Lama tidak
berkarya nih ane, gan! Akhirnya berdasarkan permintaan temen2 juga, terpaksa
deh ane nulis lagi walau sudah agak kaku juga untuk memulai tulisan karena
terlalu lama vakum tidak menulis. Hingga akhirnya ane terbesit untuk menuliskan
apayang telah ane dapat di seminar “Leadership Talks!”
Berikut
adalah sedikit oleh-oleh dari apa yang bisa ana tulis selama seminar
berlangsung.
***LT
2012***
Segenggam
Inspirasi dari “Leadership Talk!”
“Leadership
Talk! 2012” adalah sebuah kegiatan seminar dan talkshow yang diadakan di aula
Garuda Mukti UNAIR Kampus C pada tanggal 3 Maret 2012 yang dimotori oleh BEM
FEB UNAIR featuring PPSDMS. Leadership Talk pada kali ini dihadiri oleh 400
orang mahasiswa yang terdiri dari mahasiswa ITS, UNAIR, dan kampus lain di
Surabaya yang telah mengikuti alur seleksi registrasi yang diselenggarakan oleh
panitia, dan juga menghadirkan beberapa pemateri yang sangat luar biasa dengan
konsep acara yang sangat menarik pula.
Berikut
adalah ringkasan materi yang dipaparkan pemateri yang sempat saya
dokumentasikan.
1 1. Rahmat
Harianto, S. Ked (fresh graduate FK UNAIR)
Beliau adalah seorang sarjana kedokteran UNAIR yang cukup menginspirasi
di wilayah Surabaya, terutama UNAIR dengan sepak terjangnya baik di organisasi
seperti Bulan Sabit Merah Indonesia ataupun di bidang akademik seperti menjadi
mawapres, meraih medali emas pada PIMNAS, dan penghargaan karya tulis lainnya.
Beliau mengawali presentasinya dengan mengutip perkataan Ippho
Santosa: “Saat anda memutuskan untuk menumpas kemiskinan, maka pastikanlah diri
anda terlebih dahulu untuk tidak miskin”. Sehingga jika kita memutuskan untuk
mengubah keadaan suatu bangsa, hendaklah dimulai dengan mengubah diri kita
sendiri, misalnya dengan menjadikan diri kita sendiri sebagai uswah nyata bagi
orang lain dalam menggapai kesuksesan tersebut. Dan kesuksesan itu tidaklah
berbanding lurus dengan tingginya IQ yang dimiliki oleh seseorang. Hal tersebut
telah dibuktikan dengan penelitian Lewis Turman di Amerika terhadap anak-anak
the termites (anak-anak yang dianugerahi IQ >140), bahwa semua dari objek
penelitian ini memiliki kecenderungan untuk menjadi orang yang biasa saja dan
tidak ada yang mendapat hadiah nobel seorang pun. Adapun orang yang seperti
Einstein, itu adalah merupakan hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun
karena pada awalnya pun Einstein adalah orang yang biasa-biasa saja, hanya saja
dia mempunyai kemauan untuk menjadi orang yang luar biasa, dan itu
mengantarkannya pada kesuksesan tersebut. Adapaun terhadap tingginya IQ, Lewis
Turman berkesimpulan bahwa antara kesuksesan dan tingkat tingginya IQ tidaklah
ada hubungannya. Sehingga kesuksesan seseorang itu lebih dipengaruhi oleh EQ
dan SQ nya sendiri, hal ini didapat dari hasil survey di Amerika terkait faktor
kesuksesan seseorang di dunia kerja, bahwa IQ tinggi dengan IP(>3.00) hanya
ada di posisi ke-16 saja jauh dibawah nilai-nilai moral seperti komunikasi yang
baik, integritas personal, kejujuran, loyalitas, sopan, dan aspek yang
berkaitan dengan EQ dan SQ lainnya.
