Segenggam Inspirasi dari “Leadership Talk!”

Minggu, 04 Maret 2012

Lama tidak berkarya nih ane, gan! Akhirnya berdasarkan permintaan temen2 juga, terpaksa deh ane nulis lagi walau sudah agak kaku juga untuk memulai tulisan karena terlalu lama vakum tidak menulis. Hingga akhirnya ane terbesit untuk menuliskan apayang telah ane dapat di seminar “Leadership Talks!”
Berikut adalah sedikit oleh-oleh dari apa yang bisa ana tulis selama seminar berlangsung.
***LT 2012***
Segenggam Inspirasi dari “Leadership Talk!”
“Leadership Talk! 2012” adalah sebuah kegiatan seminar dan talkshow yang diadakan di aula Garuda Mukti UNAIR Kampus C pada tanggal 3 Maret 2012 yang dimotori oleh BEM FEB UNAIR featuring PPSDMS. Leadership Talk pada kali ini dihadiri oleh 400 orang mahasiswa yang terdiri dari mahasiswa ITS, UNAIR, dan kampus lain di Surabaya yang telah mengikuti alur seleksi registrasi yang diselenggarakan oleh panitia, dan juga menghadirkan beberapa pemateri yang sangat luar biasa dengan konsep acara yang sangat menarik pula.
Berikut adalah ringkasan materi yang dipaparkan pemateri yang sempat saya dokumentasikan.

1   1.      Rahmat Harianto, S. Ked (fresh graduate FK UNAIR)
Beliau adalah seorang sarjana kedokteran UNAIR yang cukup menginspirasi di wilayah Surabaya, terutama UNAIR dengan sepak terjangnya baik di organisasi seperti Bulan Sabit Merah Indonesia ataupun di bidang akademik seperti menjadi mawapres, meraih medali emas pada PIMNAS, dan penghargaan karya tulis lainnya.
Beliau mengawali presentasinya dengan mengutip perkataan Ippho Santosa: “Saat anda memutuskan untuk menumpas kemiskinan, maka pastikanlah diri anda terlebih dahulu untuk tidak miskin”. Sehingga jika kita memutuskan untuk mengubah keadaan suatu bangsa, hendaklah dimulai dengan mengubah diri kita sendiri, misalnya dengan menjadikan diri kita sendiri sebagai uswah nyata bagi orang lain dalam menggapai kesuksesan tersebut. Dan kesuksesan itu tidaklah berbanding lurus dengan tingginya IQ yang dimiliki oleh seseorang. Hal tersebut telah dibuktikan dengan penelitian Lewis Turman di Amerika terhadap anak-anak the termites (anak-anak yang dianugerahi IQ >140), bahwa semua dari objek penelitian ini memiliki kecenderungan untuk menjadi orang yang biasa saja dan tidak ada yang mendapat hadiah nobel seorang pun. Adapun orang yang seperti Einstein, itu adalah merupakan hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun karena pada awalnya pun Einstein adalah orang yang biasa-biasa saja, hanya saja dia mempunyai kemauan untuk menjadi orang yang luar biasa, dan itu mengantarkannya pada kesuksesan tersebut. Adapaun terhadap tingginya IQ, Lewis Turman berkesimpulan bahwa antara kesuksesan dan tingkat tingginya IQ tidaklah ada hubungannya. Sehingga kesuksesan seseorang itu lebih dipengaruhi oleh EQ dan SQ nya sendiri, hal ini didapat dari hasil survey di Amerika terkait faktor kesuksesan seseorang di dunia kerja, bahwa IQ tinggi dengan IP(>3.00) hanya ada di posisi ke-16 saja jauh dibawah nilai-nilai moral seperti komunikasi yang baik, integritas personal, kejujuran, loyalitas, sopan, dan aspek yang berkaitan dengan EQ dan SQ lainnya.
Selain itu, beliau juga mengutip perkataan Malcolm Galdwell bahwa 10000 jam adalah waktu yang dibutuhkan oleh seseorang untuk menjadi seorang ahli. Tidak pernah ada seorang pun yang terlahir menjadi seorang ahli tanpa mengalami proses latihan yang sangat panjang, karena kesuksesan itu adalah hasil buah perjuangan kita yang begitu lama, dan kesuksesan tidak akan pernah datang, tanpa kita sendiri yang mengusahakannya, “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga kaum itu sendiri yang mengubah sikapnya sendiri”. Maka mari kita perbanyak jam latihan kita untuk menjadi seorang ahli, karena ahli itu bukanlah anugerah tanpa usaha, tapi itu adalah buah usaha dari hasil kerja keras kita.
Untuk menjadi seorang ahli, hendaknya kita juga mengikuti berbagai ajang bergengsi untuk menguji sejauh mana kualitas diri kita, seperti ikut mawapres, ikut PIMNAS, ikut LKTI, dan ajang lain yang mampu memfasilitasi kita untuk menjadi lebih baik di kemudian hari.
Di akhir sesi, beliau juga mewasiatkan kepada para peserta seminar untuk berani bermimpi besar, menentukan visi dan misi hidup dengan jelas, terus berlatih tanpa henti, jangan lupa berbagi kepada sesame yang bernasib kurang beruntung, dan melakukan totalitas secara penuh dalam setiap langkah perjuangan kita selama hidup.

