PERTANYAAN ke-2
Salah satu karakter ajaran Islam adalah
“insaniyyah”, berikan penjelasan dengan disertai minimal dua contoh sehingga ajaran
Islam sejalan dengan sifat dan kondisi manusia!
JAWABAN Soal Ke-2
Islam
bukanlah agama yang ada untuk menyesuaikan diri agar sesuai dengan sifat dan
kondisi manusia, tapi Islam ada untuk mengatur kehidupan manusia agar mendapat
kebahagiaan dunia dan akhirat. Kehadiran Islam di tengah ummat manusia
fungsinya adalah seperti sebuah manual instruction mutlak yang harus diikuti
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dengan mengikuti semua petunjuk
yang terkandung di dalamnya. Meskipun demikian, tidak ada pemaksaan bagi
manusia untuk memeluk agama Islam dan menjalankan agama Islam secara kaffah,
karena Allah telah berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Albaqarah: 256)
Kebenaran
agama Islam yang melintasi zaman dan mutlak pun menjadi tanda bahwa agama Islam
ini tidaklah ada untuk mengikuti dan menyesuaikan diri dengan sifat dan kondisi
manusia, tapi justru Islam lah yang mengatur manusia agar menjalankan perintah
yang terkandung dalam Islam dan menjauhi segala larangan yang telah digariskan
dalam Islam secara sempurna. Kalaulah Islam itu ada untuk menyesuaikan diri
dengan sifat dan kondisi manusia, tentulah pengharaman khamr, perzinahan, dan
kemusyrikan di bangsa Arab tidak akan pernah terjadi, karena pada masa itu
khamr, perzinahan, kemusyrikan, dan membunuh anak perempuan adalah sesuai
dengan sifat dan kondisi manusia pada zaman tersebut. Dan kalaulah Islam itu
ada sebagai sebuah manual instruction yang harus mengikuti manusia sesuai
dengan sifat dan kondisinya, baik waktu, tempat, dan aspek lainnya, tentulah
Islam akan terbatasi oleh beberapa faktor, seperti kondisi manusia pada zaman
dan tempat tertentu dan interpretasi Al-Quran yang disesuaikan dengan kebutuhan
manusia tanpa mengikuti kaidah tafsir yang telah digariskan oleh Nabi, sehingga
akibatnya Islam menjadi sebuah agama yang terbatas, kehilangan sifat syumul dan
kamil-nya, dan implikasi lebih jauhnya adalah perbedaan yang sangat beragam di
antara sesama ummat Islam, bahkan bisa memicu timbulnya perpecahan dalam agama
Islam, karena Islam dipaksakan untuk mengikuti dan sesuai dengan sifat dan
kondisi manusia, bukan manusia yang mengikuti setiap aturan yang secara rinci
dan sempurna telah diatur dalam Islam. Na’udzubillahi min dzaalika.
Padahal
kondisi sebenarnya yang harus ada adalah kewajiban untuk mengikuti dan memegang
teguh apa yang telah secara sempurna dirinci dalam agama ini secara kaffah dan
menjauhi setiap kemungkinan perpecahan yang akan terjadi, seperti yang ada pada
Ali Imran: 103.
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di
tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (Ali
Imran: 103)
Ataukah kita
akan memaksa agar Islam itu menyesuaikan diri dengan sifat, kondisi, dan
kebutuhan manusia yang berbalutkan hawa nafsu, seperti kaum Yahudi dan Nasrani
yang selalu merubah-ubah ajarannya agar mengikuti sifat dan kondisi manusia dan
pengikutnya, sehingga agama Yahudi dan Nasrani selalu mengalami perevisian
agama oleh Rabi dan Paus Paulus?!