Selain itu, beliau juga mengutip perkataan Malcolm Galdwell bahwa
10000 jam adalah waktu yang dibutuhkan oleh seseorang untuk menjadi seorang
ahli. Tidak pernah ada seorang pun yang terlahir menjadi seorang ahli tanpa
mengalami proses latihan yang sangat panjang, karena kesuksesan itu adalah
hasil buah perjuangan kita yang begitu lama, dan kesuksesan tidak akan pernah
datang, tanpa kita sendiri yang mengusahakannya, “Allah tidak akan mengubah
nasib suatu kaum, sehingga kaum itu sendiri yang mengubah sikapnya sendiri”.
Maka mari kita perbanyak jam latihan kita untuk menjadi seorang ahli, karena
ahli itu bukanlah anugerah tanpa usaha, tapi itu adalah buah usaha dari hasil
kerja keras kita.
Untuk menjadi seorang ahli, hendaknya kita juga mengikuti berbagai
ajang bergengsi untuk menguji sejauh mana kualitas diri kita, seperti ikut
mawapres, ikut PIMNAS, ikut LKTI, dan ajang lain yang mampu memfasilitasi kita
untuk menjadi lebih baik di kemudian hari.
Di akhir sesi, beliau juga mewasiatkan kepada para peserta seminar
untuk berani bermimpi besar, menentukan visi dan misi hidup dengan jelas, terus
berlatih tanpa henti, jangan lupa berbagi kepada sesame yang bernasib kurang beruntung,
dan melakukan totalitas secara penuh dalam setiap langkah perjuangan kita
selama hidup.
2 2. Achmad
Ferdiansyah P, S.T (alumni Cum Laude S1 Tekkim ITS)
Beliau di ITS dikenal sebagai pendekar 1000 PKM, karena beliau
merintis pembuatan PKM besar-besaran selama menjabat sebagai Menristek BEM ITS,
dan hamper di setiap ajang PIMNAS 20 PKM nya didanai oleh DIKTI. Selain sebagai
pendekar PKM ITS dan technopreneur muda
ITS, beliau juga adalah penerima berbagai penghargaan di tingkat nasional baik
melalui ajang PIMNAS, LKTI, entrepreneurhip competition, dan ajang bergengsi
lainnya.
Tidak banyak yang beliau sampaikan pada kesempatan seminar
“Leadership Talk! 2012”, beliau hanya menyampaikan tiga poin paling panting
secara singkat dan padat.
·
Jadilah orang yang unik!
Temukan
keunikan anda, dan kemudian kelola keunikan anda untuk menjadi sebuah nilai
lebih bagi diri anda sendiri yang dapat bermanfaat untuk banyak orang.
·
Kunci Kesuksesan : Ketekunan dan Kerja Keras.
Dalam
mencapai kesuksesan dibutuhkan keseriusan yang diwujudkan dalam ketekunan dan
kerja keras untuk meraih kesuksesan tersebut
·
Kelola setiap kegagalan anda untuk menjadi lebih baik di suatu
hari.
Mengalami
kegagalan itu biasa, tinggal bagaimana kita menyusun strategi untuk mengatasi
kegagalan itu agar suatu hari kita dapat memetik kesuksesan kita dari kegagalan
tersebut.
·
Jangan mudah menyerah
Saat anda
memutuskan untuk menyerah ketika mengalami kegagalan, sebenarnya kesuksesan itu
ada setelah anda untuk memutuskan untuk menyerah saat mengalami kegagalan, maka
janganlah mudah menyerah saat anda mengalami kegagalan.
3 3. Daniel M.
Rosyid, Ph.D, M.RINA (dosen FTK ITS)
Beliau adalah staff dosen di ITS yang concern dalam bidang
pendidikan di sela-sela kesibukannya sebagai di dunia akademik dan
profesionalnya.
Ada beberapa hal yang menjadi fokusan materi yang dibawakan oleh
beliau dalam menyampaikan materinya yang berkaitan dengan pendidikan,
diantaranya adalah:
·
Kegagalan Desentralisasi
Pada
kegagalan ini, beliau menitik beratkan pada keengganan mahasiswa untuk kembali
mengabdi di daerah dan lebih memilih untuk bekerja di perusahaan multi nasional
dengan iming-iming gaji yang tinggi dan fasilitas yang serba mewah. Tidak ada
keinginan untuk kembali ke daerah asal untuk membangun daerahnya masing-masing.