2   2.      Achmad Ferdiansyah P, S.T (alumni Cum Laude S1 Tekkim ITS)
Beliau di ITS dikenal sebagai pendekar 1000 PKM, karena beliau merintis pembuatan PKM besar-besaran selama menjabat sebagai Menristek BEM ITS, dan hamper di setiap ajang PIMNAS 20 PKM nya didanai oleh DIKTI. Selain sebagai pendekar  PKM ITS dan technopreneur muda ITS, beliau juga adalah penerima berbagai penghargaan di tingkat nasional baik melalui ajang PIMNAS, LKTI, entrepreneurhip competition, dan ajang bergengsi lainnya.
Tidak banyak yang beliau sampaikan pada kesempatan seminar “Leadership Talk! 2012”, beliau hanya menyampaikan tiga poin paling panting secara singkat dan padat.
·         Jadilah orang yang unik!
Temukan keunikan anda, dan kemudian kelola keunikan anda untuk menjadi sebuah nilai lebih bagi diri anda sendiri yang dapat bermanfaat untuk banyak orang.
·         Kunci Kesuksesan : Ketekunan dan Kerja Keras.
Dalam mencapai kesuksesan dibutuhkan keseriusan yang diwujudkan dalam ketekunan dan kerja keras untuk meraih kesuksesan tersebut
·         Kelola setiap kegagalan anda untuk menjadi lebih baik di suatu hari.
Mengalami kegagalan itu biasa, tinggal bagaimana kita menyusun strategi untuk mengatasi kegagalan itu agar suatu hari kita dapat memetik kesuksesan kita dari kegagalan tersebut.
·         Jangan mudah menyerah
Saat anda memutuskan untuk menyerah ketika mengalami kegagalan, sebenarnya kesuksesan itu ada setelah anda untuk memutuskan untuk menyerah saat mengalami kegagalan, maka janganlah mudah menyerah saat anda mengalami kegagalan.

