Kuliah Untuk.....?

Kamis, 27 Januari 2011

Sarjana muda
Berjalan seorang pria muda
Dengan jaket lsuh dipundaknya
Di sela bibir tampak mengering
Terselip sebatang rumput liar

Jelas menatap awan berarak
Wajah murung semakin terlihat
Dengan langkah gontai tak terarah
Keringat bercampur debu jalanan

Engkau sarjana muda
Resah mencari kerja
Mengandalkan ijazahmu

Empat tahun lamanya
Bergelut dengan buku
Tuk jaminan masa depan

Langkah kakimu terhenti
Di depan halaman sebuah jabatan

Termenung
Lesu engkau melangakah
Dari pintu kantor yang diharapkan

Terngiang
Kata tiada lowongan
Untuk kerja yang didambakan

Tak peduli berusaha lagi
Namun kata sama yang kau dapatkan

Jelas menatap awan berarak
Wajah murung semakin terlihat

Engkau sarjana muda
Resah mencari kerja
Tak berguna ijazahmu

Empat tahun lamanya bergelut dengan buku
Sia-sia semuanya

Setengah putus asa dia beruacap
“maaf ibu...”

Sebuah lagu lawas yang sarat akan makna.
Takan lekang oleh waktu.
Akan selalu begitu.
Kisah abadi para job seeker.
Lagu tersebut ditembangkan oleh iwan fals pada tahun 1981 dalam albumnya yang berjudul ‘Sarjana Muda 1981’, tapi kondisi sosiokulturalnya masih kita rasakan di tahun 2011 ini.
Sebuah fenomena yang tidak asing bagi kita: job seeker.
Semua siswa SMA sederajat di penghujung masa studinya di tingkat SMA sederajat berlomba-lomba untuk mencari perguruan tinggi yang bergengsi, mengharapkan dapat jurusan yang favorit, dibutuhkan oleh pasar, dan berharap setelah lulus kuliah nanti dapat bekerja di perusahaan yang bergengsi, dengan nominal gaji yang tak kalah bergengsi pula.
Yah itulah fenomena abadi yang ingin iwan fals sampaikan.
Bahkan tak jarang orang-orang yang terjebak dalam lingkaran ini adalah orang-orang dengan tingkat intelejensi yang diatas rata-rata (baca: pintar). Dengan berbagai dalih prestasi mereka mencoba merayu para CEO ataupun para pencari pekerja lainnya. Dengan berdesak-desakan mereka antri untuk menghambakan diri menjadi seorang budak kapitalis, dengan dalih demi masa depan yang lebih baik.
Celakanya, doktrin ini juga telah diinisiasi oleh jiwa-jiwa muda yang masih segar untuk menerima ilmu. Ketika mereka ditawarkan untuk memilih pekerjaan, mereka lebih cenderung untuk menjadi seorang teknisi ataupun saintis daripada untuk menjadi guru. Dengan dalih, menjadi guru itu gak ada duitnya; dengan santainya mereka meninggalkan pekerjaan yang mulia ini. Bahkan tak jarang pula orang-orang cendikia yang mengatakan hal seperti ini, “gue kan pintar, pantasnya gue tuh kerja di microsoft, ataupun perusahaan asing yang mau membayar mahal gue, kalo menjad guru? Ogah ah, ntar gue miskin”.
Yah...
Itulah fakta di sekitar kita.
Karena mungkin memang sudah diterapkan doktrin sesat itu semenjak masih berada di lingkungan keluarga, misalnya ketika anaknya memilih untuk kuliah, pertanyaan dari orang tua yang pasti meluncur adalah: “mau jadi apa setelah lulus?, mau kerja dimana setelah lulus?”
*untung aja orang tuaku tidak termasuk orang yang kayak gitu*
*alhamdulillah*
Beruntung sekali kita, jika kita bisa kuliah, bahkan dapat beasiswa pula, di kala berjuta siswa lain menangisi nasibnya karena tidak mampu untuk kuliah dengan berbagai faktor; di kala berjuta orang terlalu sibuk memikirkan ‘mau makan apa esok hari?’; di kala berjuta anak tidak mampu mencecap pendidikan, karena harus membantu orang tuanya mengemis; di kala beribu orang tidak mampu untuk mengucapkan ‘mahasiswa’ karena nama itu dirasa terlalu agung bagi dirinya. Pernahkah kita mensyukuri hal itu? Apalagi jika kita adalah orang yang mempunyai tingkat intelejensi yang di atas rata-rata.
