,
liberalisme). Seperti nenek moyang kita, Nabi Adam AS dan Siti Hawa yang
tertipu oleh bujuk rayu syetan untuk memakan buah yang diharamkan oleh Allah
dengan rayuan bahwa Allah melarang Adam AS dan Siti Hawa memakan buah itu
karena buah tersebut adalah buah keabadian yang dapat menyebabkan mereka berdua
menjadi ada di surga selamanya bersama semua keturunannya tanpa pernah keluar
dari surga, dan rupanya Adam AS dan Siti Hawa terkena ranjau manisnya kata
syetan tersebut, fragmentasi kehidupan tersebut terekam secara abadi pada Q.S Al-An’am:112-113:
“dan
demikianlah untuk setiap nabi, Kami jadikan musuh yang terdiri dari setan-setan
manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan
yang indah sebagai tipuan. Dan kalaulah Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka
tidak akan mampu untuk melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama kebohongan
yangmereka ada-adakan. Dan agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman
kepada akhirat tertarik dengan bisikan itu, dan menyenanginya, dan agar mereka
melakukan apa yang biasa mereka lakukan”.
Sehingga Pak Adian
menyimpulkan bahwa bapak hermeneutika yang pertama adalah: Syetan, karena dia
telah menipu Nabi Adam dengan kata manisnya.
Dampak dari
hermeneutika juga jelas terlihat pada agama Kristen yang pada mulanya agama
yang dibawa Nabi Isa AS adalah agama Tauhid/ Islam, didekonstruksi menjadi
agama yang katanya berlandaskan pada kasih sayang, meskipun diakui atau tidak,
konsep utama dari agama Kristen bukanlah kasih sayang, tapi cruxification
(penyaliban) dan resurrection (kebangkitan) sebagai implikasi dari hermeneutika
dan sinkretisme yang diterapkan pada Kristen semenjak kekaisaran Romawi sampai
sekarang. Implikasi lainnya adalah adanya pengkutuban 2 kelompok Kristen
terbesar: Katholik dan Protestan.
Arus hermeneutika
mengalir dengan begitu deras membanjiri pemikiran ummat Islam dan menjadi candu
yang wajib dinikmati dan dipelajari di mayoritas pendidikan tinggi Islam,
sehingga tidak aneh jika banyak mahasiswa Islam yang pemikirannya nyeleneh
dalam menafsirkan Al-Quran, sebut saja Ulil Abshar Abdalla dengan JIL nya, Gus
Dur dengan berbagai pemikiran nyelenehnya dan bapak pluralisme Indonesia nya,
dan anyak lagi yang lainnya. Sementara yang mempelajari bahaya hermeneutika dan
Islamic worldview lainnya hanya segelintir orang saja, sehingga dalam
menyikapinya Syed Muhammad Naquib Al-Attas (ISTAC-IIUM)mengatakan: “jadilah
singa, meskipun sedikit seekor singa mampu melahap banyak babi yang sekali
beranak saja melahirkan cukup banyak babi untuk jadi santapan singa!”.