3    3.      Daniel M. Rosyid, Ph.D, M.RINA (dosen FTK ITS)
Beliau adalah staff dosen di ITS yang concern dalam bidang pendidikan di sela-sela kesibukannya sebagai di dunia akademik dan profesionalnya.
Ada beberapa hal yang menjadi fokusan materi yang dibawakan oleh beliau dalam menyampaikan materinya yang berkaitan dengan pendidikan, diantaranya adalah:
·         Kegagalan Desentralisasi
Pada kegagalan ini, beliau menitik beratkan pada keengganan mahasiswa untuk kembali mengabdi di daerah dan lebih memilih untuk bekerja di perusahaan multi nasional dengan iming-iming gaji yang tinggi dan fasilitas yang serba mewah. Tidak ada keinginan untuk kembali ke daerah asal untuk membangun daerahnya masing-masing. Padahal seluruh mahasiswa mempunyai amanah untuk mengembangkan daerahnya masing-masing bahkan sampai mengembangkan Indonesia, bukan mengembangkan perusahaan asing. Karena setiap mahasiswa yang ada di Indonesia ini baik sadar atau tidak sadar juga mendapatkan keringanan biaya kuliah dari Negara yang juga berasal dari uang rakyat, sehingga sudah menjadi kewajiban mutlak bagi mahasiswa untuk mengabdikan dirinya di masyarakat dan mengembangakan masyarakat tersebut. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, seorang anak petani berkuliah di fakultas pertanian dan mendapatkan beasiswa, tapi setelah lulus kuliah enggan untuk kembali ke desa mengembangkan pertanian di desanya, pun dengan anak nelayan yang berkuliah di fakultas perikanan dan bahkan mendapatkan beasiswa pula, enggan untuk melaut kembali, mengembangkan hasil laut dan perikanan yang ada di daerahnya, pun dengan mahasiswa lain dari berbagai jurusan yang lebih memilih untuk bekerja di perusahaan bonafide daripada kembali mengembangkan daerahnya masing-masing. Sehingga hal tersebut berdampak pada kegagalan desentralisasi yang menekankan pada aspek pengembangan daerah secara merata, bukan terpusat di ibu kota dan kota-kota besar saja.

·         Kegagalan Demokrasi
Pada kegagalan ini beliau menitik beratkan pada maraknya korupsi dan politik uang yang terjadi di Indonesia.