Padahal seluruh mahasiswa mempunyai amanah untuk mengembangkan daerahnya
masing-masing bahkan sampai mengembangkan Indonesia, bukan mengembangkan
perusahaan asing. Karena setiap mahasiswa yang ada di Indonesia ini baik sadar
atau tidak sadar juga mendapatkan keringanan biaya kuliah dari Negara yang juga
berasal dari uang rakyat, sehingga sudah menjadi kewajiban mutlak bagi
mahasiswa untuk mengabdikan dirinya di masyarakat dan mengembangakan masyarakat
tersebut. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, seorang anak petani berkuliah di
fakultas pertanian dan mendapatkan beasiswa, tapi setelah lulus kuliah enggan
untuk kembali ke desa mengembangkan pertanian di desanya, pun dengan anak
nelayan yang berkuliah di fakultas perikanan dan bahkan mendapatkan beasiswa
pula, enggan untuk melaut kembali, mengembangkan hasil laut dan perikanan yang
ada di daerahnya, pun dengan mahasiswa lain dari berbagai jurusan yang lebih
memilih untuk bekerja di perusahaan bonafide daripada kembali mengembangkan
daerahnya masing-masing. Sehingga hal tersebut berdampak pada kegagalan
desentralisasi yang menekankan pada aspek pengembangan daerah secara merata,
bukan terpusat di ibu kota dan kota-kota besar saja.
·
Kegagalan Demokrasi
Pada
kegagalan ini beliau menitik beratkan pada maraknya korupsi dan politik uang
yang terjadi di Indonesia.
·
Kegagalan Pendidikan
Dan pada
kegagalan pendidikan, beliau menitik beratkan pada kegagalan pendidikan sebagai
institusi yang mampu untuk mencetak kader bangsa yang berintegritas dalam
membangun negeri. Pendidikan malah menjadi penyebab akar korupsi, karena
pendidikan secara formal yang ada di Indonesia adalah warisan Belanda yang
berfungsi untuk menyiapkan murid sebagai professional dan pegawai, bukan
sebagai kader bangsa yang berintegritas membangun negeri. Justru sejarah
mencatat bahwa orang-orang yang berasal dari grassroot lah yang selalu berhasil
dalam memimpin, mereka banyak belajar secara mandiri (otodidak) di sela-sela
kesibukannya berperan di lingkungan masyarakat sekitar, sehingga mereka faham
betul apa yang dibutuhkan oleh masyarakat sebenarnya, tanpa terkekang oleh
system pendidikan formal yang diterapkan di sekolah yang lebih didominasi kaum
elitis semata. Mereka yang berasal dari grassroot ini juga mempunyai nilai
lebih, karena selain belajar secara otodidak dan berperan langsung di
masyarakat, mereka juga di sore hari mengaji kepada para kiayi mereka, sehingga
spiritual mereka dapat terjaga dengan baik (beliau mengambil contoh pendidikan
pra kemerdekaan, lebih tepatnya pendidikan pesantren semasa Cokroaminoto).
Tapi apa
yang terjadi dari sistem pendidikan yang bernuansa elitis ini, hanyalah
melahirkan orang-orang yang pintar saja secara intelektual, tapi gersang secara
emosional dan spiritual, taruhlah contoh Gayus dan Nazaruddin, mereka adalah
orang-orang pintar, toh mereka juga dulu lulus UN. Tapi secara emosional dan
spiritual, mereka mengalami kegersangan, sehingga mereka tidak segan menipu
rakyat dengan tindak korupsinya.