Kita bersama berjuta siswa lainnya berjuang memperebutkan kursi di perguruan tinggi favorit kita dengan beragam mmimpi di masa depan. Mungkin saja diantara berjubelnya siswa SMA tersebut ada yang bermimpi ingin memajukan kampungnya yang masih dikategorikan kampung terbelakang, kemudian orang itu gagal meraih kursi di perguruan tinggi favoritnya karena kalah oleh kita, meskipun dengan latar mimpi yang berbeda, misalnya kita berharap untuk mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menjadi seorang milyuner. Sadarkah kita ketika mereka kalah oleh kita, mereka menitipkan mimpi mereka di bahumu untuk memajukan kampungnya yang tertinggal, walaupun mereka tak pernah mengatakan hal itu pada kita?
Kemudian  ketika kuliah, kita malah bermain-main, belajar alakadarnya saja, malah berfikiran yang penting dapat ijazah dan bekerja di perusahaan asing dan menjadi manusia yang kaya raya. Mau dikemanakan ilmu yang telah kita pelajari sejak TK sampai lulus dengan berbagai gelar? Apakah hanya untuk nominal uang semata?
Padahal ketika kita duduk dari bangku TK sampai punya gelar berderet-deret tuh hanya untuk menjadi manusia yang intelek dan ilmunya bermanfaat dunia akhirat, mempunyai nilai guna bagi manusia seluruhnya, dan berakhlaq mulia. Buka untuk menjadi manusia in_telek (isi kotoran / t*i) dan kapitalis, yang ada di kepala hanya uang dan uang, bahkan terkadang melakukan tindakkan machevialisme.
Sungguh naif sekali jika hal itu terjadi pada kita selaku insan yang terdidik.
Kita digembleng bukan untuk menjadi hamba perusahaan ataupun hamba uang, tapi kita digembleng untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Kita adalah insan terdidik yang mempunyai misi bersama memajukan bangsa ini, terlebih lagi untuk memajukan kualitas pendidikan di negeri ini, dan salah satu caranya adalah menjadi seorang guru. Guru di berbagai bidang, bukan hanya guru yang selalu mengajar di kelas, tapi guru yang menjadi uswah hasanah bagi para pewaris bangsa lainnya. Tak masalah kita berprofesi sebagai teknisi, saintis, pengamat sosial, ataupun pekerjaan halal lainnya, yang terpenting adalah kita tetap berusaha berperan aktif dalam proses pencerdasan bangsa, menjadi embun pagi di tengah gersangnya keilmuan masyarakat, menjadi apa yang diharapkan oleh masyarakat, lebih jauhnya mampu memperbaiki tatanan hidup masyarakat menuju kondisi yang lebih baik dengan kehadiran kita. Itulah misi utama pendidikan.
Lebih jauhnya dalam Islam diajarkan tentang kaidah dan petuah-petuah bagi para pencari ilmu.
Sebagaimana dalam hadits disebutkan, “barang siapa yang mencari ilmu untuk empat hal pasti masuk neraka: untuk berbangga kepada par ulama, untuk mendebat orang-orang bodoh, untuk memperoleh banyak harta, dan untuk memperoleh kehormatan di tengah manusia” (HR. Ibnu Majah)
Mencari ilmu itu pada dasarnya bertujuan untuk kemaslahatan ummat, atau bisa dikatakan pula bahwa thalabul ‘ilmi lil ‘ilmi, wal ‘amal, wad da’wah (mencari ilmu adalah untuk (pengembangan) ilmu, amal, dan da’wah), bukan bertujuan untuk kepentingan materialistis.
Rasanya kita semua harus kembali meluruskan niat kita dalam perjalanan panjang pencarian ilmu ini, jangan sampai kita termasuk pada salah satu kategori dari golongan pencari ilmu yang berakhir di neraka-Nya (*na’udzubillahi min dzaalik). mari kita ‘azzamkan kembali tujuan suci kita, untuk berperan aktif dalam pencerdasan bangsa ini, terlebih lagi bagi ummat Islam pada khususnya.
Semoga kita semua bisa tetap istiqamah memperjuangkan tujuan suci kita semua.
Amiin...

Copyright @ 2013 elfaakir 23. Designed by Templateism | MyBloggerLab

About Metro

Follow us on Facebook