·         Kegagalan Pendidikan
Dan pada kegagalan pendidikan, beliau menitik beratkan pada kegagalan pendidikan sebagai institusi yang mampu untuk mencetak kader bangsa yang berintegritas dalam membangun negeri. Pendidikan malah menjadi penyebab akar korupsi, karena pendidikan secara formal yang ada di Indonesia adalah warisan Belanda yang berfungsi untuk menyiapkan murid sebagai professional dan pegawai, bukan sebagai kader bangsa yang berintegritas membangun negeri. Justru sejarah mencatat bahwa orang-orang yang berasal dari grassroot lah yang selalu berhasil dalam memimpin, mereka banyak belajar secara mandiri (otodidak) di sela-sela kesibukannya berperan di lingkungan masyarakat sekitar, sehingga mereka faham betul apa yang dibutuhkan oleh masyarakat sebenarnya, tanpa terkekang oleh system pendidikan formal yang diterapkan di sekolah yang lebih didominasi kaum elitis semata. Mereka yang berasal dari grassroot ini juga mempunyai nilai lebih, karena selain belajar secara otodidak dan berperan langsung di masyarakat, mereka juga di sore hari mengaji kepada para kiayi mereka, sehingga spiritual mereka dapat terjaga dengan baik (beliau mengambil contoh pendidikan pra kemerdekaan, lebih tepatnya pendidikan pesantren semasa Cokroaminoto).
Tapi apa yang terjadi dari sistem pendidikan yang bernuansa elitis ini, hanyalah melahirkan orang-orang yang pintar saja secara intelektual, tapi gersang secara emosional dan spiritual, taruhlah contoh Gayus dan Nazaruddin, mereka adalah orang-orang pintar, toh mereka juga dulu lulus UN. Tapi secara emosional dan spiritual, mereka mengalami kegersangan, sehingga mereka tidak segan menipu rakyat dengan tindak korupsinya.
Pun dengan paradigma yang dibangun sekolah dan dibenarkan oleh rakyat, bahwa sekolah adalah satu-satunya institusi tempat belajar, sehingga di institusi pendidikan elitis ini, seorang pelajar sangat dihindarkan dari pekrejaan. Tugas seorang pelajar diparadigma hanya belajar dan belajar saja, tanpa harus bekerja secara aplikatif di lapangan. Padahal seorang yang belajar terjun langsung di sawah, itu lebih faham mengenai ilmu tentang persawahan daripada orang yang hanya duduk di bangku sekolah saja tanpa pernah mau untuk pergi ke sawah. Harusnya institusi pendidikan itu memberikan keleluasaan kepada peserta didik untuk dapat berkreasi dan mengaplikasikan ilmu nya secara langsung di lapangan, bukan memasung kreatifitas anak dengan dalih sistem. Sehingga apa yang terjadi adalah mereka yang dibesarkan di institusi ini secara kaku dan terpatok oleh sistem hanya menjadi orang biasa saja, sedangkan orang yang memiliki kebebasan berkreasi dan bereksplorasi, malah menjadi orang yang luar biasa (kata kunci: kreasi dan eksplorasi).
Selain kekacauan itu, apa yang terjadi juga terjadi pada tenaga pendidiknya, untuk mendapatkan sertifikasi PNS dari Negara, mereka tidak ragu untuk melakukan praktik gratifikasi kepada petugas, dengan apapun caranya untuk menempuh keinginan mereka, sehingga jika dari tenaga pendidiknya pun sudah kacau seperti ini, maka yang terjadi adalah ke-error-an sistemik. Saat UN yang terjadi adalah contekan masal, bukan mengusung pada kejujuran, saat ada salah seorang murid yang jujur dan berani melaporkan kecurangan pihak sekolahnya, yang terjadi malah keluarga murid itu dikucilkan di masyarakat, dan anaknya dikeluarkan dari sekolah tersebut. Sehingga ketika di sekolah saja sudah diajarkan untuk tidak jujur, maka jangan  salahkan siapapun ketika produk nyata dari sekolah adalah para koruptor dan orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap negara.   
Sekolah hanya mendidik peserta didiknya untuk menjadi seorang insan yang konsumtif dan tidak kreatif, karena kekauan dan kekacauan sistem pendidikan yang ada di negeri ini. Dan salah satu bukti konsumerisme akibat pendidikan adalah setiap peserta didik berorientasi untuk mendapatkan ijazah dengan nilai yang tinggi dan memuaskan, tidak memperdulikan aspek-aspek kejujuran dan moralitas lainnya yang begitu mahal dan tidak bisa dikuantitatifkan. Setelah mendapatkan ijazah, maka kemudian dia sibuk mencari pekerjaan, sebagai orientasi hidup selanjutnya, bukan membangun daerah asalnya masing-masing.
Dari berbagai pemaprannya, beliau menyimpulkan bahwa sekolah adalah akar masalah yang harus dipecahkan. Dan salah satu solusi yang beliau tawarkan adalah reformasi sistem pendidikan, dimana pada reformasi ini terjadi proses ‘hijrah’ dari perilaku mental konsumtif menjadi perilaku produktif, dari perilaku curang menjadi jujur, dan dari perilaku yang kurang baik lainnya menuju perilaku dan sikap yang lebih baik. Bukan sekedar bicara dan teori saja, tapi juga dengan dipraktekan secara massif. Dan hal itu tentulah tidak akan dapat terwujud, tanpa dimulai dengan mereformasi diri kita masing-masing secara personal sebelum mengubah komunitas yang jauh lebih besar daripada kita sendiri.