Pun dengan
paradigma yang dibangun sekolah dan dibenarkan oleh rakyat, bahwa sekolah
adalah satu-satunya institusi tempat belajar, sehingga di institusi pendidikan
elitis ini, seorang pelajar sangat dihindarkan dari pekrejaan. Tugas seorang
pelajar diparadigma hanya belajar dan belajar saja, tanpa harus bekerja secara
aplikatif di lapangan. Padahal seorang yang belajar terjun langsung di sawah,
itu lebih faham mengenai ilmu tentang persawahan daripada orang yang hanya
duduk di bangku sekolah saja tanpa pernah mau untuk pergi ke sawah. Harusnya
institusi pendidikan itu memberikan keleluasaan kepada peserta didik untuk
dapat berkreasi dan mengaplikasikan ilmu nya secara langsung di lapangan, bukan
memasung kreatifitas anak dengan dalih sistem. Sehingga apa yang terjadi adalah
mereka yang dibesarkan di institusi ini secara kaku dan terpatok oleh sistem
hanya menjadi orang biasa saja, sedangkan orang yang memiliki kebebasan
berkreasi dan bereksplorasi, malah menjadi orang yang luar biasa (kata kunci:
kreasi dan eksplorasi).
Selain
kekacauan itu, apa yang terjadi juga terjadi pada tenaga pendidiknya, untuk
mendapatkan sertifikasi PNS dari Negara, mereka tidak ragu untuk melakukan
praktik gratifikasi kepada petugas, dengan apapun caranya untuk menempuh
keinginan mereka, sehingga jika dari tenaga pendidiknya pun sudah kacau seperti
ini, maka yang terjadi adalah ke-error-an sistemik. Saat UN yang terjadi adalah
contekan masal, bukan mengusung pada kejujuran, saat ada salah seorang murid
yang jujur dan berani melaporkan kecurangan pihak sekolahnya, yang terjadi
malah keluarga murid itu dikucilkan di masyarakat, dan anaknya dikeluarkan dari
sekolah tersebut. Sehingga ketika di sekolah saja sudah diajarkan untuk tidak
jujur, maka jangan salahkan siapapun
ketika produk nyata dari sekolah adalah para koruptor dan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab terhadap negara.
Sekolah
hanya mendidik peserta didiknya untuk menjadi seorang insan yang konsumtif dan
tidak kreatif, karena kekauan dan kekacauan sistem pendidikan yang ada di
negeri ini. Dan salah satu bukti konsumerisme akibat pendidikan adalah setiap
peserta didik berorientasi untuk mendapatkan ijazah dengan nilai yang tinggi
dan memuaskan, tidak memperdulikan aspek-aspek kejujuran dan moralitas lainnya
yang begitu mahal dan tidak bisa dikuantitatifkan. Setelah mendapatkan ijazah,
maka kemudian dia sibuk mencari pekerjaan, sebagai orientasi hidup selanjutnya,
bukan membangun daerah asalnya masing-masing.
Dari
berbagai pemaprannya, beliau menyimpulkan bahwa sekolah adalah akar masalah
yang harus dipecahkan. Dan salah satu solusi yang beliau tawarkan adalah
reformasi sistem pendidikan, dimana pada reformasi ini terjadi proses ‘hijrah’
dari perilaku mental konsumtif menjadi perilaku produktif, dari perilaku curang
menjadi jujur, dan dari perilaku yang kurang baik lainnya menuju perilaku dan
sikap yang lebih baik. Bukan sekedar bicara dan teori saja, tapi juga dengan
dipraktekan secara massif. Dan hal itu tentulah tidak akan dapat terwujud,
tanpa dimulai dengan mereformasi diri kita masing-masing secara personal
sebelum mengubah komunitas yang jauh lebih besar daripada kita sendiri.
4 4. Ir. Joko
Widodo (Walikota Solo)
Pada sesi materi ini, terkesan sangat santai dengan pembawaan pak
Jokowi yang kasual dan cara penyampaian yang ringan dengan diselingi guyonan
santai juga. Beliau banyak menceritakan tentang dirinya selama menjadi walikota
sampai sekarang.