Pada tahap
selanjutnya, hermeneutika dengan derivasinya selalu mendewakan humanisme, bahwa
segala sesuatu tanpa terkecuali harus selalu dilihat dari pandangan
kemanusiaan, bukan pandangan keilahian, sekalipun humanisme itu terkadang
bertentangan pula dengan perintah Allah dalam Al-Quran. Memang benar dalam
Islam humanisme mendapatkan tempat yang layak dan mendapat perhatian yang cukup
besar, tapi nilai-nilai humanisme itu sendiri selalu ada dibawah tuntunan dalil
naqli dan porsi humanisme itu tidak pernah melebihi porsi ke-Ilahi-an. Karena
siapa yang lebih mengetahui antara Allah dan manusia dibalik segala sesuatu
hal?. Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa porsi humanisme itu ada di bawah
porsi ke-Ilahi-an adalah QS Al-baqarah: 216, yang artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagi
kamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
Dalam Kristen ada
statemen yang sangat terkenal: “kamu tidak dapat menjadi seorang Kristian yang
baik dan ilmuwan yang baik secara bersamaan”, sehingga implikasinya terjadi
pemisahan antara ranah agama dan ilmu pengetahuan. Dalam Islam pemisahan agama
dan sains tidaklah pernah ada, justru Islam memberikan ide-ide awal bagi
penjelajahan sains, dan tidak pernah ada ayat Al-quran yang bertentangan dengan
sains modern sekalipun, sehingga Islam adalah peradaban pertama yang mengalami
masa modern dan ilmiah, dimana ilmu pengetauan mendapatkan tempat yang sangat
istimewa disamping peran agama, dan implikasinya pun sangat baik, diantaranya
dengan melahirkan ilmuwan-ilmuwan Islam yang juga faham terhadap Islam, sebut
saja Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, ibnu Haitsam, dan ilmuwan lainnya. Tapi Islam
tidaklah dibangun berdasarkan logika dan rasionalitas semata, hal ini terbukti
dengan perkataan Umar Bin Khattab R.A yang berkata di depan hajar aswad: ”hey
batu! Kalaulah sekiranya Nabi Muhammad tidak pernah menciummu, maka niscaya aku
pun tidak akan pernah menciummu” atau perkataan Ali bin Abi Thalib: “kalaulah
sekiranya agama itu dibangun berdasarkan logika, tentulah yang diusap itu
bukalah bagian atas sepatu, tapi bagian bawah sepatu”. Kedudukan ilmu
pengetahuan dalam Islam juga ada di bawah Islam itu sendiri, sehingga bukan
Islam yang dibangun diatas ilmu pengetahuan, tapi pengetahuanlah yang dibangun
diatas Islam. Termasuk Isra mi’raj yang oleh sebagian orang dianggap tidak
ilmiah, tapi sebenarnya itu adalah ilmiah, seperti Abu Bakr yang mempertanyakan
validitas kebenaran Isra Mi’raj, tapi jika informasi tersebut datang dari Nabi
Muhammad SAW, maka dia mempercayainya. Hal tersebut karena didasari pada fakta
empiris bahwa nabi bukan pendusta, sehingga dia mempercayai kata-kata Nabi
Muhammad tersebut, dan syarat minimal supaya suatu informasi dikatakan ilmiah
adalah empiris dan rasional, sehingga Isra Mi’raj adalah ilmiah dan benar-benar
terjadi, terlepas dari faktor lain yang selalu diperdebatkan.
Ada beberapa
pertanyaan yang diajukan peserta pada diskusi dengan Dr Adian Husaini:
1.
Bagaimana cara kita meng-counter
SEPILIS?
Kita
bisa meng-counter SEPILIS diantaranya adalah dengan:
a. Menuntut ilmu tentang SEPILIS, karena pada zaman sekarang ini
mempelajari SEPILIS adalah fardhu ‘ain dikuasai oleh setiap keluarga, karena
virus SEPILIS ini dapat dengan mudah menjangkit siapa saja dengan vektor
televisi, internet, ataupun media masa
b. Bersikap kritis dan ilmiah terhadap setiap permasalahan dan selalu
melandaskan segala sesuatu berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah
c. Berdo’a kepada Allah agar diberikan ketetapan hati dalam Islam dan
Al-haq
2. Bagaimana mengakhiri hizbiyyah dan
ashabiyyah (paham golongan), seperti adanya NU, Muhammadiyyah, PERSIS, Salafiy,
HTI, dll?