4    4.      Ir. Joko Widodo (Walikota Solo)
Pada sesi materi ini, terkesan sangat santai dengan pembawaan pak Jokowi yang kasual dan cara penyampaian yang ringan dengan diselingi guyonan santai juga. Beliau banyak menceritakan tentang dirinya selama menjadi walikota sampai sekarang.
Karir sebagai walikota dimulai dari kepenasarannya terhadap kota Surakarta/ Solo yang semakin semrawut dari tahun ke tahun mengantarkannya menjadi seorang walikota Surakarta yang sangat disegani oleh warganya. Saat awal pemerintahannya menjadi wali kota hamper setiap dua hari sekali beliau didemo oleh berbagai kalangan baik dari rakyat miskin, PKL, bahkan sampai mahasiswa. Banyak sekali cara cerdas yang beliau gunakan dalam menyikapi para pendemo tersebut, misalnya dalam menyikapi salah satu demo dengan kekuatan massa 3500 orang, beliau malah membubarkan barikade polisi yang mengawal demo dan meminta kepada mereka untuk memasukkan para pendemo ke lingkungan balai kota untuk kemudian berunjuk fikir secara sehat dengan penyambutan yang hangat di lingkungan balai kota, dan hasilnya para pendemo mengusulkan gagasan dan tuntutannya, 2 jam demo selesai tanpa ada barang yang rusak dan aksi dorong-dorongan dengan petugas, dan lebih jauh dari itu komunikasi antara pemimpin dan rakyat sudah mulai terbangun, karena yang dibutuhkan rakyat adalah kemudahan akses dengan pemimpinnya, sehingga beliau berpesan hendaknya pemimpin itu ketika ada yang demo bukan bersembunyi di dalam kantor  dengan penjagaan super ketat, tapi hadapi mereka, sambut dan dengarkan aspirasi mereka. Selain itu, beliau juga pernah didemo mahasiswa terkait masalah kenaikan BBM, beliau menyambut para mahasiswa di dalam balai kota secara langsung dengan snack alakadarnya, karena memang dari pihak mahasiswa pun tidak menginformasikan kedatangan mereka beberapa hari sebelumnya, sehingga beliau tidak sempat menyiapkan makan siang untuk mereka, begitu kelakarnya dalam menyampaikan materi di siang hari itu di UNAIR. Dan yang terjadi di dalam balai kota adalah diskusi hangat dan sehat antara beliau dengan para mahasiswa, saat mahasiswa menuntut ini dan itu, beliau memberikan semua konsep yang beliau punya, dan meminta mahasiswa untuk mengeluarkan konsep yang diusungnya, bukan hanya celotehan belaka. Dari hasil diskusi beliau dengan mahasiswa secara hangat pun, malah terjalin komunikasi yang efektif dan baik, bukan terjadi kebencian dari mahasiswa kepada pemimpinnya.
Hal yang paling menarik dari ide-ide kreatif beliau adalah lokalisasi 900+ PKL yang telah beroperasi lebih dari 30 tahun. Beliau melakukan pendekatan terhadap mereka dengan terjun langsung ke tempat para PKL dan melakukan pendekatan secara personal dengan masing-masing PKL, bahkan beliau pun mengajak mereka untuk makan siang dan makan malam bareng selama 54kali dalam rangka pendekatan lebih jauh dengan mereka. Setelah terjalin ikatan yang kuat dengan para PKL, beliau pun mengutarakan gagasannya terkait lokalisasi para PKL menjadi sentra perdagangan yang lebih formal dengan dibentuknya pasar, pusat jajanan, pusat pasar malam, dan berbagai pusat perdagangan lainnya yang lebih bersih dan rapi di berbagai spot kota Solo. Hal ini memberikan hasil yang positif, para PKL yang dulu membandel pun dengan sukarela membongkar kiosnya msing-masing untuk pindah ke tempat lokalisasi perdagangan dengan dikirab secara langsung oleh walikota. Pun dengan pasar-pasar yang becek dan tidak menjual, beliau sulap menjadi pasar tradisional yang rapid an bersih meniru pasar-pasar tradisional yang ada di negara yang sudah maju. Berbagai inovasinya di bidang perdagangan pun memberikan dampak yang sangat signifikan, pemasukan kas kota yang awalnya hanya sebesar 7,8M, setelah dilakukan revitalisasi mampu menjadi 19,2 M.