Karir sebagai walikota dimulai dari kepenasarannya terhadap kota
Surakarta/ Solo yang semakin semrawut dari tahun ke tahun mengantarkannya
menjadi seorang walikota Surakarta yang sangat disegani oleh warganya. Saat
awal pemerintahannya menjadi wali kota hamper setiap dua hari sekali beliau
didemo oleh berbagai kalangan baik dari rakyat miskin, PKL, bahkan sampai
mahasiswa. Banyak sekali cara cerdas yang beliau gunakan dalam menyikapi para
pendemo tersebut, misalnya dalam menyikapi salah satu demo dengan kekuatan
massa 3500 orang, beliau malah membubarkan barikade polisi yang mengawal demo
dan meminta kepada mereka untuk memasukkan para pendemo ke lingkungan balai
kota untuk kemudian berunjuk fikir secara sehat dengan penyambutan yang hangat
di lingkungan balai kota, dan hasilnya para pendemo mengusulkan gagasan dan
tuntutannya, 2 jam demo selesai tanpa ada barang yang rusak dan aksi dorong-dorongan
dengan petugas, dan lebih jauh dari itu komunikasi antara pemimpin dan rakyat
sudah mulai terbangun, karena yang dibutuhkan rakyat adalah kemudahan akses
dengan pemimpinnya, sehingga beliau berpesan hendaknya pemimpin itu ketika ada
yang demo bukan bersembunyi di dalam kantor
dengan penjagaan super ketat, tapi hadapi mereka, sambut dan dengarkan
aspirasi mereka. Selain itu, beliau juga pernah didemo mahasiswa terkait
masalah kenaikan BBM, beliau menyambut para mahasiswa di dalam balai kota
secara langsung dengan snack alakadarnya, karena memang dari pihak mahasiswa
pun tidak menginformasikan kedatangan mereka beberapa hari sebelumnya, sehingga
beliau tidak sempat menyiapkan makan siang untuk mereka, begitu kelakarnya
dalam menyampaikan materi di siang hari itu di UNAIR. Dan yang terjadi di dalam
balai kota adalah diskusi hangat dan sehat antara beliau dengan para mahasiswa,
saat mahasiswa menuntut ini dan itu, beliau memberikan semua konsep yang beliau
punya, dan meminta mahasiswa untuk mengeluarkan konsep yang diusungnya, bukan
hanya celotehan belaka. Dari hasil diskusi beliau dengan mahasiswa secara
hangat pun, malah terjalin komunikasi yang efektif dan baik, bukan terjadi
kebencian dari mahasiswa kepada pemimpinnya.
Hal yang paling menarik dari ide-ide kreatif beliau adalah
lokalisasi 900+ PKL yang telah beroperasi lebih dari 30 tahun. Beliau melakukan
pendekatan terhadap mereka dengan terjun langsung ke tempat para PKL dan
melakukan pendekatan secara personal dengan masing-masing PKL, bahkan beliau
pun mengajak mereka untuk makan siang dan makan malam bareng selama 54kali
dalam rangka pendekatan lebih jauh dengan mereka. Setelah terjalin ikatan yang
kuat dengan para PKL, beliau pun mengutarakan gagasannya terkait lokalisasi
para PKL menjadi sentra perdagangan yang lebih formal dengan dibentuknya pasar,
pusat jajanan, pusat pasar malam, dan berbagai pusat perdagangan lainnya yang
lebih bersih dan rapi di berbagai spot kota Solo. Hal ini memberikan hasil yang
positif, para PKL yang dulu membandel pun dengan sukarela membongkar kiosnya
msing-masing untuk pindah ke tempat lokalisasi perdagangan dengan dikirab
secara langsung oleh walikota. Pun dengan pasar-pasar yang becek dan tidak
menjual, beliau sulap menjadi pasar tradisional yang rapid an bersih meniru
pasar-pasar tradisional yang ada di negara yang sudah maju. Berbagai inovasinya
di bidang perdagangan pun memberikan dampak yang sangat signifikan, pemasukan
kas kota yang awalnya hanya sebesar 7,8M, setelah dilakukan revitalisasi mampu
menjadi 19,2 M.