Dengan
menyamakan persepsi secara ushuliyyah serta jangan mengungkit dan
mempermaslahkan persoalan furu’iyyah secara berlarut-larut hingga menimbulkan
perpecahan dan permusuhan, toh imam 4 madzhab saja saling menghormati , bahkan
saling berguru, tidak pernah saling hujat dan bermusuhan. Atau seperti Buya
Hamka yang menghormati perbedaan furu’iyyah dengan melaksanakan sholat shubuh
dengan qunut ketika mengimami sholat jama’ah yang terbiasa qunut.
Jika
masih ada perbedaan maka diskusikanlah dengan baik, jangan saling berhujat
lantas saling bermusuhan, bukankah semua telah faham akan QS An-Nahl: 125
sebagai pedoman dalam berdakwah.
Dan
adakan pernikahan lintas kelompok keagamaan, misalnya Muhammadiyyah dengan NU,
Salafiy dengan HTI, dan variasi lainnya sesama Ahlussunnah wal Jama’ah.
3. Hermeneutika kan berbahaya, koq
MUI membiarkan saja, seolah tidak ada upaya untuk menghentikannya, kenapa?
Susah
untuk dapat menghentikan hermeneutika secara lembaga pendidikan, karena dari
kalangan MUI sendiri banyak yang mengajarkan hermeneutika sebagai dampak
negatif dari pendidikan mereka belajar Islam di tempat yang tidak jelas
(seperti di Mc Gill University), tapi setidaknya MUI telah mengharamkan SEPILIS
dengan fatwanya yang dikeluarkan pada tahun 2006. Dan untuk solusi, kita (DDII
dan ormas lain) selalu melakukan kontroling terhadap isu-isu SEPILIS yang
sedang berkembang dan memberikan masukan kepada MUI sebagai pembanding dari
gagasan-gagasan SEPILIS. Dan untuk solusi yang terakhir, lahirkan pula
sarjana-sarjana Islam yang faham bahaya hermeneutika dan menguasai Islam secara
keseluruhan, bukan secara parsial.
4.
Bagaimana dengan isu pancasila
yang selalu dikonfrontir dengan Islam?
Hal
tersebut terjadi karena kesalah interpretasian terhadap pancasila itu sendiri,
padahal pancasila itu mengandung nilai-nilai Islam, misalnya sila pertama
adalah nama lain dari konsep tauhid (Tuhan yang maha esa). Sila kedua adalah
nama lain dari muamalah insaniyyah dan keadilan. Sila ketiga adalah nama lain
dari jama’ah dan jam’iyyah. Sila keempat adalah nam lain dari ahlul halli wal
aqdi, musyawarah dan jam’iyyah. Sila kelima adalah nama lain dari keadilan
secara total.
Dan
untuk Indonesia sendiri sebenarnya adalah negara Islam yang masih berada dalam
proses penyempurnaan, karena sebagian nilai-nilai Islam sudah terintegrasi
dalam UUD dan Pancasila, seperti aturan waris, haji, dan nikah. Dan sebagian
yang lainnya masih dalam tahap proses menuju legalisasi secara konstitusi
5.
Bagaimana denga kami (anak sains
teknik) untuk dapat berkontribusi dalam Islam juga?
Amalkan
Islam di dunia kerja, Islam bukan hanya ada di masjid. Dan isu terpenting
adalah wacana Islamisasi Sains yang sedang hangat diperjuangkan, misalnya
dengan buku sejarah perspektif kritis yang mengkritisi tentang sejarah manusia,
buku fisika yang mencantumkan alur berfikir Islam dan hubungan Islam dengan
fisika atau buku-buku lainnya. Dalam Islamisasi Sains tidaklah begitu rumit,
karena tinggal memperkuat fakta sains dengan Islam, sedangkan untuk
permasalahan ilmu sosial agak cukup rumit dengan perbedaan-perbedaan variabel
yang susah disamakan, meskipun pada akhirnya juga dapat diselesaikan dan
‘di-Islamkan’
Written
by:
Lulu
Fajar Ramadhan (oleh2 dari Masjid Nuuruzzaman – UNAIR, 14 September 2011)