Kepedulian lain beliau dalam memperkuat ekonomi berbasis kerakyatan adalah penolakan secara tegas kepada puluhan pemilik modal untuk mendirikan hypermarket, supermarket, bahkan minimarket. Hal tersebut beliau lakukan karena beliau yakin terhadap pasar tradisional yang lebih murah dan menguntungkan berbagai pihak karena dimiliki oleh banyak orang yang berdagang di masing-masing kiosnya, daripada harus diserahkan kepada pemilik modal yang hanya berjumlah satu orang saja di setiap hypermarket, supermarket, dan minimarket. Beliau pun berpesan: ”jangan pernah berbelanja di mall! Tapi kalau memang terpaksa harus pergi ke mall, cukup melihat-lihat saja, nanti belanjanya di pasar tradisional saja yang jauh lebih murah dan menguntungkan”
Tingginya angka kemiskinan di Solo pun, menyebabkan beliau memberlakukan pengobatan gratis untuk rakyat miskin dengan kategori gold untuk yang sangat miskin, dan silver untuk kategori miskin biasa, pun dengan masalah pendidikan pun diberlakukan hal yang sama. Hal tersebut beliau lakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap rakyatnya untuk dapat hidup sehat dan mendapat pendidikan yang layak.
Dalam pengembangan Solo sebagai kota vokasi pun, beliau melakukan kerja sama dengan berbagai SMK di Solo dan membangun tim dengan supervise yang berasal dari perusahaan professional untuk membimbing siswa-siswi SMK dalam meciptakan mobil dan produk lainnya. Tapi dalam launching produknya, beliau mengatasnamakan karya siswa-siswi SMK, bukan mengatasnamakan pada supervisinya, hal tersebut beliau lakukan untuk membangun spirit of Indonesia, principle of Indonesia, dan Brand of Indonesia. Meskipun mobil esemka sudah berhasil diciptakan, tapi pada masa awalnya mobil ini pun banyak yang mencibir, sehingga hal yang beliau lakukan selanjutnya adalah menggunakan mobil esemka tersebut sebagai mobil dinas. Setelah digunakan sebagai mobil dinas, mobil esemka ini pun mulai dilirik oleh berbagai kalangan. Karena yang terpenting itu adalah teladan yang baik, bukan hanya idealism yang hanya sebatas kata saja.
Pun dalam menangani masalah internal pejabat pemerintahan pun, beliau terbilang kreatif, misalnya dalam menyikapi kepala satpol PP yang meminta untuk dibelikan pentungan dan tameng sebanyak masing-masing 600 buah dan pistol sebanyak 4 buah, beliau marah besar dan malah meminta kepala satpol PP tersebut untuk mengumpulkan semua pentungan dan tameng yang ada untuk dimasukkan ke dalam gudang, dan besoknya kepala satpol PP tersebut beliau ganti dengan yang lebih ramah lagi terhadap rakyat, karena beliau beranggapan tampilan satpol PP yang menyeramkan malah membuat jarak antara rakyat dengan pemerintahnya, sehingga komunikasi yang baik dan efektif pun akan semakin sulit terjawab. Dalam mengurusi permasalahan infrastruktur pun, beliau terbilang sangat rapi dan tegas, misalnya ketika beliau mentransformasi pelayanan KTP dari yang asalnya proses pembuatan KTP selama 3minggu menjadi 1jam, saat ada lurah yang ragu dengan gagasan logisnya, beliau langsung memecat lurah tersebut, karena beliau beranggapan lurah tersebut niat saja sudah tidak punya, bagaimana mau menjalankan program yang lebih efisien.
Selain keunikan-keunikan beliau yang telah sempat saya tuliskan, ternyata beliau juga adalah sosok walikota yang tidak betah di kantor, beliau hanya menghabiskan sekitar 1 jam saja di kantornya, sisanya beliau habiskan dengan berinteraksi dengan masyarakat secara langsung dan mentransformasikannya ke dalam tindakan nyata yang solutif dan masuk logika rakyat kecil sebagai wujud jawabannya terhadap keluhan masyarakat yang didengarnya. Sehingga dampaknya adalah setelah 2 tahun kepemimpinannya memimpin kota Solo, hingga sampai saat ini belum pernah ada demo besar-besaran lagi di kota Solo. Yang ada sekarang dalam acara-acara di kota Solo adalah ucapan, saran, dan masukkan yang bersifat positif dan membangun, tanpa pernah ada sumpah serapah lagi.
Saat ditanya prinsip beliau dalam membangun kota Solo, beliau hanya menjawab dengan ungkapan Soekarno: Berdaulat dalam Politik; Berdikari dalam ekonomi; dan berkepribadian dalam berbudaya.