Kepedulian lain beliau dalam memperkuat ekonomi berbasis
kerakyatan adalah penolakan secara tegas kepada puluhan pemilik modal untuk
mendirikan hypermarket, supermarket, bahkan minimarket. Hal tersebut beliau
lakukan karena beliau yakin terhadap pasar tradisional yang lebih murah dan
menguntungkan berbagai pihak karena dimiliki oleh banyak orang yang berdagang
di masing-masing kiosnya, daripada harus diserahkan kepada pemilik modal yang
hanya berjumlah satu orang saja di setiap hypermarket, supermarket, dan
minimarket. Beliau pun berpesan: ”jangan pernah berbelanja di mall! Tapi kalau
memang terpaksa harus pergi ke mall, cukup melihat-lihat saja, nanti belanjanya
di pasar tradisional saja yang jauh lebih murah dan menguntungkan”
Tingginya angka kemiskinan di Solo pun, menyebabkan beliau
memberlakukan pengobatan gratis untuk rakyat miskin dengan kategori gold untuk
yang sangat miskin, dan silver untuk kategori miskin biasa, pun dengan masalah
pendidikan pun diberlakukan hal yang sama. Hal tersebut beliau lakukan untuk
memenuhi kebutuhan dasar setiap rakyatnya untuk dapat hidup sehat dan mendapat
pendidikan yang layak.
Dalam pengembangan Solo sebagai kota vokasi pun, beliau melakukan
kerja sama dengan berbagai SMK di Solo dan membangun tim dengan supervise yang
berasal dari perusahaan professional untuk membimbing siswa-siswi SMK dalam meciptakan
mobil dan produk lainnya. Tapi dalam launching produknya, beliau
mengatasnamakan karya siswa-siswi SMK, bukan mengatasnamakan pada supervisinya,
hal tersebut beliau lakukan untuk membangun spirit of Indonesia, principle of
Indonesia, dan Brand of Indonesia. Meskipun mobil esemka sudah berhasil
diciptakan, tapi pada masa awalnya mobil ini pun banyak yang mencibir, sehingga
hal yang beliau lakukan selanjutnya adalah menggunakan mobil esemka tersebut
sebagai mobil dinas. Setelah digunakan sebagai mobil dinas, mobil esemka ini
pun mulai dilirik oleh berbagai kalangan. Karena yang terpenting itu adalah
teladan yang baik, bukan hanya idealism yang hanya sebatas kata saja.
Pun dalam menangani masalah internal pejabat pemerintahan pun,
beliau terbilang kreatif, misalnya dalam menyikapi kepala satpol PP yang
meminta untuk dibelikan pentungan dan tameng sebanyak masing-masing 600 buah
dan pistol sebanyak 4 buah, beliau marah besar dan malah meminta kepala satpol
PP tersebut untuk mengumpulkan semua pentungan dan tameng yang ada untuk
dimasukkan ke dalam gudang, dan besoknya kepala satpol PP tersebut beliau ganti
dengan yang lebih ramah lagi terhadap rakyat, karena beliau beranggapan
tampilan satpol PP yang menyeramkan malah membuat jarak antara rakyat dengan
pemerintahnya, sehingga komunikasi yang baik dan efektif pun akan semakin sulit
terjawab. Dalam mengurusi permasalahan infrastruktur pun, beliau terbilang
sangat rapi dan tegas, misalnya ketika beliau mentransformasi pelayanan KTP
dari yang asalnya proses pembuatan KTP selama 3minggu menjadi 1jam, saat ada
lurah yang ragu dengan gagasan logisnya, beliau langsung memecat lurah
tersebut, karena beliau beranggapan lurah tersebut niat saja sudah tidak punya,
bagaimana mau menjalankan program yang lebih efisien.