“(Tetapi)
karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati
mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya,
dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah
diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat
kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak
berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al-Maidah:
13)
Islam memang
memiliki dua aspek dalam pengamalannya, yaitu aspek ketuhanan (uluhiyyah) dan
aspek kemanusiaan-sosial (insaaniyyah). Aspek uluhiyyah berkaitan dengan hubungan
seorang hamba dengan Allah secara langsung, seperti shalat, shaum, dan ibadah
mahdhah lainnya. Sedangkan aspek insaaniyyah berkaitan dengan sifat dan kondisi
manusia baik secara interpersonal ataupun intrapersonal. Tapi, dalam
pengamalannya kedua aspek tersebut tidaklah bisa untuk dipisahkan secara
parsial dengan hanya mengamalkan salah satu aspek, misalnya dengan menjadi
seorang hamba yang terus-terusan beribadah di masjid, tapi abai dengan kondisi
sosial masyarakatnya, ataupun dengan menjadi seorang yang membela nasib
kemanusiaan habis-habisan, tapi abai dalam masalah akhirat bahkan atas nama
kemanusiaan berani untuk mengorbankan kewajibannya selaku seorang hamba Allah.
Kedua aspek
tersebut terikat saling erat dan membutuhkan pengamalan yang maksimal secara
bersamaan dalam proses membentuk diri menjadi seorang hamba yang berkualitas di
dunia dan akhirat. Misalnya dalam praktik ibadah shalat, selain dibutuhkan
kekhusyukan yang maksimal, juga dibutuhkan implementasi pelaksanaan shalat
tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan menjadi seorang hamba yang tidak
melakukan tindakan fahsya’ dan munkar. Ataupun ketika menjadi seorang yang
sangat peka terhadap kehidupan sosial masyarakat dan kemanusiaan lainnya, maka
hendaknya dia juga menjadi seorang hamba yang peka terhadap haknya dari Allah
dalam menikmati hidup, dan juga kewajibannya sebagai seorang hamba yang harus
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Karena pengamalan salah
satu aspek saja hanya akan menimbulkan kepincangan dalam Islam, karena Islam
adalah agama yang syumul yang tidak dapat dipisahkan antara aspek uluhiyyah dan
insaaniyyah.
Yang ada
dalam Islam bukanlah pemisahan kedua aspek tersebut secara parsial, tapi yang
ada adalah titik fokus dan perbedaan proporsinya saja. Mana ibadah yang
bersifat uluhiyyah tapi mempunyai dimensi insaaniyyah, dan mana yang bersifat
insaaniyyah tapi memiliki aspek uluhiyyah. Beberapa contoh bahwa agama Islam
mempunyai aspek insaaniyyah adalah:
· Islam
menghapuskan perbudakan, baik perbudakan kepada orang, uang, ataupun hawa
nafsu, yang kemudian disebut dengan thagut. Dan kemudian mengganti perbudakan
kepada hal yang bersifat materi itu kepada penyerahan diri secara total kepada
Allah, tanpa ada sedikitpun rasa cinta, takut, dan pengharapan kepada selain
Allah.
· Islam
mengajarkan untuk saling bekerja sama dan saling tolong-menolong dalam kebaikan
saja, dan melarang untuk bekerja sama dan saling tolong menolong dalam
keburukan. Hal tersebut juga adalah fitrah, karena watak dasar manusia adalah
makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam hidupnya,
kemudian Islam hadir untuk membatasi bahwa bekerja sama dan tolong menolong itu
hanya berlaku pada kebaikan saja.
· Islam
mengajarkan untuk berbagi kepada sesama dengan zakat, infaq, dan shadaqah. Pada
dasarnya sikap empati dan perhatian itu sudah ada dalam diri manusia, tapi
Islam hadir memberikan batasan dan cara yang khusus dalam hal berbagi tersebut,
misalnya dalam zakat, infaq, dan shadaqah itu harus berasal dari harta yang
halal, diberikan pada orang yang jauh lebih membutuhkan, dan berbagai regulasi
lainnya dalam hal pengelolaan harta agar tidak menimbukan kecemburuan sosial di
masyarakat.
Wallahu A’lam Bish Shawwab