5    5.      Ir. Tri Risma Harini, M.T (walikota Surabaya)
Beliau pun tidak kalah santainya dengan pak Jokowi, dan keduanya pun sama-sama tidak mempunyai niat dan cita-cita untuk menjadi seorang walikota, sehingga keduanya tidak memiliki ambisi politik yang berlebihan dalam membangun kotanya masing-masing. Keduanya sama-sama berprinsip bagaimana melayani dan memenuhi kebutuhan rakyat sepenuh hati mereka.
Hal yang paling menarik dari Ibu Risma adalah beliau selalu membawa beras di mobilnya karena khawatir ada rakyatnya yang tidak bisa makan akibat tidak punya beras, begitulah tutur ibu walikota yang mengaku banyak terinspirasi dari kisah Umar Bin Khattab ini.
Beliau pun merupakan sosok yang sangat terbuka dengan rakyatnya, lebih mengedepankan diskusi secara sehat dan berani dengan para pendemo dan lebih banyak menghabiskan waktu kerjanya untuk berbaur dengan masyarakat sekitar, karena beliau faham betul apa yang sebenarnya menjadi permasahan di masyarakat itu hanya ada di lingkungan masyarakat itu sendiri. Bahkan beliau pun pernah menyiapkan lapak pengganti dengan tangannya sendiri untuk para PKL sebelum mereka digusur oleh satpol PP pada masa beliau belum menjabat sebagai walikota. Tapi hal tersebut tidaklah berhenti sampai sana saja. Setelah menjadi walikota, beliau pun lebih banyak turun ke masyarakat secara langsung untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Di antara solusi-solusi yang beliau lakukan adalah membangun berbagai kampung di Surabaya dengan berbagai kekhasan msaing-masing, seperti kampung kue basah yang beromzet 10M per hari nya, kampung cabe Made, kampung pernak-pernik dan lain sebagainya sebagai sebuah jawaban bagi rakyat yang mengeluh mempunyai permasalahan ekonomi. Selain itu, beliau pun membangun berbagai yayasan yang bergerak di bidang sosial, seperti pondok yang menangani masalah anak-anak terlantar, anak yatim-piatu, orang gila, dan pondok pengembangan diri yang lainnya untuk warga yang dikucilkan dari komunitasnya, dan dari pondok-pondok itu kini sudah terbentuk anak-anak kreatif yang selalu siap untuk mengisi berbagai pagelaran seni, bahkan diantara mereka juga ada yang mengikuti pelatnas balap sepeda di Jakarta.

Pemimpin sejati itu bukan mereka yang hanya duduk di belakang meja kerja mereka, tapi mereka yang mampu memahami permasalahan dan kondisi rakyatnya secara langsung
**********

Demikian yang dapat saya dokumentasikan pada seminar kali ini, semoga menginspirasi anda juga yang telah mau menyempatkan diri untuk membaca. Mohon maaf jika ada kesalahan content, karena saya juga adalah manusia yang sama sepeti anda, dan sangat wajar untuk salah dan mendapatkan kritikan. Hehehe.


Lulu Fajar Ramadhan


Copyright @ 2013 elfaakir 23. Designed by Templateism | MyBloggerLab

About Metro

Follow us on Facebook