Selain keunikan-keunikan beliau yang telah sempat saya tuliskan,
ternyata beliau juga adalah sosok walikota yang tidak betah di kantor, beliau
hanya menghabiskan sekitar 1 jam saja di kantornya, sisanya beliau habiskan
dengan berinteraksi dengan masyarakat secara langsung dan mentransformasikannya
ke dalam tindakan nyata yang solutif dan masuk logika rakyat kecil sebagai
wujud jawabannya terhadap keluhan masyarakat yang didengarnya. Sehingga
dampaknya adalah setelah 2 tahun kepemimpinannya memimpin kota Solo, hingga
sampai saat ini belum pernah ada demo besar-besaran lagi di kota Solo. Yang ada
sekarang dalam acara-acara di kota Solo adalah ucapan, saran, dan masukkan yang
bersifat positif dan membangun, tanpa pernah ada sumpah serapah lagi.
Saat ditanya prinsip beliau dalam membangun kota Solo, beliau
hanya menjawab dengan ungkapan Soekarno: Berdaulat dalam Politik; Berdikari
dalam ekonomi; dan berkepribadian dalam berbudaya.
5 5. Ir. Tri
Risma Harini, M.T (walikota Surabaya)
Beliau pun tidak kalah santainya dengan pak Jokowi, dan keduanya
pun sama-sama tidak mempunyai niat dan cita-cita untuk menjadi seorang
walikota, sehingga keduanya tidak memiliki ambisi politik yang berlebihan dalam
membangun kotanya masing-masing. Keduanya sama-sama berprinsip bagaimana
melayani dan memenuhi kebutuhan rakyat sepenuh hati mereka.
Hal yang paling menarik dari Ibu Risma adalah beliau selalu
membawa beras di mobilnya karena khawatir ada rakyatnya yang tidak bisa makan
akibat tidak punya beras, begitulah tutur ibu walikota yang mengaku banyak
terinspirasi dari kisah Umar Bin Khattab ini.
Beliau pun merupakan sosok yang sangat terbuka dengan rakyatnya,
lebih mengedepankan diskusi secara sehat dan berani dengan para pendemo dan
lebih banyak menghabiskan waktu kerjanya untuk berbaur dengan masyarakat
sekitar, karena beliau faham betul apa yang sebenarnya menjadi permasahan di
masyarakat itu hanya ada di lingkungan masyarakat itu sendiri. Bahkan beliau
pun pernah menyiapkan lapak pengganti dengan tangannya sendiri untuk para PKL
sebelum mereka digusur oleh satpol PP pada masa beliau belum menjabat sebagai
walikota. Tapi hal tersebut tidaklah berhenti sampai sana saja. Setelah menjadi
walikota, beliau pun lebih banyak turun ke masyarakat secara langsung untuk
menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Di antara
solusi-solusi yang beliau lakukan adalah membangun berbagai kampung di Surabaya
dengan berbagai kekhasan msaing-masing, seperti kampung kue basah yang beromzet
10M per hari nya, kampung cabe Made, kampung pernak-pernik dan lain sebagainya
sebagai sebuah jawaban bagi rakyat yang mengeluh mempunyai permasalahan
ekonomi. Selain itu, beliau pun membangun berbagai yayasan yang bergerak di
bidang sosial, seperti pondok yang menangani masalah anak-anak terlantar, anak
yatim-piatu, orang gila, dan pondok pengembangan diri yang lainnya untuk warga
yang dikucilkan dari komunitasnya, dan dari pondok-pondok itu kini sudah
terbentuk anak-anak kreatif yang selalu siap untuk mengisi berbagai pagelaran
seni, bahkan diantara mereka juga ada yang mengikuti pelatnas balap sepeda di
Jakarta.
Pemimpin sejati itu bukan mereka yang hanya duduk di belakang meja
kerja mereka, tapi mereka yang mampu memahami permasalahan dan kondisi
rakyatnya secara langsung
**********
Demikian yang dapat saya dokumentasikan pada seminar kali ini,
semoga menginspirasi anda juga yang telah mau menyempatkan diri untuk membaca.
Mohon maaf jika ada kesalahan content, karena saya juga adalah manusia yang
sama sepeti anda, dan sangat wajar untuk salah dan mendapatkan kritikan. Hehehe.
Lulu Fajar
Ramadhan